NIIS
Setelah Al-Baghdadi
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Setelah
militer Rusia mengumumkan kematian Abu Bakar al-Baghdadi, khalifah Negara Islam
Irak-Suriah, sebuah lembaga bereputasi di Inggris, organisasi Pemantau Hak
Asasi Manusia Suriah (SOHR), juga mengonfirmasi tewasnya sosok yang paling
diincar koalisi anti-NIIS ini. Kabarnya, Al-Baghdadi tewas di Provinsi Deir
Zorr, wilayah timur Suriah.
Kabar
kematian orang nomor wahid di Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) itu makin
membuktikan betapa lemahnya kekuatan NIIS setahun terakhir. Setelah Mosul
dikendalikan Pemerintah Irak, kini kekuatan NIIS hanya berpusat di Raqqa,
Suriah. Koalisasi anti-NIIS yang melibatkan AS, Rusia, Iran, Turki, dan
negara-negara Eropa membuahkan hasil maksimal.
Intinya,
kekuatan NIIS melemah karena kepemimpinan Al-Baghdadi sangat determinan dan
sentralistik. Meskipun demikian, seperti dikhawatirkan banyak pihak, informasi
kematian Al-Baghdadi jangan dianggap akhir dari gerakan terorisme.
Untuk
sekadar menolak lupa, dulu kematian Osama bin Laden dianggap sebagai akhir dari
gerakan terorisme. Tapi, tidak lama setelah itu muncul Al-Baghdadi yang
mendeklarasikan khalifah gerakan teroris baru, yang dikenal dengan NIIS. Tidak
lama setelah itu, NIIS jadi gerakan global yang melancarkan berbagai aksi
terorisme di belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan, NIIS dianggap
lebih brutal daripada Al Qaeda.
Simon
Mabon dalam fortune.commenyatakan, setelah kabar kematian Al-Baghdadi, Abu
Haitham al-Obaidi—tokoh penting NIIS di Hawija, Irak—sudah mendeklarasikan diri
sebagai khalifah. Meskipun, konon, Al-Obaidi sudah menyatakan keluar dari NIIS,
tetapi sosok-sosok baru akan bermunculan.
Dalam
jaringan terorisme global, mereka tak akan kehilangan sosok-sosok penting yang
siap mengendalikan aksi terorisme secara global. Apalagi mereka kini punya
instrumen yang sangat mudah dan fleksibel dalam mengonsolidasikan jaringannya,
terutama melalui media sosial.
Informasi
kematian Al-Baghdadi langsung direspons Dabiq,
salah satu media terdepan NIIS, dengan mengeluarkan ancaman berupa
serangan mematikan.
Tiga problem
Itu
artinya, NIIS setelah kabar kematian Al-Baghdadi tidak menyusutkan ambisinya
melakukan perlawanan. Mereka justru mengumandangkan perlawanan lebih besar dan
lebih brutal. Kematian Al-Baghdadi tak dapat dipahami sebagai akhir dari NIIS,
tapi justru sebagai ancaman serius bagi keamanan global.
Setidaknya
ada tiga hal yang jadi problem bagi upaya melawan terorisme global. Pertama,
Irak dan Suriah akan menjadi medan pertaruhan baru setelah kematian
Al-Baghdadi. Di kedua negara ini banyak eks pasukan NIIS yang dapat jadi
ancaman serius.
Di Irak,
khususnya mereka eks aktivis/militer yang berafiliasi pada Partai Baats yang
sebelumnya loyal terhadap Saddam Husein, mereka mempunyai keahlian melakukan
serangan teroris, yang selama ini menjadi milisi NIIS. Di Suriah, kaum militan
Sunni yang selama ini berseberangan secara politik dengan Bashar al-Assad.
Mereka juga dapat jadi batu sandungan serius karena keterpinggiran mereka
secara sosial-politik dapat memaksa mereka melakukan perlawanan dan aksi
terorisme yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Kedua,
koalisi antara NIIS dan Al Qaeda. Kehadiran NIIS dengan sosok karismatik
Al-Baghdadi telah menenggelamkan kedigdayaan Al Qaeda. NIIS dapat menggantikan
posisi Al Qaeda setelah kematian Osama bin Laden. Ayman al-Zawahiri yang
digadang-gadang sebagai pengganti Osama tidak mampu menyatukan para teroris.
Al-Baghdadi yang mendeklarasikan sebagai khalifah mendapat respons lebih baik,
apalagi setelah menguasai Mosul dan Raqqa.
Kabar
kematian Al-Baghdadi merupakan kabar baik bagi Al Qaeda. Apalagi bagi Hamza,
putra Osama bin Laden, yang digadang-gadang akan menggantikan posisi Ayman
al-Zawahiri sebagai pucuk pimpinan Al Qaeda. Bagaimanapun, posisi pimpinan
dalam jaringan terorisme global sangat penting. Kehadiran Hamza dianggap
sebagai angin segar untuk merangkul kembali eks milisi NIIS. Al Qaeda
dikhawatirkan akan jadi kendaraan baru bagi para milisi NIIS.
Ketiga,
konteks global yang sangat tidak berpihak pada perdamaian. Isu memanas di
Masjidil Aqsa, Jerusalem, sangat mengganggu perdamaian dan perlawanan terhadap
terorisme global. NIIS dan Al Qaeda seakan mendapatkan umpan lambung bagi
proliferasi gerakannya. Isu Palestina dan Masjid Al-Aqsa merupakan isu paling
empuk untuk merekrut dan meneguhkan eksistensi terorisme.
Rekonsiliasi politik
Di
samping itu, beberapa negara yang masih dilanda konflik politik, seperti Irak,
Suriah, dan Libya, dapat menjadi tantangan serius bagi upaya melawan gerakan
terorisme global. Aksi terorisme di Manchester, Inggris, terakhir justru
dikendalikan oleh jaringan terorisme dari Libya.
Hal itu
membuktikan, kontraksi politik di Timur Tengah akibat badai musim semi Arab
akan menjadi tantangan besar yang mesti dicarikan jalan keluar dan mendapatkan
perhatian.
Setidaknya
diperlukan rekonsiliasi politik secara besar-besaran di antara pihak-pihak yang
selama ini bertikai. Kubu Sunni-Syiah di Irak, plus suku Kurdi, menjadi agenda
penting untuk mengintegrasikan mereka dalam relasi kebangsaan yang paripurna.
Kepentingan Irak harus diutamakan daripada kepentingan sekte dan golongan.
Rekonsiliasi
politik di Libya juga harus menjadi agenda utama karena negara ini juga menjadi
destinasi jaringan terorisme global. Pihak-pihak yang selama ini berseteru
harus kembali ke meja perundingan, membentuk konstitusi yang dapat merangkul
semua suku, sekte dan faksi politik, serta menjalankan demokrasi yang
transparan dan tepercaya. Intinya, Libya harus stabil secara politik, damai,
dan aman.
Di
Suriah, rezim Bashar al-Assad dan kubu oposisi harus mencari jalan tengah untuk
mengedepankan kepentingan negara daripada kepentingan sekte dan politik
golongannya. Pihak-pihak yang selama ini bertikai harus kembali ke meja
perundingan.
Stabilitas
politik di kawasan Timur Tengah dan Arab pada umumnya mutlak diperlukan agar
jaringan terorisme global tidak punya ”tempat tinggal”. Situasi yang berkecamuk
di kawasan merupakan tanah yang subur bagi tumbuhnya para teroris dan
gerakannya. Karena itu, stabilitas politik menjadi prasyarat mutlak agar para
teroris tidak memiliki tempat untuk mengonsolidasikan gerakannya.
Oleh
karena itu, setelah kematian Al-Baghdadi masih menyisakan tanda tanya besar.
Akankah kita mampu membumihanguskan jaringan NIIS dan terorisme global lainnya
di tengah realitas sosial-politik global yang menyisakan problem serius?
Tentu
kita tidak bisa membumihanguskan NIIS dan jaringan terorisme. Namun, kita harus
berusaha untuk menyelesaikan akar-akar terorisme, seperti melakukan
deradikalisasi, mendorong keadilan global terwujud, dan selalu menyuarakan
bahwa terorisme merupakan dosa besar dan kejahatan kemanusiaan. []
KOMPAS, 3
Agustus 2017
Zuhairi
Misrawi | Analis Pemikiran dan Politik Timur Tengah The Middle East Institute
Tidak ada komentar:
Posting Komentar