Mengelola Radikalisme
Oleh: Hasibullah Sastrawi
Andai bisa diselesaikan dengan penjara ataupun tembak mati,
niscaya tak ada lagi terorisme dan radikalisme. Sebab, sudah banyak teroris
yang ditahan ataupun ditembak mati.
Radikalisme, kata Ali Fauzi, mantan pelaku terorisme yang sudah
menjadi aktivis perdamaian, bukanlah produk yang instan. Berdasarkan pengalaman
pribadi Ali Fauzi beserta saudara dan sejumlah temannya yang terlibat dalam
serangkaian aksi teror, radikalisme melalui proses yang panjang. Karena itu,
menyelesaikan persoalan radikalisme, masih menurut Ali Fauzi, juga membutuhkan
proses yang panjang.
Dari pengalaman pribadi penulis terlibat dalam program penanganan
terorisme, apa yang dikatakan Ali Fauzi itu terkonfirmasi sejumlah fakta di
lapangan. Hampir tidak ada orang yang tiba-tiba berkomitmen terhadap
radikalisme.
Sebaliknya, justru ada sebagian pihak yang mau keluar dari
jaringan ini, tetapi tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Alih-alih
hadir meyakinkan dan mendukung perubahan yang baru bertumbuh, kebijakan negara
dan kondisi sosial politik yang kurang mendukung (ditambah pengaruh jaringan
lamanya yang masih kuat) membuat perubahan yang ada berjalan di tempat. Bahkan,
bisa benar-benar berhenti hingga yang bersangkutan ”balik badan” kembali
menjadi pelaku aksi kekerasan.
Benar bahwa belakangan muncul fenomena lone wolf di kalangan
kelompok ini yang mengesankan seseorang menjadi radikal secara mendadak dan
bertindak sendirian. Namun, hampir bisa dipastikan, pelakunya mengalami proses
radikalisasi terlebih dahulu sebelum akhirnya melakukan penyerangan secara lone
wolf.
Dengan kata lain, penyerangan secara lone wolf mungkin dilakukan
secara sendirian dan direncanakan dalam waktu relatif singkat. Namun, sebelum
melakukan penyerangan, yang bersangkutan mengalami proses radikalisasi yang
panjang seperti disampaikan Ali Fauzi di atas sampai akhirnya yang bersangkutan
sampai pada tahap keputusan melakukan penyerangan secara lone wolf.
Oleh karena itu, penanganan terorisme dan radikalisme butuh
semangat pengelolaan yang kuat, khususnya oleh para pengambil kebijakan di negeri
ini.
Ibarat menangani virus atau penyakit (analogi ini mungkin tidak
sepenuhnya tepat karena dengan adanya faktor ideologi, terorisme lebih samar
daripada virus atau penyakit), semangat pengelolaan dibutuhkan agar penyakit
yang ada tidak menyebar ke mana-mana. Bahkan, jika dimungkinkan, mereka yang
sudah terpapar penyakit ini bisa disembuhkan ”dari dalam”.
Parsial dan belum optimal
Semangat inilah yang menjadi salah satu kelemahan penanganan
radikalisme dan terorisme di Indonesia belakangan ini. Pendekatan yang ada
cenderung bersifat parsial dan belum bisa memberikan hasil yang optimal.
Sebagai contoh, penanganan terorisme selama ini lebih bertumpu
pada penegakan hukum dan memenjarakan mereka yang terbukti terlibat dalam
tindak pidana terorisme. Padahal, lembaga pemasyarakatan (lapas) selama ini
mengalami kelebihan penghuni. Alih-alih menyelesaikan masalah, penahanan para
teroris justru menimbulkan masalah baru. Bahkan, pada sebagian kasus para
narapidana teroris justru berhasil meradikalisasi napi-napi umum. Sebagian lain
menjadi residivis setelah keluar penjara.
Namun, tak berarti penanganan terorisme di lapas gagal sama
sekali. Cukup banyak narapidana teroris dapat ditangani secara baik oleh para
petugas lapas. Jika ada yang bisa memengaruhi seorang narapidana teroris
berubah menjadi pribadi yang menjunjung tinggi perdamaian, hampir dipastikan
petugas lapas adalah bagian dari pihak yang berperan pada masa-masa awal
perubahan.
Bukan hal aneh mengingat akutnya pengaruh paham terorisme dan
radikalisme di kalangan narapidana teroris, sebagian dari mereka tak mau
bertegur sapa dengan petugas lapas karena menganggap para petugas tersebut
thoghut. Bahkan, sebagian narapidana teroris ada yang awalnya tak mau makan
nasi di lapas karena dianggap sebagai pemberian thoghut.
Oleh karena itu, sekecil apa pun perubahan yang terjadi dalam diri
narapidana teroris sejatinya perlu diapresiasi dan diberi ruang untuk terus
berubah. Terlebih jika perubahannya sampai tahap mau menerima NKRI, hormat
bendera, dan berkomitmen tak melakukan lagi aksi kekerasan.
Barangkali, yang harus menjadi perhatian bukan soal penanganan
narapidana teroris di lapas, melainkan lebih pada kebijakan yang seakan
menjadikan penegakan hukum dan penahanan teroris sebagai solusi tunggal. Penanganan
terorisme dan radikalisme belakangan ini lebih bertumpu pada pendekatan
senjata, khususnya saat operasi penangkapan yang tak jarang melibatkan aksi
baku tembak dan mengakibatkan meninggalnya terduga teroris.
Tentu kita tidak bisa menghakimi situasi di lapangan yang membuat
aparat memilih opsi senjata dalam melumpuhkan terduga teroris. Hanya saja, akan
lebih baik jika operasi tak sampai menewaskan terduga teroris sehingga aparat
bisa menggali informasi lebih lengkap dari yang bersangkutan dan tidak
menimbulkan dendam berkepanjangan.
Hal ini penting menjadi kesadaran bersama mengingat karena
terorisme beririsan dengan faktor ideologi yang tak bisa dilumpuhkan dengan
senjata. Penggunaan senjata tak jarang justru menimbulkan masalah baru, seperti
dendam yang kian menguatkan kebencian kepada aparat, termasuk dari mereka yang
bersimpati kepada para teroris.
Alih-alih selesai, terorisme dan radikalisme justru kian menyebar
dan nekat. Munculnya fenomena lone wolf yang menjadikan aparat keamanan
(khususnya polisi) sebagai target serangan adalah salah satu indikator.
Indikator lain adalah penanganan terorisme dan radikalisme selama ini gagal
mengurangi jumlah orang yang berpaham demikian.
Pendekatan keagamaan
Catatan serupa juga perlu diberikan pada penanganan terorisme dan
radikalisme yang bertumpu pada pendekatan keagamaan. Para teroris umumnya tak
pernah merasa ”kurang pemahaman” mengenai agama. Justru mereka acap merasa
sangat ahli agama sehingga sampai tahap rela mati demi agama yang diyakini.
Pada tahap seperti ini, apa yang dilakukan teroris bisa
dikategorikan sebagai salah satu bentuk politisasi agama, minimal menggunakan
agama untuk tujuan politis. Di ujung perjuangannya, para teroris hendak
menegakkan negara agama melalui sistem yang diyakini sesuai dengan keyakinan
agamanya.
Muhammad Said Asymawi, kritikus gerakan Islam berkebangsaan Mesir
(1986), menyatakan, politisasi agama acap menimbulkan permusuhan dan aksi
kekerasan tanpa akhir. Permusuhan dan aksi kekerasan tidak hanya dilakukan kepada
mereka yang berbeda agama, tetapi juga yang satu agama, tetapi berbeda
pandangan atau aliran.
Dalam bukunya mengenai aliran-aliran dalam Islam, Hasan Shadiq
menyebut hal di atas sebagai ”kecenderungan umum” kelompok radikal yang hanya
mengakui kebenaran keyakinan kelompoknya. Di luar diri mereka, mereka
menganggap tak ada keyakinan yang benar sehingga darah dan harta orang-orang di
luar mereka dihalalkan. Kondisi inilah yang acap membuat pendekatan keagamaan
kepada para teroris mengalami jalan buntu.
Hal yang paling fatal dari cara penanganan terorisme dan
radikalisme akhir-akhir ini adalah karena semangatnya, penanganan tersebut
lebih bersifat pembasmian, bukan membatasi penyebarannya dan mengubah secara
perlahan orang yang terpapar paham terorisme dan radikalisme.
Di sini penting untuk mengambil pelajaran dari sejarah bahwa
ideologi atau keyakinan nyaris tak bisa dibasmi atau dibunuh. Ideologi juga
nyaris tidak bisa dibenturkan.
Jika ideologi dipaksa dibasmi, yang kerap terjadi justru menguatnya
militansi, bahkan radikalisasi. Hal yang paling mungkin adalah membatasi
penyebarannya atau mengubah keyakinan orang yang sudah terpapar.
Radikalisme ataupun kelompok-kelompok yang anti-NKRI dan Pancasila
bukan hal baru bagi bangsa ini. Mereka juga sudah ada pada masa-masa sebelum
sekarang. Bahkan, mereka yang anti-NKRI dan Pancasila sudah ada sejak masa-masa
awal kemerdekaan.
Bedanya dengan sekarang, para pendahulu dan pendiri bangsa ini
berani berdialog sembari menarik mereka secara perlahan ke arah NKRI dan
Pancasila. []
KOMPAS, 9 Agustus 2017
Hasibullah Satrawi | Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar