Hongyi dan Shangwu di Balik Hsien Loong dan Hsien Yang
Oleh: Dahlan Iskan
APAKAH perpecahan di keluarga Perdana Menteri Singapura
Lee Hsien Loong terkait dengan suksesi? Mengapa yang jadi pemicu perpecahan
adalah wasiat terakhir mendiang ayah mereka yang juga bapak pendiri Singapura,
Lee Kuan Yew?
Apakah kisah suksesi di Singapura akhirnya juga mirip
drama pergolakan keluarga kerajaan di Tiongkok zaman dulu? Dengan bumbu lebih
seru karena, tidak seperti zaman kekaisaran dulu, kini pergolakan itu bisa
dimeriahkan dengan media sosial?
Yang jelas, perpecahan ini bukan soal rebutan harta
waris. Dalam pengertian tradisional. Yang jadi objek sengketa memang harta
waris. Tapi bukan rebutan untuk mendapatkannya. Melainkan mau diapakan rumah
mendiang bapak mereka di Jalan Oxley No 38 itu.
Anak sulung yang kini berkuasa di Singapura, Lee Hsien
Loong, menghendaki rumah bersejarah bagi Singapura itu harus diabadikan. Dua
adiknya, Lee Wei Ling dan Lee Hsien Yang, berkeras rumah itu harus dirobohkan.
Tentu ada alasan mendasar di baliknya. Saya mencermati
adanya alasan yang mendasar itu. Yakni, dari pernyataan tersamar dua adik ini:
Singapura harus menjadi lebih besar dari sekadar keluarga Lee Kuan Yew.
Kalimat itu dalam sekali artinya. Dan tujuannya. Dan
dampaknya. Tidak berhubungan dengan uang. Sama sekali. Tidak ada hubungannya
dengan bagi-bagi warisan.
Ada satu kalimat lagi yang bisa dianalisis sampai jauh.
Diucapkan oleh anak sulung Hsieng Yang yang masih muda: Lee (Li) Shangwu. Yang
posisinya adalah cucu laki-laki Lee Kuan Yew.
Sejak lama dia mengatakan ini: Jangan ada lagi keturunan
Lee Kuan Yew yang sekolah dengan bantuan beasiswa pemerintah. Kalimat ini
seperti otokritik. Juga bisa diartikan prorakyat. Tapi bisa juga diartikan
menyudutkan sepupunya sendiri: anak Hsien Loong dari Hoching. (Istri pertama
Hsien Loong meninggal akibat sakit jantung pada 1982 dengan dua anak. Dua tahun
kemudian Hsien Loong mengawini Hoching yang belakangan menjadi wanita amat
berkuasa. Juga memberinya dua anak).
Dua adik Hsien Loong memang sama-sama pintarnya.
Sama-sama lulusan universitas yang sama: Cambridge.
Adik wanitanya itu, Wei Ling, adalah seorang neurolog
lulusan Inggris. Dia penulis tetap artikel di koran terbesar di Singapura, The
Strait Times. Tapi hanya satu tahun. Dia marah. Tulisannya diedit redaktur.
Agar sesuai dengan misi pemerintah. Dia merasa tidak bisa menulis sesuai dengan
hati nuraninya. Dia menilai ada sesuatu yang salah dalam sistem politik dan
pemerintahan di Singapura. Yang memberangus kebebasan bicara.
Wei Ling yang memutuskan untuk tidak pernah menikah itu
akhirnya lebih berfokus menjadi dokter keluarga. Menjaga ayah-ibunya. Terutama
sejak ibunya mulai sakit-sakitan. Juga sejak ayahnya tidak sesegar dulu lagi.
Wei Ling terus tinggal serumah dengan ayah-ibunya.
Meski anak wanita, Wei Ling mewarisi sikap keras
ayahnya. Suatu saat Lee Kuan Yew mengatakan kepada anak wanitanya ini:
''Watakmu ini persis ayahmu, tapi itu bisa jadi tidak menguntungkan kamu.''
Sebagai anak wanita tentunya.
Apa kata Wei Ling?
Katanya: ''Ibu saya telah menetapkan standar yang
tinggi untuk saya kalau saya ingin menjadi seorang ibu yang baik. Mungkin
karena itu saya memutuskan untuk tidak mau jadi ibu. Saya tidak akan bisa hidup
di sekitar suami. Atau mungkin suami tidak akan bisa hidup di sekitar saya.''
Ucapan Wei Ling itu sangat bagus. Tapi bisa juga
menohok. Atau ada yang merasa tertohok: Hoching. Iparnya. Istri perdana menteri
yang amat berkuasa. Hoching adalah bos tertinggi Temasek Holding. Semua BUMN
Singapura di bawahnya. Dia juga memegang semua dana cadangan Singapura. Dia
dinobatkan jadi wanita terkuat di dunia No 30.
Orangnya sendiri sangat sederhana. Ruang kerjanya
sederhana. Hoching adalah lulusan teknik elektro dengan kelulusan terbaik dari
Inggris.
Tapi, model seorang ibu yang baik di mata Wei Ling adalah
sosok ibunya. Meski menjadi istri Lee Kuan Yew yang begitu berkuasa, sang ibu
tidak pernah mau tampil. Tidak boleh ikut campur urusan suami. Apalagi itu
urusan negara. Sang ibu selalu menempatkan diri di belakang layar. Menjadi
penasihat yang tidak diam.
Kelihatan sekali bahwa Wei Ling tidak bisa menerima
cara Hsien Loong mengekang kebebasan berpikir dan menempatkan istrinya sebagai
orang paling kuat kedua di Singapura.
Si bungsu Hsien Yang kurang lebih sama. Berani melakukan
otokritik. Mengoreksi kelemahan pemerintah. Prestasi akademik Hsien Yang memang
tidak kalah dengan kakak sulung. Juga sama-sama mengabdi di militer. Bahkan
pangkatnya sama-sama brigjen.
Saat Hsien Yang mulai menjabat CEO Singtel (juga
pemilik saham Telkomsel Indonesia), banyak yang berspekulasi begini: Kalau ada
gangguan kesehatan pada Hsien Loong, Hsien Yang-lah yang bisa tampil sebagai
perdana menteri ke-4 Singapura. Waktu itu anak-anak Hsien Loong masih kecil.
Ternyata Hsien Loong sehat-sehat saja. Sampai umurnya
65 tahun saat ini. Sampai menjadi perdana menteri lebih dari 13 tahun.
Kemoterapi limpa puluhan tahun lalu sangat berhasil. Hsien Yang sendiri juga
sudah tua. Sudah 60 tahun. Istri Hsien Yang, seorang ahli hukum lulusan
Stamford University, Amerika Serikat, juga sudah berumur 59 tahun.
Anak-anak mereka kini juga sudah besar. Pintar-pintar.
Hebat-hebat. Anak Hsien Loong sudah berumur 29 tahun. Namanya: Lee Hongyi.
Lulusan universitas terbaik dunia, MIT Amerika Serikat. Ahli komputer. Pernah
bekerja di Google. Sampai menjabat manajer produksi. Prestasi akademiknya luar
biasa. Dapat penghargaan tertinggi di Singapura.
Anak Lee Hsien Yang tidak kalah hebat. Umurnya 31
tahun. Namanya: Lee Shangwu. Dia lulusan terbaik Stamford University, Amerika
Serikat. Kemampuan debatnya luar biasa. Dia juara debat antaruniversitas.
Lee Hongyi, 29, dan Lee Shangwu, 31, mulai mengejutkan
masyarakat Singapura tiga tahun lalu. Saat upacara pemakaman Lee Kuan Yew,
kakek mereka. Yakni saat semua anggota keluarga Lee memberikan pidato
perpisahan. Sebelum mayat sang kakek dikremasikan.
Pidato Hongyi dan Shangwu sama-sama memikat. Melebihi
pidato-pidato orang tua dan bibi mereka. Viewer YouTube berlipat-lipat lebih
besar dari pidato orang tua mereka. Bukan saja karena pemirsa YouTube lebih
muda, tapi memang sangat berkualitas.
Maka menarik untuk diikuti perjalanan dua anak muda
ini. Tapi, jangan lupakan dulu perjalanan nasib rumah Lee Kuan Yew di Jalan
Oxley 38. Jadi dibongkar atau tidak.
Adakah kalau rumah itu dibongkar berarti Hsien Loong
kalah? Termasuk tidak bisa memanfaatkan rumah itu untuk melestarikan kekuasaan
keluarga Lee? Dalam hal ini dari jalur Lee Hsien Loong? (*)
JAWA POS, 19 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar