Mengawal
Dana Desa
Oleh:
Bambang Soesatyo
MARAKNYA
laporan dugaan penyelewengan dana desa harus disikapi dengan sangat serius.
Bukan hanya karena jumlah dana desa yang demikian besar, melainkan tujuan mulia
dari kebijakan itu yang harus diamankan. Inilah momentum bagi Polri dan
Kejaksaan Agung memulihkan dan menunjukan reputasi mereka dalam mengawal
pemanfaatan anggaran negara.
Pada
Januari 2017, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
(Kemendes PDT) mengumumkan laporan tentang dugaan penyalahgunaan dana desa
sudah berumlah 600 laporan. Sebanyak 300 di antaranya sudah ditindaklanjuti,
sedangkan sebagian tidak lengkap dan dinilai hanya pelanggaran administratif.
Per 2016, Kemendes bahkan menerima 932 laporan terkait dana desa. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menerima laporan serupa. Sepanjang periode
Januari-Juni 2017, ada 459 laporan terkait dana desa yang diterima KPK melalui
telepon, SMS, surat elektronik, atau datang langsung.
Semua
laporan itu mencantumkan beragam versi penyimpangan. Setelah dikelompokan,
tergambar ada 10 modus penyimpangan pengelolaan dan pemanfaatan dana desa.
Antara lain meliputi tidak adanya pembangunan di desa; pembangunan atau
pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi; dugaan mark up
oleh aparat desa; tidak adanya transparansi; masyarakat tidak dilibatkan;
penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi hingga laporan mengenai
lemahnya pengawasan dana desa oleh inspektorat. Ada juga laporan mengenai
kongkalikong pembelian material bahan bangunan, proyek fiktif serta
penggelapan.
Hampir
75.000 desa diproyeksikan menerima dana desa dengan jumlah yang variatif.
Tetapi, per desa minimal menerima Rp 800 juta. Hingga kini, jumlah dana desa
yang sudah dicairkan mendekati Rp 127 triliun. Tahun ini saja, total pagu dana
desa dalam APBN 2017 mencapai Rp 60 triliun untuk 434 desa. Memang, jumlah
laporan masyarakat tentang dugaan penyalahgunaan dana desa bisa dibilang masih
kecil jika dihadapkan pada data jumlah dana yang sudah dicairkan tadi dan juga
data tentang jumlah desa yang mendekati 75.000 itu.
Tapi baik
laporan ke Kemendes maupun ke KPK itu sudah cukup memberi gambaran atau
indikasi tentang maraknya potensi penyelewengan dana desa. Apalagi, harus
diingat juga, belum semua desa yang warganya peduli atau berani membuat
laporan. Jika warga di puluhan ribu desa proaktif melakukan pengawasan, jumlah
laporan dugaan penyalahgunaan dana desa mungkin sangat banyak.
Fakta
penangkapan Bupati Pamekasan karena dugaan penyelewengan dana desa mengingatkan
semua pihak akan pentingnya pengawasan. Kepada 10 ribu perwakilan relawan
Jokowi dari seluruh Indonesia yang berkumpul di Hall 2/3 JI-Expo, Kemayoran,
Jakarta pada Jumat (11/8), Pesiden Joko Widodo mengajak mereka mengawal dan
mengawasi dana desa.
Kasus
dugaan penyelewengan dana desa di Pamekasan memang sudah keterlaluan, karena
melibatkan perangkat pemerintah di kabupaten itu. Seperti diketahui, kasus ini
melibatkan Bupati Pamekasan, Kepala Kejaksaan Negeri, Kepala Inspektorat dan
Kepala Bagian Administrasi, hingga Kepala Desa. Para pejabat daerah ini telah
ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Tahun
2016, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperbesar alokasi penyaluran dana desa
menjadi Rp 1 miliar per desa. Peningkatan alokasi itu mengacu pada proyeksi
pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,3 persen hingga 5,9 persen pada tahun
ini. Siapa yang paling layak diberi tugas mencegah korupsi dana desa?
Tupoksi
Dalam
konteks itu, semua pihak harus melihat Tupoksi (tugas pokok dan fungsi)
sejumlah institusi berwenang memerangi korupsi. Selain KPK, Polri dan Kejaksaan
Agung juga hadir di medan perang melawan korupsi. Untuk tugas itu, Mabes Polri
selama ini mengerahkan Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Bareskrim
Polri. Sedangkan Kejaksaan Agung sejak 2015 telah membentuk Satuan Tugas Khusus
Penanganan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi (Satgasus P3TPK)
beranggotakan 100 jaksa terpilih dari sejumlah daerah untuk mempercepat
pemberantasan Korupsi.
KPK
memang sudah berhasil meraih kepercayaan publik. Karena itu, KPK hendaknya
fokus pada Tupoksinya. UU No.30/2002 tentang KPK menetapkan bahwa dalam
melaksanakan tugas, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit
Rp 1 miliar.
Dengan
asumsi bahwa dana desa yang maksimal Rp 1 miliar per desa itu tidak seluruhnya
dikorupsi, maka tugas pengawalan dan pengawasan tidak masuk dalam area Tupoksi
KPK. Pengawalan dan pengawasan dana desa lebih layak dibebankan kepada Polri
dan Kejaksaan. Tentu saja pemisahan ini tidak boleh kaku atau menumbuhkan
sentimen ego sektoral atau ego intitusi. KPK , Polri dan Kejaksaan Agung tetap
harus bersinergi dalam memerangi korupsi. Namun, ada baiknya jika ketiga
institusi itu berbagi fokus tentang target kasus berdasarkan perkiraan besaran
kerugian negara. []
SUARA
MERDEKA, 18 Agustus 2017
Bambang
Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar/Wakil Ketua Umum Kadin
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar