Sulaiman Zuhdi, Kiai
Tarekat, Seni, hingga Ekonomi
KH Sulaiman Zuhdi
Affandi merupakan salah seorang kiai yang tidak hanya pandai dalam bidang
agama, namun juga sebagai pengamal tarekat, tepatnya
Naqsyabandiyyah-Khalidiyyah. Tetapi yang lebih istimewa lagi adalah beliau
mempunyai keahlian yang tidak biasa untuk seukuran kiai-kiai pada zamannya.
Kelebihan itu, beliau mampu menciptakan tenaga pembangkit listrik bertenaga air
tahun 1938, kemudian beliau juga membuat pabrik rokok, membuat pabrik kain
tenun (tekstil), dan menyamak kulit hewan.
Pondok Pesantren
Mojopurno-Magetan, adalah tempat kediamanan Sulaiman dan keluarganya. Pondok
tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat masyarakat belajar agama saja,
tetapi disana tempat warga masyarakat bekerja meningkatkan taraf ekonominya.
Sulaiman sebenarnya bukan penduduk asli Mojopurno-Magetan, ia adalah orang
pendatang dari Kebonsari, Madiun. Kobonsari sendiri merupakan tempat belajar
agama dan thoriqah (olah batin melalui dzikir kepada Allah). Ketika itu
sebagaian santri Kebonsari yang berasal dari Magetan meminta kepada keluarga
NdalemKebonsari supaya mengirimkan salah seorang kiainya ke Magetan.
Maka sekitar antara
tahun 1929-1930 ndalem menunjuk Sulaiman untuk ke Magetan. Sebelum benar-benar
tinggal di Magetan, Sulaiman terlebih dahulu memohon petunjuk kepada Allah SWT.
Setelah melalui istikharah dan pertimbangan yang matang, maka Sulaiman
berketetapan hati bertempat tinggal di Desa Mojopurno sebagai tempat dan pusat
kegiatan dakwah serta kemasyarakatannya.
Pertama-tama yang
dilakukannya adalah dengan membangun masjid di Mojopurno. Mojopurno pada saat
itu adalah tempat maksiat, liar, banyak para pemabuk, tukang judi, perampok,
suka datang ke punden, dan keburukan-keburukan lainnya, serta masyarakatnya
yang masih banyak hidup dalam kemiskinan. Tanah tempat dimana masjid dibangun
oleh Sulaiman dikenal sebagai tempat yang sangat angker saat itu. Keberhasilan
Sulaiman membangun masjid dan menghilangkan keangkeran tempat tersebut
mendatangkan nilai tersendiri dan secara tidak langsung membawa pengakuan
masyarakat akan keunggulan pribadinya.
Sedikit demi sedikit
masyarakat banyak yang berdatangan ke kediaman Sulaiman. Pertama kali yang
datang kepadanya adalah santri-santri Kebonsari yang dari Magetan, kehadiran
Sulaiman sedikit memudahkan mereka belajar, sebab mereka tidak perlu jauh-jauh
datang ke Madiun. Didukung dengan tidak hanya terbatas pada keahlian agama dan
tarekat saja, tetapi kemampuannya menciptakan peluang dan lapangan ekonomi,
Sulaiman tidak butuh waktu yang lama untuk merubah masyarakat Mojopurno menjadi
orang-orang yang taat menjalankan perintah dan menjauhi larangan agamanya.
Sempat Sulaiman
mengalami kesulitan bagaimana cara mengumpulkan masyarakat ke masjidnya. Di
tengah-tengah berpikir mencari cara, ketika itu di tempat lain tidak jauh dari
Desa Mojopurno menggelar acara reog yang di datangkan dari Ponorogo. Saat itu
masyarakat Mojopurno keluar dari rumah-rumah mereka beramai-ramai untuk
menonton pertunjukan reog di desa tetangga tersebut. Dari sana muncullah ide
Sulaiman, bahwa untuk mengumpulkan masyarakat berada di satu tempat harus
mengadakan acara besar dan salah satu pertunjukan yang berhasil menyedot
perhatian masyarakat adalah reog.
Sulaiman kemudian
mengundang reog Ponorogo kira-kira tahun 1933. Sulaiman mengkonsep reog
tersebut dalam rangka untuk hari-hari besar Islam semisal peringatan Isra’
Mi’raj, Maulid Nabi Muhammad SAW, peringatan Tahun Baru Hijriah (Muharram), dan
hari-hari besar Islam lainnya. Sulaiman menggelar peringatan hari-hari besar
Islam tersebut berlangsung tiga hari. Tidak hanya Reog yang ditmpilkan dalam
semarak hari besar Islam, disana juga ditampilkan tonel. Tonel adalah Sebuah
lakon sandiwara yang diciptakan oleh Sukarno, di dalamnya berisi secara halus
mengajak masyarakat supaya sadar akan pentingnya harkat dan martabat serta
harga diri suatu bangsa. Mengajarkan kewajiban dan hak individu untuk hidup
merdeka bebas dari penjajahan. Dengan konsep acara yang demikian, setiap
Sulaiman mengadakan hari peringatan besar Islam pihak penjajah Belanda selalu
datang mengawasi dan memata-matainya.
Perjuangan Sulaiman
tidak sebatas menggelar acara dan pertunjukannya saja supaya masyarakat senang
datang ke tempatnya, tetapi ia juga menyediakan konsumsinya juga untuk
masyarakat yang hadir. Ketika itu piring beling adalah barang langka dan
istimewa, selesai acara tidak jarang piring-piring beling itu di bawa pulang
oleh orang-orang yang hadir. Dengan raut muka yang kesal suatu ketika istri
Sulaiman pernah bertanya kepadanya kenapa masyarakat suka membawa piringnya,
Sulaiman memberi jawaban kepada sang isteri dengan jawaban sederhana. Ia
mengatakan, nanti kalau mereka sudah mampu membeli sendiri mereka tidak akan
membawa pulang piring-piring itu lagi. Mendengar jawaban dari sang suami demikian,
isteri Sulaiman hanya bisa terima dan bersabar.
Benar saja, kira-kira
pada tahun 1937 masyarakat Mojopurno menunjukkan perubahan yang positif, banyak
perubahan sikap dalam diri mereka. Pada sekitar tahun tersebut ketika
diselenggarakan kembali peringatan hari-hari besar Islam masyarakat sudah
membawa konsumsi sendiri-sendiri dalam bentuk julen. Julen adalah bentuk
miniatur masjid atau mushalla yang didalamnya di isi dengan beraneka makanan
serta buah-buahan. Masyarakat membawa julen dari desa masing-masing dengan di
pikul beramai-ramai di bawa ke Desa Mojopurno, tepatnya di kediaman Sulaiman.
Setelah selesai acara meniatur-miniatur masjid dan mushalla yang berisi aneka
makanan tersebut mereka buka dan kemudian mereka makan bersama-sama.
Sulaiman tidak
berhenti hanya penataan pada tingkah dan prilaku masyarakat, tetapi ia berjuang
pula melalui usaha pada peningkatan taraf hidup ekonomi masyarakat. Bersama
beberapa penduduk yang sekaligus muridnya ia mendirikan pabrik rokok, melatih
masyarakat membuat kain tenun (tekstil), menyamak kulit hewan (sapi, kambing),
ia juga salah seorang yang menciptakan tenaga pembangkit listrik dengan melalui
rekayasa air. Kekuatan daya salur pembangkit listrik tenaga air ini mampu
hingga sejauh satu kilo meter. Bagi masyarakat, ini merupakan teknologi yang
luar biasa untuk ukuran jaman saat itu. Ketika itu hanya masyarakat di Desa
Mojopurno yang bisa menikmati lampu listrik berkat tangan Sulaiman dimana di
daerah yang lain di Magetan masih jauh menggunakan lampu teplok.
Sulaiman juga di
kenal sebagai pejuang gigih kemerdekaan di barisan tentara Hizbullah. Ia
merupakan salah satu komandan dan panutan dalam kesatuannya yang berkedudukan
di Mojokerto. Disamping itu, Sulaiman sangat di kenal oleh masyarakat Magetan
sebagai gusti lider, yaitu orang yang ditakuti oleh para perampok dan
pencoleng. Ketika di Magetan ada perampok dan pencoleng, maka Sulaiman yang
paling diharapkan kehadirannya oleh masyarakat mengusir para perampok-perampok
itu. Pada masa kemerdekaan, Sulaiman menjadi penasehat Buapati Magetan, M. Ng.
Sudibjo.
Sulaiman Meninggal
dunia pada 1948 September bersama Bupati Magetan tersebut, mereka berdua
meninggal oleh keganasan PKI ketika melakukan petualangan politik di Madiun,
yang dikenal dengan Madiun Affair. []
(Moh. Yusuf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar