Hizib Kiai Dalhar
Watucongol saat Hadapi Penjajah
Perjuangan melawan
sekaligus mengusir penjajah pasca bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan
pada 17 Agustus 1945 nampaknya belum berakhir. Kemerdekaan yang sedianya
dirasakan oleh rakyat Indonesia terus mendapat intimidasi kolonial yang seakan
tidak rela melepas tanah dengan kekayaan alam melimpah seperti Indonesia.
Hal ini terjadi
misalnya ketika tentara NICA (Belanda) membonceng Sekutu (Inggris-Gurkha) dan
mendarat di Surabaya pada 10 November 1945. Seminggu setelah berkobarnya perang
di Surabaya antara para santri dan rakyat Indonesia melawan Tentara Sekutu yang
dipimpin Brigjen Mallaby, pertempuran kembali bergolak ke Semarang, Ambarawa,
dan Magelang.
Tentara Sekutu
mendarat di Semarang pada 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen Bethel.
Awalnya rakyat Indonesia ikut membantu pergerakan Tentara Sekutu yang
kedatangannya ingin menyisir sisa-sisa tentara Nippon (Jepang) di Indonesia
pasca Sekutu mengalahkan Jepang lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Tetapi seperti
terjadi di daerah-daerah lain, serdadu NICA menyalakan obor fitnah dan mengadu
domba sehingga terjadilah insiden antara rakyat Indonesia dengan tentara
Sekutu. Insiden karena adu domba NICA ini menjalar ke sejumlah wilayah di Jawa
Tengah, seperti Magelang. Bung Tomo, setelah secara perkasa membantu perjuangan
santri di Surabaya, dia menuju ke Jawa Tengah karena situasi sama gentingnya
seperti yang terjadi di Jawa Timur.
Namun demikian,
kondisi ini juga mendapat perhatian serius dari para ulama Magelang.
Diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri (1919-1986), ulama se-Magelang mengadakan
pertemuan di rumah Pimpinan Hizbullah di belakang Masjid Besar Kota Magelang
pada 21 November 1945. Pertemuan ini dilaksanakan pada tsulutsail-lail atau
saat memasuki duapertiga malam (sekitar pukul 03.00 dini hari).
Ulama yang dipanggil
sedianya hanya 70 orang, namun yang hadir melebih ekspektasi yaitu 200 orang
ulama dalam pertemuan riyadhoh ruhaniyah itu. Para ulama menilai, gerakan batin
atau gerakan rohani ini untuk menyikapi situasi genting yang terjadi di dalam
Kota Magelang dan sekitarnya, terutama sepanjang garis
Magelang-Ambarawa-Semarang. Karena di Pendopo rumah Suroso tidak cukup,
sebagian ditempatkan di markas Sabilillah yang jaraknya 100 meter.
Disaat ratusan ulama
sudah terkumpul, mayoritas hadirin berharap-harap cemas ketika menanti
kedatangan sejumlah ulama khos yang belum hadir, di antaranya KH Dalhar
(Pengasuh Pesantren Watucongol), KH Siroj Payaman, KH R. Tanoboyo, dan KH
Mandhur Temanggung. Mereka adalah ulama “empat besar” untuk Magelang dan
sekitarnya yang akan memimpin riyadhoh ruhaniyah tersebut.
Dalam pertemuan yang
juga dihadiri oleh Letkol M. Sarbini dan Letkol A. Yani dan satu regu pengawal
siap tempur itu, para ulama dan rakyat dipimpin ulama “empat besar” itu membaca
aurod yang sudah terkenal di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jamaah antara lain,
Dalail Khoirot, Hizib Nashor li Abil Hasan Asy-Syadzili, Hizib al-Barri, dan
Hizib al-Bahri, keduanya Li Abil Hasan Asy-Syadzili yang termasyhur.
Adapun KH Dalhar
Watucongol (1870-1959) yang saat itu telah menginjak usia 75 tahun memunajatkan
doa khusus. Kiai Dalhar memang dikenal sebagai ulama yang paling ‘alim di
antara hadirin yang datang. Ulama yang amat rendah hati, tenang, dan tawadhu
tersebut memanjatkan doa agar rakyat Indonesia diberi kesanggupan dalam
berjuang mengenyahkan penjajah, khususnya Inggris yang bercokol di Magelang.
Berikut munajat agung Kiai Dalhar Watucongol:
Anta yaa Robbi bika
nastanshiru ‘alaa a’daainaa wa anfusinaa fanshurnaa wa ‘alaa fadhlika
natawakkalu fii sholahinaa falaa takilnaa ilaa ghoirika ya Robbanaa. Wa
bibaabika naqifu falaa tathrudnaa waiyyakaa nas’alu falaa tukhoyyibna.
Allahumma irham tadhorru’anaa wa aamin khaufana wa taqobbal a’maalanaa wa
ashlih ahwaalanaa wa ij’al bi thoo’atika isytighoolanaa wa akhtim bissa’adati
aajaalanaa. Haadzaa dzulunaa la yakhfaa ‘alaika. Amartanaa fa tarokna wa
nahaitanaa fartakabnaa walaa yasa’unaa illaa ‘afwika fa’fu ‘anaa ya khoiro
ma’mulin wa akroma mas’uulin innaka ghofurur roufur rohiim ya Arhamar Rohimiin.
(Ya Allah, hanya
kepada-Mu kami memohon pertolongan untuk mengalahkan musuh-musuh kami, dan
untuk keselamatan jiwa raga kami mohon pertolongan-Mu. Atas keunggulan
kelebihan-Mu, ya Allah kami menyerahkan nasib baik kami, sebab itu tidak
berserah diri kepada yang bukan Engkau ya Tuhan kami. Kami berdiri di depan
pintu Rahmat-Mu, maka janganlah Engkau mengusir kami. Hanya kepada-Mulah kami
mengajukan permohonan, maka janganlah Engkau gagalkan permohonan ini. Ya Allah
belas kasihanilah sikap rendah diri kami ini dan lenyapkanlah ketakutan kami
terhadap musuh. Mohon Engkau terima amal kami, dan keadaan kami mohon
diperbaiki. Jadikanlah kami senantiasa rajin menjalankan perintah-perintah-MU
dan menjauhi larangan-larangan-Mu. Jika telah datang ajal kami, mohon diakhiri
dengan keadaaan yang berbahagia. Inilah sikap renah diri kami di hadapan-Mu,
dan tentang hal ihwal kami Engkau pasti Maha Tahu. Engkau memerintahkan kami
supaya mengerjakan tugas kewajiban tetapi telah kami abaikan. Sebaliknya,
Engkau mencegah kami berbuat durhaka bahkan kami gemar melakukannya. Tapi semua
itu tidak menghanyutkan kami untuk memohon Ampunan-Mu. Wahai Dzat yang menjadi
tumpuan segala keinginan dan permohonan, yang paling dermawan untuk menjadi
tempat meminta-minta. Engkaulah Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Wahai Dzat yang paling kasih sayang). ***
Kisah ini disampaikan
oleh KH Saifuddin Zuhri dalam buku karyanya “Berangkat dari Pesantren”.
[]
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar