KH. Zainal Abidin,
Pendiri Pesantren Tertua di Blora
Setiap tanggal 13
Rabiul Awwal, kompleks Pondok Pesantren Mambaul Huda Desa Talokwohmojo
Kecamatan Ngawen Kabupaten Blora dipadati ribuan jamaah. Pasalnya, hari itu
merupakan puncak peringatan haul KH Zainal Abidin. Almarhum dikenal sebagai
pendiri Mambaul Huda, pondok pesantren tertua di Kabupaten Blora Jawa
Tengah.
KH Zainal Abidin
adalah putra bungsu Longko Pati, tokoh agama asal Nganguk Pati yang kemudian
hijrah ke Blora. Di tempat baru, tepatnya di Desa Banjarwaru Kecamatan Ngawen,
Zainal Abidin dilahirkan.
Pada zamannya, sosok
KH Zainal Abidin tampak menonjol dalam hal pengetahuan agama. Tak pelak, tokoh
dari Desa Talokwohmojo tertarik untuk menikahkan putrinya Nyai Kaminah dengan
pemuda Zainal.
Selanjutnya, sang
mertua mewakafkan sebidang tanah untuk keperluan syiar Islam. Maka, pada 1900
dibangunlah sebuah 'langgar' alias musala kecil untuk pengajian Alquran dan
kitab kuning oleh KH Zainal Abidin. Selain itu, sejak 1908 Almarhum KH Zainal
Abidin juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Naqsabandiyah Kholidiyah. Sanad
tarekat diperolehnya dari KH Ahmad Rowobayan Padangan Bojonegoro.
"Sejak saat itu
beliau resmi mendapat izin mengajar dan membaiat santri-santri tarekat,"
ujar K Munir, salah satu cucu almarhum.
KH Zainal Abidin
tercatat dua kali menikah. Dari istri pertama Nyai Kaminah, almarhum dikaruniai
delapan orang anak. Sedangkan dari istri kedua Nyai Ruqayah, beliau dikaruniai
lima orang anak.
Almaghfurlah KH
Zainal Abidin wafat pada 1922, dikebumikan di lingkungan pesantren
Talokwohmojo. Sepeninggal almarhum, kepengasuhan pesantren dilanjutkan oleh KHA
Hasan dari tahun 1922 hingga 1942.
Sepeninggal Kiai
Hasan tahun 1942, estafeta kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh KH Ismail.
Sebelum mengurus pesantren, kiai yang merupakan murid kinasih KH Kholil
Kasingan Rembang ini sempat berguru kepada Syekh Hasyim Asyari di
Tebuireng.
Semasa kepemimpinan
KH Ismail (1942-1956), pesantren Mambaul Huda mengalami perkembangan cukup
pesat. Santri dari luar daerah mulai berdatangan.
Sepeninggal KH
Ismail, pengasuh pesantren dilanjutkan oleh KH Nachrowi. Sejak saat itu,
pengasuh santri syariat dan santri tarekat mulai dipisahkan. KH Nachrowi
mengasuh santri tarekat, sedangkan santri syariat dipercayakan pada KH Abbas
bin Zainal Abidin.
KH Abbas meninggal
dunia pada 1976. Sepuluh tahun kemudian KH Nachrowi menyusul menghadap Sang
Ilahi. KH Nachrowi mengasuh pesantren selama 34 tahun, yakni dari tahyn 1965
hingga 1980.
Konon nama Mambaul
Huda muncul di masa duet kepemimpin KH Nachrowi dan KH Abbas. Sepeninggal KH
Nachrowi, pengasuh santri tarekat berturut-turut dilanjutkan oleh KH Musthofa
Nachrowi dan KH Labib bin Musthofa.
Adapun urutan
pengasuh santri syariat setelah KH Ismail adalah KH Abbas bin Zainal Abidin.
"Saat ini diteruskan oleh KH Ali Ridlo dan KH Idrus," ujar K Munir,
Sekretaris Desa Talokwohmojo.
Markas Perjuangan
Di masa silam,
Pesantren Mambaul Huda adalah salah satu tempat berhimpunnya ulama dan pejuang.
Saat pemberontakan PKI tahun 1948, misalnya, Mambaul Huda menjadi tempat
bernaungnya rakyat maupun pejabat.
Betapa tidak? Akhir
September 1948 Blora dikuasai PKI Muso yang hendak membentuk pemerintahan baru.
Bahkan, Bupati Blora dan sejumlah tokoh pun menjadi korban kebiadaban PKI saat
itu.
Semasa agresi Belanda
II tahun 1949 Mambaul Huda menjadi markas pertahanan tentara dan para
sukarelawan pejuang. []
(Akhmad Saefudin,
penulis Buku 17 Ulama Banyumas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar