Subhan ZE, “Orang
Luar” di Lingkaran NU
Presiden Soeharto dan Subhan ZE Sholat Ied di halaman Istana Negara tahun 1969 |
Menelusuri jejak
politik Subhan ZE, seolah menapaki jalan panjang penuh misteri. Alur hidup
Subhan, sebagai aktifis NU yang menjadi rujukan kaum muda, sampai kini masih
belum terungkap sepenuhnya. Di tengah kabut misteri itu, menyimak Subhan dengan
segala kontroversinya, seakan menjadi petualangan penting.
Sosok Subhan,
menjadikan NU sebagai poros penting pada zamannya. Ia menjadi rujukan anak-anak
muda lintas agama dan ideologi, tidak hanya kaum sarungan namun juga kaum muda
Tionghoa dari Katolik dan Kristen. Dalam sepak terjangnya, Subhan benar-benar
mampu menjadikan dirinya sebagai referensi kepentingan dan kekuasaan.
Menurut Martin van
Bruinessen, Subhan ZE merupakan pemimpin NU yang mengambil peranan penting
dalam mengorkestrasi rangkaian demonstrasi yang mengantarkan kelahiran Orde
Baru. "Subhan adalah 'orang luar' di dalam NU, yang walaupun usianya masih
muda, sejak pertengahan tahun 1950-an telah menjadi ahli terkemuka dalam
masalah ekonomi," tulis Martin, dalam karyanya NU: Tradisi, Relasi-Relasi
Kuasa, Pencarian Wacana Baru (hal. 91). Dalam risetnya, Martin mengungkap
betapa Subhan sebenarnya menjadi perantara budaya dan sosial, yang menjadi aset
besar Nahdlatul Ulama.
Martin menegaskan
bahwa Subhan merupakan sosok penting bagi NU, terutama pada momentum pergantian
kekuasaan dari Orde Soekarno menuju rezim Soeharto. Martin juga mengkritik
sosok Subhan, sebagai pribadi yang kepentingan bisnisnya diuntungkan oleh
pengaruh politik dan koneksinya yang baru. "Tetapi, dia tidak pernah
menunjukkan ketamakan membabi buta yang melanda begitu banyak orang
segenerasinya," demikian ungkap Martin. Dalam ulasannya, Martin juga
mengkorfirmasi bahwa Subhan termasuk sosok yang murah hati menyediakan dana
untuk kegiatan organisasi, tanpa mengharap imbalan.
Jika beberapa
pengurus NU kompromis terhadap Orde Baru, semisal Ahmad Syaikhu dan Kiai Idham
Cholid, tidak demikian dengan Subhan ZE. Bahkan, Ali Moertopo—seorang petinggi
intelijen di lingkaran Soeharto—melakukan operasi-operasi khusus untuk memasuki
lingkaran pengaruh di tubuh Nahdlatul Ulama. Moertopo menggunakan alat politik
dan militer, untuk “mendukung” Kiai Idham Chalid agar menang dalam persaingan
dengan beberapa lawan politiknya.
Pada masa menjelang
Pemilu Orde Baru yang pertama pada 1971, Subhan tampil sebagai sosok yang
sangat kritis terhadap Soeharto. Langkah politik Subhan, menjadikan NU sebagai
partai politik yang terlihat paling kritis. Gerakan politik dan zig-zag
kultural Subhan, secara langsung berkonfrontasi dengan Golkar, serta tokoh
militer-intelijen: Ali Moertopo dan Amir Machmud.
Pada masa kampanye,
banyak sekali teror yang ditujukan kepada warga, terutama komunitas santri.
Teror ini dilancarkan oleh Angkatan Bersenjata dan birokrasi pemerintah, agar
memilih partai Golkar sebagai tulang punggung Orde Baru. Namun, Subhan dan
pendukungnya tidak tinggal diam. Ia menyusun strategi dan kampanye agar warga
tidak takut menghadapi ancaman dari militer.
Pada Pemilu 1971,
Golkar tampil sebagai pemenang, dengan mengumpulkan 62,8 % dari keseluruhan
suara. Kemenangan Golkar tidak lepas dari gerakan massif Angkatan Bersenjata,
sekaligus langkah-langkah politik pemerintah Orde Baru. Namun, sebagai
representasi kubu Islam, suara Partai NU juga mengalami peningkatan, dari 18,4
persen menjadi 18,67 %. Tentu saja, keberhasilan NU mempertahankan basis
pemilih bahkan meningkatkan perolehan suara, karena terampilnya Subhan ZE
menyusun strategi politik. Perolehan suara NU, disusul Parmusi dengan 7,365%,
PNI sebanyak 6,49 %, Perti 2,39 %, dan PSSI mendapat 0,70 %.
Kemenangan Golkar
menjadikan partai ini mendapatkan 236 kursi di DPR, serta 100 kursi Karya ABRI
dan non-ABRI. Dengan 336 kursi dari jumlah keseluruhan 460 kursi di DPR RI,
Golkar menjadi pemenang mutlak yang menyingkirkan pesaingnya. Hal ini
berbanding jauh, dari para pesaingnya. Jika suara-suara dari partai Islam
digabung, hanya mendapatkan 20,3 % suara, atau 94 kursi. Dari 94 kursi itu, NU
hanya mendapatkan 58 kursi atau 61,7 % (Zahro, 2004: 61).
Menanggapi hasil
Pemilu 1971, kubu Partai NU melihat banyak kecurangan. Subhan ZE, sebagai Ketua
I PBNU, memohon kepada Idham Chalid (Ketua Umum PBNU) agar menarik pencalonan
dirinya sebagai Ketua DPR/MPR karena tidak puas atas hasil pemilu. Sedangkan,
Parkindo dan Partai Katolik, sebagai sarana aspirasi politik kelompok Kristen
Protestan dan Katolik, menerima kenyataan kalah, termasuk di wilayah basis masa
kaum Kristen (Aritonang, 2004: 376).
Pemilu 1971 merupakan
kisah pedih yang menjadi tanda dimulainya tapak kekuasaan Soeharto. Dengan
menggunakan jaringan politiknya, Orde Baru kemudian meminggirkan Nahdlatul
Ulama, yang dianggap sebagai kekuatan politik utama yang berpotensi menyaingi
Golkar. Di tengah arus perubahan itu, Subhan ZE terbuang, nyawanya melayang. Ia
meninggal di tanah suci, di tengah kecelakaan yang sampai sekarang masih
berselimut misteri.
Munawir Aziz, Wakil
Sekretaris LTN PBNU, sedang menulis buku “Silang Sejarah Subhan ZE” (email: moena.aziz@gmail.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar