Selasa, 15 Agustus 2017

Nasaruddin Umar: Silaturahim Lintas Agama



Silaturahim Lintas Agama
Oleh: Nasaruddin Umar

SEJAK awal kehadirannya, Islam mengharuskan umatnya bersilaturahim dengan umat-umat lain. Silaturahim dalam arti menjalin tali kasih dengan siapa pun sesama makhluk Tuhan. Allah SWT mencontohkan berdialog dengan iblis dan memenuhi permintaannya untuk dipanjangkan hidupnya sepanjang hidup umat manusia (QS Shad/38:75-85). Ketika Rabi'ah Adawiyah ditanya apakah engkau membenci iblis? Ia menjawab, "Cintaku sudah memenuhi semua ruang dalam tubuhku sehingga tidak ada lagi tempat untuk membenci kepada siapa pun. Pengakuan iblis di atas mengaku bahwa semua orang akan takluk di hadapanku, 'kecuali hamba-Mu yang mukhlashin' (Illa min 'ibadik al-mukhlashin)."

Hubungan silaturahim tidak dipilah dan dibedakan atribut-atribut primordial manusia, seperti agama, ras, etnik, suku bangsa, negara, warna kulit, jenis kelamin, dan bahasa. Alquran menegaskan, "Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak cucu Adam (QS al-Isra'/17:70)."

Tuhan tidak menggunakan redaksi 'Allah memuliakan orang-orang Islam' (wa laqad karramna al-muslimun). Ini artinya siapa pun sebagai anak cucu Adam wajib dihormati sebagai manusia. Alquran juga menggagas konsep 'ukhuwah imaniyah', persaudaraan orang-orang yang berkeimanan.

Alquran mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah saudaramu (QS al-Hujurat/49:10)." Tuhan tidak mengatakan, "Sesungguhnya orang-orang Islam itu bersaudara (innamal muslimin ikhwah)." Ini artinya pengakuan terhadap orang-orang yang beriman. Soal keimanannya itu benar atau salah adalah persoalan lain dan itu lebih merupakan urusan Allah SWT. Alquran menegaskan, "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu (QS al-Hujurat/49:13)." Keluasan wawasan tokoh-tokoh NU pernah menggagas sinergi tiga konsep ukhuwah yang hidup di dalam wadah NKRI, yaitu persaudaraan kemanusia (ukhuwah basyariyah), persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan keislaman (ukhuwah islamiah).

Tidak boleh atas nama salah satu konsep ukhuwah digunakan untuk merusak tatanan ukhuwah yang sudah mapan. Allah SWT dengan tegas mengatakan Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.

Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS al-Mumtahinah/60: 7-8). Nabi juga pernah menegaskan, "Barang siapa yang menzalimi orang-orang yang menjalin perjanjian damai (mu'ahhad) atau melecehkan mereka, atau membebaninya sesuatu di luar kesanggupannya, atau mengambil hartanya tanpa persetujuannya, maka saya akan menjadi lawannya nanti di hari kemudian (HR Bukhari-Muslim)." Hadis sahih lain yang menceritakan Nabi memerintahkan untuk menyalatgaibkan sahabat Nabi, yaitu Raja Najasy, ketika sampai kabar kematian kepadanya. Sahabat pun melakukan salat gaib dengan empat kali takbir di masjid dan mendoakannya (HR Bukhari No 3.880-3.881).

Riwayat dari jalur Imam Muslim juga hampir sama redaksinya. Jika silaturahim internal sesama makhluk mikrokosmos bisa terwujud, itu akan memudahkan terjalinnya ukhuwah komprehensif dengan kelompok masyarakat nonmuslim. Silaturahim dengan umat agama lain merupakan suatu keniscayaan. Khusus umat Islam Indonesia, sebaiknya kita meninggalkan ulah sejumlah oknum yang membakar masjid 'Baitul Muttaqin' Karubaga, Kabupaten Tolikara, Papua, saat umat Islam salat Idul Fitri beberapa tahun lalu. Pembakaran rumah-rumah ibadah bukan kepribadian bangsa Indonesia. []

MEDIA INDONESIA, 11 August 2017
Nasaruddin Umar | Imam Besar Masjid Istiqlal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar