Berbagi
Rezeki, Menabur Kebajikan
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Tuan dan
puan tidak perlu terlalu dirisaukan oleh pertemuan dua mantan jenderal yang
lagi ancang-ancang untuk Pemilihan Presiden 2019, sekalipun mereka sama-sama
punya beban masa lampau.
Juga
jangan panik menonton kelakuan politisi yang tunamartabat dan tunaadab, yang
biasa nongol di media. Juga tak perlu gelisah mengikuti tabiat golongan yang
mengaku beragama, tetapi kelakuannya sering mengafirkan pihak-pihak yang tidak
sepaham, karena mereka mau memonopoli surga sendirian.
Abaikan
semua itu, sebab pengalaman empirik di bawah ini adalah sebuah berita
baik, sangat menyentuh kalbu mereka yang masih waras dan sekaligus
memberi sinar terang kepada masa depan bangsa ini. Masih ada orang baik yang
sangat peduli nasib sesama untuk berbagi rezeki dan menabur kebajikan,
khususnya di dunia pendidikan.
Jika saya
sebut orang baik, di dalamnya belum tentu termasuk diri saya. Namun, pengalaman
pribadi selama beberapa tahun ini, sering kali orang-orang baik itu menemui
saya, apakah mereka itu kiai, pastor, mantan kombatan, pendeta, biksu,
jenderal, pengusaha, intelektual, pekerja sosial, aktivis, pegiat pendidikan,
ataupun kawulo alit.
Sebagian
dari mereka tak mau menonjolkan diri, tak hirau dengan publikasi, tetapi
amal-bakti mereka langsung dirasakan masyarakat banyak di tempat mereka
berkiprah. Jika diamati secara cermat, sosok-sosok manusia baik ini pasti dapat
dijumpai dalam berbagai subkultur, etnisitas, suku, dan profesi. Tak jarang di
antara mereka, orang-orang biasa yang telah berbuat luar bisa untuk kepentingan
pendidikan, sosial, dan kemanusiaan. Fakta semacam ini tentu melegakan dan
menghibur kita, di tengah moral bangsa yang masih labil.
Demikianlah,
pada 21 Juli dan 28-29 Juli 2017, untuk sekian kali, saya mendapat kesempatan
bertemu dan berbincang dengan orang-orang baik itu. Pertama, pengalaman di Desa
Tenggulun, Lamongan, Jawa Timur, daerah asal para kombatan yang mengguncang
jagat raya dengan Bom Bali-nya pada 12 Oktober 2002.
Tentang
kisah ini telah pernah saya tuangkan di media massa. Pengalaman kedua pada
28-29 Juli 2017 di Surabaya bersama pimpinan Yayasan Indonesia Sejahtera
Barokah yang menyantuni ribuan anak didik miskin dan para gurunya di kota itu.
Mereka belum tersentuh tangan negara. Bagi saya, pengalaman ini sungguh sangat
berbekas. Yayasan tersebut berdiri pada 2 Mei 2001, dipimpin seorang pendidik,
Yasin Wijaya, alumnus sebuah universitas di Amerika Serikat.
Diawali
dengan kedatangan seorang pegiat pendidikan dari Jawa Timur, beberapa bulan
lalu, bernama Muhammad Supriyanto, saya diundang untuk hadir di gedung Jatim
Expo bersama sekitar 9.000 murid sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah yang
termajinalkan selama ini.
Supriyanto
bergerak dari kota ke kota hanya dengan sepeda motor, termasuk beberapa kali
menemui saya di Yogyakarta. Entah sudah berapa ribu kilometer dia berada di
atas sadel motor yang setia itu. Para pengusaha sangat percaya kepada sosok
pegiat pendidikan yang satu ini.
Karena
anak didik itu diantar orangtuanya yang juga sekitar 9.000 orang, gedung Jatim
Expo tak mampu menampungnya. Terpaksa, acara diselenggarakan pagi dan siang
pada 29 Juli. Bayangkan, gedung Expo hari itu dipadati 18.000 manusia pada pagi
dan siang. Pada hari itu, semua siswa diberi sepatu sesuai jumlah mereka oleh
seorang pengusaha perhiasan. Kemudian beberapa sekolah miskin yang tidak
mempunyai bangku dan meja tulis juga telah pula disiapkan kebutuhan meja dan
bangkunya oleh seorang pengusaha mebel.
Dan
jangan lupa, ada 570 guru dari 62 sekolah binaan yayasan yang selama ini
berpenghasilan Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per bulan, tetapi sekarang
disubsidi yayasan sekitar Rp 900.000 per bulan per orang. Belum lagi penyediaan
susu dan buah-buahan yang juga digratiskan. Menurut informasi yang saya
dapatkan, di Surabaya saja, terdapat 300 sekolah miskin.
Bersama
ubah keadaan
Pertemuan
pada 29 Juli itu yang ketiga kali diselenggarakan sejak tahun ajaran 2015/2016.
Semula hanya untuk enam sekolah, kemudian bertambah menjadi 27 sekolah, tahun
ini membengkak menjadi 62 sekolah. Tahun depan tentu bertambah jumlah sekolah
miskin yang harus disantuni.
Tidak
cuma disantuni dengan materi, tetapi juga diberi pengarahan dan pelatihan
disiplin demi meningkatkan mutu pendidikan. Pada 1 Agustus 2017, saya
menerima pesan singkat dari Yasin: ”Tentu mereka sangat senang mendapatkan
sepatu dari kami. Harga diri dan jati diri anak perlu terus dibangun dan
diberikan semangat. Supaya mereka bisa memiliki hasrat, cita-cita, bukan
menerima kemiskinan sebagai belenggu kehidupan”. Saya langsung menjawab:
”Dahsyat, jika kebajikan tersebar secara masif, masa depan bangsa ini akan
cerah, seperti terang Surabaya, disinari Yayasan Indonesia Sejahtera Barokah.
Tabik buat teman-teman”.
Kepada
pengusaha perhiasan yang memberikan sepatu kepada 9.000 siswa itu, saya
tanyakan jumlah pengusaha di kota Surabaya. Dijawab, tak kurang dari 100,
tetapi yang punya kepedulian dan kepekaan untuk membantu rakyat miskin,
terutama untuk kepentingan pendidikan, masih sangat terbatas jumlahnya.
Dengan
uluran segelintir pengusaha saja, sudah puluhan sekolah dapat diberdayakan dan
ditingkatkan mutunya. Apalagi jika para pengusaha di sejumlah wilayah Indonesia
bersedia berbuat serupa, tentu wajah pendidikan nasional kita akan berubah,
dari suasana buram ke suasana cerah. Bayangkan, di Surabaya saja, dengan wali
kota yang mendunia, masih banyak sekolah menjerit karena serba kekurangan dan
penderitaan. Jangan ditanya lagi situasi persekolahan di Indonesia bagian
timur, keadaannya pasti jauh lebih buruk dan muram.
Akhirnya,
kita semua berharap agar para pengusaha yang telah menguasai aset besar ekonomi
bangsa Indonesia mau mencontoh mitra mereka dari Surabaya. Mengandalkan negara
semata sesuai dengan perintah Pembukaan UUD 1945 untuk ”mencerdaskan kehidupan
bangsa”, pengalaman sejarah selama 72 tahun merdeka jauh dari harapan.
Kemampuan negara untuk memajukan pendidikan juga terbatas dan bahkan sering
benar salah arah. []
KOMPAS, 7
Agustus 2017
Ahmad
Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar