Pondok Pesantren
Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo – Jawa Timur
Sejarah Berdirinya
Pondok Pesantren Nurul Jadid
Sebelum bernama
Karanganyar, desa tempat Pondok Pesantren Nurul Jadid berdiri dikenal dengan
nama Tanjung. Nama ini diambil dari sebuah pohon besar bernama Tanjung. Sejak
zaman dulu, pohon besar, Tanjung, berdiri tegak di tengah-tengah desa.
Kemudian, masyarakat setempat juga menganggap pohon tersebut mempunyai
kelebihan dan keistimewaan. Tak heran, nama Tanjung kemudian diabadikan sebagai
nama desa.
Karanganyar sendiri
adalah sebuah Desa yang terletak di Kecamatan Paiton. Sebuah desa kecil yang
berada sekitar 30 km ke arah timur Kota Probolinggo, Jawa Timur. Pada mulanya,
sebagian besar tanah di desa ini tidak dapat dimanfaatkan. Banyaknya binatang
buas yang mendiami desa menjadi salah satu alasannya. Di sisi lain,
kehidupan penduduk desa sangat memprihatinkan. Dari sisi kepercayaan yang
dianut, mereka lebih mendekati Animisme dan Dinamisme. Hal itu terlihat jelas,
misalnya, dengan keberadaan beberapa pohon besar yang menurut mereka tidak
boleh ditebang. Pohon-pohon itu diyakini sebagai pelindung mereka.
Upacara ritual dalam
bentuk pemberian sesajen merupakan pemandangan biasa yang terjadi pada saat
itu, utamanya ketika ada hajatan. Sesajen tersebut, dipersembahkan kepada roh
yang diyakini berada di sekitar pohon besar. Biasanya, ritual pemberian sesajen
dilakukan ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar ritual
sesajenan dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di
setiap titik yang dianggap sakral. Selain itu, setiap tahun, mereka mengadakan
selamatan laut dengan melarung kepala kerbau.
Dalam kehidupan
sosial, masyarakat Karanganyar sangat terbelakang. Mereka belum mengenal
peradaban baru sama sekali. Hal itu terlihat dengan maraknya perjudian,
perampokan, pencurian dan tempat Pekerja Seks Komersial (PSK).
Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, masyarakat Karanganyar sangat bergantung pada alam.
Mereka menganggap bahwa alam sudah menyediakan segalanya. Sehingga, jika alam
sudah tidak lagi menyediakan sesuatu yang dapat dimakan, mereka akan pindah
tempat atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka pilih biasanya
daerah pinggiran laut (pantai) yang banyak pohon bakaunya. Sedangkan lahan
pertanian, meski ada, hanya dikuasai oleh segelintir orang saja.
Dengan demikian,
waktu itu Karanganyar merupakan desa “mati”. Di samping kondisi geografis yang
tidak menghasilkan nilai ekonomis, kepedulian masyarakat terhadap alam sekitar
juga sangat memprihatinkan. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Karanganyar
justru lebih cenderung hedonis. Dalam keyakinan mereka, kesenangan dan
kebahagiaan hanya terdapat dalam perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan
kemungkaran.
Kedatangan Pendiri
Di tengah situasi dan
kondisi sosial masyarakat desa Tanjung yang demikian, KH. Zaini Mun’im setelah
mendapatkan restu dan perintah dari KH. Syamsul Arifin, ayah KH. As’ad Syamsul
Arifin, Sukorejo—memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama
keluarga di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa
Karanganyar, KH. Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lain dengan membawa
contoh tanah pada KH. Syamsul Arifin. Daerah yang pernah diajukan oleh KH.
Zaini Mun’im, selain tanah desa Karanganyar, adalah daerah Genggong Timur,
dusun Kramat, Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, dan dusun
Sumberkerang. Setelah contoh-contoh tanah diseleksi oleh KH. Syamsul Arifin,
akhirnya pilihan jatuh pada tanah dari Karanganyar. Setelah itu, oleh KH.
Syamsul Arifin, KH. Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa
Karanganyar.
Disamping itu, ada
isyarat lain yang menyebabkan pilihan jatuh pada Karanganyar. Pertama, ketika
KH. Zaini Mun’im mengambil contoh tanah di Desa Karanganyar, tiba-tiba beliau
menemukan sarang lebah. Sarang lebah dipahami sebagai isyarat jika beliau
menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar, maka akan banyak
santrinya. Kedua, isyarat yang datang dari KH. Hasan Sepuh Genggong.
Diceritakan, saat KH. Hasan Sepuh mendatangi sebuah pengajian dan melewati desa
Karanganyar, beliau berkata kepada kusir dokarnya, “Di masa mendatang, jika ada
kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini (Desa Karanganyar),
kelak pondok tersebut akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya akan
melebihi santri saya.” Ketiga, isyarat dari alam. Kondisi tanah yang bagus
serta persediaan air yang memadai, turut menjadi alasan mengapa Desa
Karanganyar menjadi pilihan. Pun demikian, letak Desa Karanganyar yang jauh
dari keramaian kota (Kraksaan), sangat cocok untuk dijadikan tempat pendidikan.
Setelah terjadi
kesepakatan tukar menukar tanah antara KH. Zaini Mun’im dengan H. Tajuddin,
pemilik tanah di Desa Karanganyar, dengan berbekal satu batang lidi, beliau
berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya. Hewan dan binatang buas
yang mendiami tanah tersebut lari menuju utara desa Grinting. Kurang lebih satu
tahun beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil, dan
mengubah hutan menjadi tegalan.
Awal Mula Berdirinya
Pesantren
Awalnya, kedatangan
KH. Zaini Mun’im pada tanggal 10 Muharram 1948 ke Desa Karanganyar bukan
bermaksud untuk mendirikan Pondok Pesantren. Beliau sengaja mengisolir diri
dari keserakahan dan kekejaman kolonial Belanda. Sejatinya, beliau ingin
melanjutkan perjalanan ke pedalaman Yogyakarta untuk bergabung dengan
teman-temanya.
Sebenarnya, KH. Zaini
Mun’im bercita-cita menyiarkan agama Islam melalui Departemen Agama (Depag).
Namun, cita-cita tersebut tidak tersampaikan sebab, sejak beliau menetap di
Karanganyar, ada dua orang santri yang datang kepada beliau untuk belajar ilmu
agama. Kedua santri tersebut bernama Syafi’uddin, berasal dari Gondosuli,
Kotaanyar Probolinggo, dan Saifuddin, dari Sidodadi, Kecamatan Paiton,
Probolinggo. Kedatangan kedua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat
dari Allah yang tidak boleh diabaikan. Dan, mulai saat itu, beliau menetap
bersama kedua santrinya.
Selang beberapa lama,
KH. Zaini Mun’im ditangkap Belanda dan dipenjarakan di LP. Probolinggo. Sejak
di Madura, beliau memang termasuk orang yang sangat dicari dan diwaspadai oleh
Belanda. Pengaruh yang beliau miliki membuat Belanda khawatir sepak terjangnya
akan mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan mereka (penjajah
Belanda).
Saat dipenjara di LP.
Probolinggo, beliau dipaksa untuk membocorkan keberadaan teman-temannya. Meski
dipaksa, dengan jiwa besar beliau lebih memilih melindungi mereka. Semboyan
“liberty or dead”—merdeka atau mati, beliau pegang dengan teguh. Setelah
menghuni penjara kurang lebih tiga bulan, kemudian beliau dipulangkan kembali
ke Desa Karanganyar.
Sejak saat itu,
santri KH. Zaini Mun’im mulai bertambah. Tak hanya dari Probolinggo,
santri beliau juga berasal dari daerah lain seperti Madura, Situbondo, Malang,
dan Bondowoso. Di antara nama-nama santri beliau saat itu adalah Muyan, Abd.
Mu’thi, Arifin, Makyar, Baidlawi, dan Jufri. Dengan banyaknya santri yang
berdatangan, KH. Zaini Mun’im merasa berkewajiban untuk mendidik mereka. Dan,
mulai saat itu, beliau memutuskan untuk tidak bergabung dengan teman-temannya
di pedalaman Yogyakarta.
Dalam keadaan yang
sudah mulai damai dan nyaman, KH. Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan
dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH. Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk
menjadi penasihat jama’ah haji Indonesia. Tawaran tersebut beliau terima.
Selain untuk memenuhi tugas, tawaran tersebut sesuai dengan cita-cita beliau
yang ingin menyebarkan agama Islam ke seluruh pelosok tanah air Indonesia
melalui Depag. Ini juga sesuai dengan semboyan beliau, “Hidup saya akan
diwaqafkan untuk penyiaran dan meninggikan agama Allah”.
Selama KH. Zaini
Mun’im berada di Mekkah, untuk sementara waktu pengelolaan pesantren
dipasrahkan kepada KH. Sufyan. KH. Sufyan adalah santri yang ditugaskan oleh
KH. Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu
KH. Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau.
Pada saat itu, santri
yang menetap di pesantren berjumlah sekitar 30 orang, di bawah bimbingan KH.
Munthaha dan KH. Sufyan. KH. Sufyan membangun beberapa pondok yang terbuat dari
bambu (cangkruk) untuk tempat tinggal para santri.
Sepulangnya dari
tanah suci, KH. Zaini Mun’im melihat beberapa gubuk (cangkruk) sudah berdiri.
Tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan santri-santrinya. Bersama
para santri, KH. Zaini Mun’im membabat hutan yang ada di sekitar pesantren,
hingga akhirnya berdirilah sebuah Pesantren yang cukup besar seperti pembaca
lihat sekarang. Sejak saat itu, nama KH. Zaini Mun’im mulai dikenal oleh
masyarakat karena keuletan, keberanian serta ketabahannya.
Nama Nurul Jadid
Adua nama yang
disodorkan kepada KH. Zaini Mun’im untuk dipilih sebagai nama pesantren yang
beliau rintis. Dua nama tersebut Nurul Jadid dan Nurul Hadis. Nama Nurul Jadid,
muncul saat KH. Zaini didatangi seorang tamu bernama KH. Baqir, putera
gurunya di Madura, KH. Abd. Majid. Beliau mengharap KH. Zaini memberi
nama Pesantren yang diasuhnya dengan nama “Nurul Jadid” (Cahaya Baru). Di saat
yang lain, KH. Zaini juga menerima surat dari Habib Abdullah bin Faqih.
Surat tersebut berisi masukan agar Pesantren yang diasuh beliau diberi nama
“Nurul Hadis”.
Dari dua nama yang
diajukan kepada KH. Zaini, akhirnya nama Nurul Jadid yang dipilih. Nurul Jadid,
yang berarti cahaya baru, kehadirannya cukup memberi arti dalam dinamika
perkembangan zaman. Peran dan kontribusi Nurul Jadid sudah diakui oleh berbagai
pihak. Terbukti dari semakin pesatnya perkembangan pesantren ini, baik dari
sisi kualitas maupun kuantitasnya. Bahkan, atas peran dan kontribusi pesantren
ini, Dr. KH. Idham Cholid, Ketum PBNU saat itu, memberi predikat Nurul Jadid
sebagai “Cahaya Modern”.
Kehadiran pesantren
Nurul Jadid secara perlahan mampu merubah tata kehidupan masyarakat sekitar.
Berkat ketekunan KH. Zaini bersama santri-santrinya, masyarakat disadarkan akan
pentingnya agama dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya dalam masalah agama,
KH. Zaini juga menyadarkan masyarakat akan potensi ekonomi yang dapat
dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan. Penyeimbangan antara persoalan
ibadah dan kesejahteraan sosial menunjukkan bahwa Islam bukan hanya persoalan
vertikal semata, namun juga ada aspek horizontal di dalamnya.
Jalan dakwah yang
ditempuh KH. Zaini tak hanya berkutat di pesantren saja. Beliau turun langsung
ke masyarakat, memberi pendampingan, bukan hanya dalam masalah ibadah
keseharian, namun juga dalam urusan kesejahteraan. Untuk memberdayakan potensi
tanah Desa Karanganyar, KH. Zaini memperkenalkan jenis tanaman baru, tembakau,
yang beliau bawa dari Madura. Meski awalnya hanya untuk percobaan, ternyata
jenis tanaman ini sangat cocok dengan struktur tanah Desa Karanganyar. Sampai
saat ini, tembakau tetap menjadi sumber utama penghasilkan masyarakat
Karanganyar dan sekitarnya.
Selain mampu merubah
tatanan ekonomi, peran KH. Zaini dan pesantren yang dirintisnya juga memberi
dampak pada kondisi sosial masyarakat sekitar. Kepercayaan animisme dan
dinamisme yang sebelumnya mendominasi, secara perlahan mulai berubah.
Kepercayaan terhadap roh-roh halus semakin dijauhi oleh masyarakat. Pun
demikian, kasus-kasus kriminal seperti pencurian, perkosaan, perjudian, serta
PSK, juga semakin menurun. Upaya perubahan yang dilakukan KH. Zaini mendapat
dukungan dari masyarakat. Pesantren Nurul Jadid semakin berkembang, baik dari
sisi jumlah santri maupun lembaga pendidikan yang ada di dalamnya.
Nurul Jadid Dari Masa
ke Masa
Masa Cikal Bakal
(1948-1976)
Keberadaan Pondok
Pesantren Nurul Jadid tak lepas dari konstruksi kemasyarakatan yang mencitakan
suatu transendensi atas perjalanan historisitas sosial. Hal yang menjadi titik
penting adalah kenyataan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu
terwujudnya kohesi sosial. Keniscayaan ini karena pesantren hadir terbuka
dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan dan kepedulian sosial.
Berdirinya Pondok
Pesantren Nurul Jadid memang bukan sekedar untuk pemenuhan kebutuhan keilmuan,
melainkan juga penjagaan budaya, penyebaran etika dan moralitas keagamaan. Tak
heran, pada periode awal ini santri lebih diarahkan agar lebih memahami bentuk
aplikasi dari teori ilmu-ilmu keagamaan yang mereka pelajari dalam kitab-kitab
kuning. Sehingga nantinya, para santri bisa mengamalkan teori ilmu-ilmu
keagamaan secara tepat dan benar ketika sudah terjun di tengah-tengah
masyarakat. Bentuk aplikasi ilmu keagamaan tersebut dilakukan dalam bentuk
pendampingan kepada masyarakat.
Hal itu bisa dilihat,
misalnya dalam bidang ekonomi, khususnya pertanian. Sektor ekonomi
dijadikan prioritas. Hal ini tidak lepas dari pendapat KH. Zaini, bahwa jika
bidang perekonomian masyarakat lemah, hal itu dapat menjadi salah satu pemicu
tumbuh-kembangnya perilaku amoral dan kufur. Pendapat itu lahir setelah beliau
melakukan analisa terhadap situasi dan kondisi perekonomian masyarakat sekitar
yang amat rendah. Selain itu, Karanganyar juga terkenal sebagai pusat
bromocorah. Namun, tanah di Karanganyar sebenarnya merupakan kategori tanah
yang cukup produktif. Hanya saja, masyarakatnya belum bisa memanfaatkan dengan
baik.
Setelah perekonomian
masyarakat mulai meningkat melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah
dimasukkan ajaran dan nilai-nilai agama Islam dalam kehidupan masyarakat
Karanganyar. Hal lainnya adalah pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan
non formal. Pola pendidikan dan pembinaan semacam itu dilakukan, baik kepada
santri maupun kepada masyarakat sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan
dengan berbagai metode, mulai dari bandongan, sorogan dan takhassus.
Jika di pesantren lain pemberian makna dalam pengajian kitab kuning menggunakan
bahas Jawa atau Madura, di Nurul Jadid menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal
ini, pesantren Nurul Jadid merupakan pesantren pertama yang menggunakan bahasa
Indonesia dalam menerangkan dan menerjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.
Dalam bidang lembaga
pendidikan, Pesantren Nurul Jadid menerapkan sistem yang sistematis dan
terprogram. Sehingga, output yang dihasilkan mempunyai kapabilitas dan
kompetensi dalam berbagai bidang, untuk dijadikan modal dalam mengabdi, baik
bagi agama dan atau tanah air. Pada periode awal ini pula sudah mulai berdiri
beberapa lembaga pendidikan formal. Di antara beberapa lembaga pendidikan
tersebut adalah Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA), yang didirikan pada tahun 1950
bersama masyarakat sekitar.
Selain MIA, terdapat
lembaga pendidikan tingkat kanak-kanak yang bernama TK. Nurul Mun’im. Pada saat
yang sama, dirintis sebuah sistem pendidikan model klasikal yang dulunya
dikenal dengan sistem khairiyah. Sistem pendidikan yang diterapapkan
dalam model ini sangat sistematis dan terprogram. Pun demikian, materi
pelajaran yang disajikan tidak hanya terbatas pada pelajaran-pelajaran agama,
namun pelajaran umum seperti Matematika, bahasa Indonesia, dan Ilmu Tata
Negara, juga diajarkan.
Dalam rangka
menerapkan sistem pendidikan yang sistematis dan terprogram , dirintislah
sebuah lembaga bernama Flour Kelas. Lembaga ini dibentuk sebagai pendidikan
lanjutan bagi santri yang akan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.
Selanjutnya, tahun 1961, lembaga pendidikan Flour Kelas berubah nama menjadi
Mu’allimin. Pada tahun 1964, materi-materi umum seperti bahasa Inggris,
Sejarah, Geografi, Biologi, dan sebagaianya mulai dimasukkan ke dalam mata
pelajaran yang disajikan.
Dalam
perkembangannya, tahun 1969, Madrasah Mu’allimin berubah menjadi Madrasah
Tsanawiyah (MTs). Selang tiga tahun kemudian, MTs ini beralih status dari
swasta ke negeri. Selain lembaga yang berafiliasi ke Depag, pada tahun 1974,
berdiri lembaga pendidikan tingkat dasar, yang bernama Sekolah Dasar Islam
(SDI). Lembaga ini didirikan untuk menampung aspirasi masyarakat yang enggan
menyekolahkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan yang lokasinya berada di
dalam Pesantren. Dua tahun kemudian, SDI menempati lokasi baru dan namanya berubah
menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Mun’im (MINM).
Satu tahun kemudian
(1975), ketika kalangan masyarakat dan pemerintah sedang bersemangat
mensosialisasikan prospek pendidikan agama, Yayasan Pesantren Nurul Jadid
mendirikan sebuah lembaga bernama Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ)
yang berjenjang 6 tahun. PGANJ didirikan untuk mempersiapkan santri-santri yang
siap berkiprah di dunia pendidikan, baik dalam lingkungan pemerintahan maupun
swasta. Namun, dalam proses perjalanannya, lembaga ini hanya bertahan tiga
tahun.
Pada tanggal 20 Juli
1968, melalui musyawarah kerja Wilayah NU Jawa Timur di Lumajang, dibentuklah
panitia usaha pendidikan Akademi Dakwah dan Pendidikan Nahdlatul Ulama (ADIPNU)
yang berada di bawah pengawasan Partai Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Selanjutnya,
ADIPNU tersebut didirikan di Pesantren Nurul Jadid yang dalam pelaksanaannya
diserahkan kepada Kiai Zaini. Dan, dua bulan kemudian, tepatnya 1 September
1968, KH. Idham Chalid, Ketua Umum PBNU waktu itu, membuka secara resmi ADIPNU
di Pesantren ini.
Periode Pembinaan dan
Penataan (1976-1984)
Pada periode ini,
ditata sebuah formulasi atas khazanah intelektual. Penataan ini tampak misalnya
dalam pemberlakuan kualifikasi keahlian masing-masing santri, termasuk dalam
standar budaya yang menjadi pijakan keseharian. Tujuan yang ingin dicapai dari
penataan ini adalah tertanamnya semangat tafaqquh fi al-Din, mendalami
ilmu agama sebagai bekal saat kelak terjun di tengah-tengah masyarakat. Selan
itu, dalam periode ini, sistem manajerial pengelolaan pesantren mengalami
perkembangan yang cukup signifikan. Kreasi-kreasi inovatif banyak bermunculan,
terutama dalam hal merespon perkembangan yang terjadi. Pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu cara agar pesantren ini mampu
berbicara di tengah zaman yang terus berubah.
Selain itu,
pendekatan komunikasi melalui lisan maupun teladan dilakukan dalam rangka transfer
of values kepada santri. Bangunan seperti inilah yang digagas oleh KH
Hasyim Zaini (pengasuh kedua) dalam pembinaan dan penataan PP Nurul Jadid sejak
1976-1984. Dengan demikian, Nurul Jadid berusaha untuk terus menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman, sekaligus mempertahankan tradisi lama yang masih
relevan.
Dalam persolan
kepemimpinan, pola yang digunakan di pesantren Nurul Jadid bersifat kolektif.
Meski di dalam struktur pengasuh diemban oleh KH. Hasyim, namun secara
operasional, pesantren Nurul Jadid diurusi bersama-sama dengan tujuh pengasuh
lainnya.
Di sektor pendidikan,
santri terus diupayakan untuk tafaqquh fi al-Din. Dalam bidang keilmuan
santri terus ditempa untuk menguasai khazanah keilmuan klasik yang tertuang
dalam kitab kuning. Utamanya mereka yang duduk dijenjang MI, MTs dan MA. Sedang
bagi mereka yang duduk di bangku SLTP dan SMU diarahkan untuk menguasai ilmu
pengetahuan, khususnya MAFIKIB. Untuk memenuhi kebutuhan ilmu agama, pendalaman
dilakukan di asrama santri. Jadi, pola pendidikan dan pembinaan pada periode
ini dilakukan secara integral. Sehingga, terjadi sebuah proses yang saling
mendukung antara program sekolah dan kegiatan asrama.
Selanjutnya, karena
adanya perubahan dari Sisdiknas, maka pada tahun 1977 (satu tahun setelah
wafatnya Kiai Zaini), PGANJ 6 tahun berubah menjadi MTs untuk kelas I, II, dan
III. Sedangkan kelas IV, V dan VI menjadi Madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ).
Pada jenjang pendidikan tinggi juga mulai terlihat adanya peningkatan. Tahun
1979/1980 dirintis berdirinya Sekolah Tinggi Ilmu Syariah. Untuk membekali life
skill santri, pesantren mendelegasikan beberapa santri untuk mengikuti
pelatihan, baik tingkat wilayah maupun Nasional. Pada periode ini pula,
pesantren mulai merintis hal-hal yang menyangkut keterampilan santri, mulai
dari elektro, jahit menjahit, pertanian serta kemampuan kebahasaan
(Arab-Inggris).
Selain itu, para
santri dan alumni dianjurkan untuk mengisi ruang-ruang birokrasi. Jumlah santri
pada masa KH. Hasyim meningkat drastis. Pada tahun 1983, jumlah santri Nurul
Jadid mencapai sekitar 2000 santri.
Periode Pengembangan
(1984-2000)
Setelah KH. Hasyim
wafat, posisi pengasuh diemban oleh KH. Wahid Zaini. Meski kesibukan KH. Wahid
di luar pesantren sangat padat, beliau tetap bisa mengurus pesantren dengan
baik. Pada masa KH. Wahid, Pondok Pesantren Nurul Jadid mengalami perkembangan
yang sangat pesat, baik dalam jumlah santri maupun pelayanan dan pengembangan
kemasyarakatan. Tokoh pesantren yang punya pemikiran modern ini tak hanya
mendidik para santrinya agar mampu memahami ilmu-ilmu agama dan teknologi.
Lebih dari itu, pada masa kepemimpinannya, KH. Wahid mendorong masyarakat
sekitar agar lebih mandiri dan maju dalam hal pendidikan, ekonomi, dan
kesehatan.
Dalam bidang
pendidikan, dilakukan pembenahan mulai dari TK (Taman Kanak-Kanak) hingga
perguruan tinggi. Pembenahan itu antara lain dilakukan pada TK Nurul Muni’m.
Pada tahun 1989, dijalin kerjasama antara PKBI (Perkumpulan Keluarga Berencana
Indonesia) dan Pesantren Nurul Jadid. Pada perkembangannya, TK Nurul Mun’im
kemudian berubah menjadi TK. Bina Anaprasa.
Satu tahun kemudian,
beberapa lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya memiliki status terdaftar dan
diakui, diusahakan meningkat menjadi disamakan. Dengan peningkatan status ini,
lembaga pendidikan tersebut sejajar dengan lembaga pendidikan negeri. Beberapa
lembaga tersebut adalah SMUNJ yang disamakan pada tahun 1990, SMPNJ disamakan
pada tahun 1991, dan MTsNJ serta MANJ disamakan pada tahun yang sama, yaitu
1997.
Pada tahun 1992, di
Pesantren Nurul Jadid juga telah dirintis berdirinya Madrasah Aliyah Program
Keagamaan (MAPK). Hal ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan anak didik
memahami kitab klasik dan juga mampu berbahasa asing (Arab dan Inggris). Pada
tahun 1995, berdasarkan kurikulum baru, lembaga pendidikan MAPK berubah nama
menjadi MAK.
Sementara itu,
upaya-upaya pengembangan juga terjadi pada jenjang pendidikan tinggi. Seperti
perubahan status dari PTID menjadi Institut Agama Islam Nurul Jadid (1986). Perubahan
itu dilakukan berbarengan dengan bertambahnya konsentrasi keilmuan di tubuh
PTID menjadi tiga Fakultas: Dakwah, Tarbiyah dan Syariah. Kemudian, pada tahun
1999, masing-masing fakultas tersebut lolos akreditasi Badan Akreditasi
Nasional (BAN).
Bidang teknologi
komputer juga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Untuk menjawab
tantangan dalam bidang teknologi informasi, pada tahun 1999 didirikan Sekolah
Tinggi Teknologi Nurul Jadid (STTNJ), yang semula hanya berupa kursus komputer.
Kursus tersebut kemudian berkembang menjadi program Diploma I yang kemudian
dikembangkan menjadi Akademi Komputer Indonesia (AKOMI).
Pesantren juga
menggalakkkan pengembangan bahasa asing. Untuk mewujudkan itu, didirikanlah
Lembaga Pengembangan Bahasa Asing (LPBA), yang menjadi cikal bakal pendidikan
D1 Bahasa Inggris. LPBA diharapkan dapat menghidupkan ghirah berbahasa
asing di masing-masing gang (sebuah istilah untuk menunjuk tempat tinggal
santri sehari-hari). Harapannya, bahasa Arab dan Inggris akan menjadi bahasa
santri sehari-hari.
Berbagai upaya
dilakukan untuk mendorong kemajuan dan kemandirian masyarakat sekitar
pesantren. Melalui Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM), PP Nurul
Jadid mendirikan Unit Simpan Pinjam (USP) yang dirintis tahun 2000. USP
didirikan guna membantu para petani tembakau sekaligus memberikan pendampingan
pada mereka. Ide ini muncul karena petani tembakau di sekitar Paiton tidak
memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan pengambil kebijakan. Padahal,
tembakau merupakan komuditas utama penopang perekonomian masyarakat. Melalui
Paperton, pesantren dan masyarakat bermusyawarah seputar persoalan-persoalan
pertembakauan, seperti kapasitas produksi, kapasitas daya tampung, gudang, dan
lain-lain.
Pesantren juga
merintis berbagai usaha agrobisnis berupa penanaman varietas tanaman.
Seringkali tanaman petani hanya sejenis. Akibatnya, kalau satu terserang hama,
semua tanaman akan ludes. Usaha lainnya berupa peternakan dan perikanan. Untuk
membantu masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan yang baik, Pondok Pesantren
juga mendirikan Klinik Azzainiyah, yang semula bernama Usaha Pelayanan
Kesehatan Santri (UPKS). Pun demikian, pesantren juga membangun panti asuhan
untuk menampung anak-anak dari kalangan ekonomi lemah.
Setelah KH. Wahid wafat,
kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh KH. Moh. Zuhri Zaini. Pada masa KH.
Zuhri, dilakukan pembenahan dalam struktur Pondok Pesantren, seperti
dibentuknya Dewan Pengasuh, Koordinatorat sebagai lembaga yang membantu
pengasuh, restrukturisasi BPPM, menambah struktur baru seperti BKLH dan Lajnah
Falakiyah, pembentukan bagian khusus yang menangani pembinaan Al-Qur’an, serta
mendirikan Ma’had Aly yang memiliki konsentrasi dalam pembinaan kader dakwah.
Untuk peningkatan
kinerja organisasi pesantren, dilakukan beberapa langkah pembenahan
infrastruktur manajemen pesantren, seperti pengadaan Local Area Network (LAN)
sebagai penghubung elektronik antar lembaga, sentralisasi data, pembuatan
website, dan lainnya.
Selain itu,
pengembangan dan perluasan area Pondok Pesantren Nurul Jadid juga dilakukan,
terutama di area kampus terpadu, sebelah timur kompleks pondok pesantren,
meliputi: IAI Nurul Jadid, STT Nurul Jadid, dan STIKes Nurul Jadid.
Pengembangan sarana
ibadah juga dilakukan, seperti renovasi Masjid Jami’ Nurul Jadid menjadi tiga
lantai, penambahan mushalla-mushalla di wilayah puteri, serta melakukan
penambahan asrama sebagai sarana prasarana tempat mukim santri, meliputi:
Asrama I’dadiyah Daltim, Asrama Sunan Muria (L), Asrama Sunan Maulana Malik
Ibrahim.
Pendidikan Formal
·
Pendidikan Tinggi
·
IAI Nurul Jadid
·
STT Nurul Jadid
·
STIKES Nurul Jadid
·
Ma’had Ali Nurul Jadid
Tingkat Atas
·
MA Nurul Jadid
·
SMA Nurul Jadid
·
SMK Nurul Jadid
Tingkat Menengah
·
SMP Nurul Jadid
·
MTs Nurul Jadid
·
MTs Azzainiyah I
·
MTs Azzainiyah II
Tingkat Dasar
·
MI Nurul Mun’im
·
MI Azzainiyah I
·
MI Azzainiyah II
·
TK Bina Anaprasa
·
Taman Posyandu Anak Sholih
Madrasah Diniyah
Pusat Informasi
Jl. Kyai Haji Zaini
Mun’Im, Desa Karanganyar, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur 67291
Kantor Pusat
Telp/Fax : +62 (0335) 774121
(0335) 771248
(0335) 774582
Informasi
Pesantren:
081-3333-456-20 (WhatsApp, Telegram, Call, SMS)
Keluhan: 081-3333-456-13
(WhatsApp, Telegram, Call, SMS)
Wilayah
K (Zaid Bin Tsabit)
(0335) 774594
082-849-700-861
082-341-469-995
082-341-469-995
Dalbar
(Wilayah Azzainiyah)
(0335) 771644
(0335) 771131
082-833-771-85
Daltim
(Wilayah Alhasyimiyah)
082231107387
082234234908
082234234908
Dalsel
(Wilayah Fatimatuzzahro)
(0335) 771701
email: info@nuruljadid.net
[]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar