Kisah KH Sahal
Mahfudh Tak Bertemu Istri Usai Akad Nikah
Banyak orang yang
sudah mengetahui kalau KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh (1937-2014) adalah bukan
hanya seorang kiai yang mengajar kitab kuning di pondok, bukan pula kiai yang
hanya memberikan nasihat kepada santri dan umatnya.
Tetapi beliau juga
dikenal sebagai kiai yang mampu menggerakkan ekonomi umat, kiai yang piawai
menulis hingga melahirkan puluhan karya tulis, dan kiai yang aktif
berorganisasi.
Kiai Sahal terpilih
menjadi menjadi Rais ‘Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tiga
kali periode secara berturut-turut: sejak Muktamar NU yang ke-31 di Lirboyo
tahun 2000, kemudian Muktamar NU di Donohudan Solo tahun 2005, dan Muktamar NU
di Makassar tahun 2010.
Bisa dikata kalau
kiprah Kiai Sahal di masyarakat dan di organisasi –NU dan MUI- sudah diketahui
khalayak umum. Namun, mungkin hanya sedikit saja yang mengetahui kehidupan
rumah tangga Kiai Sahal, terutama tentang proses pernikahan Kiai Sahal dan
istrinya Nyai Nafisah yang memiliki keunikan tersendiri karena tidak sesuai
dengan lazimnya.
Kiai Sahal mengakhiri
masa lajangnya bersamaan dengan hari ulang tahun Republik Indonesia yang
kesebelas, 17 Agustus 1966. Ia menikah dengan wanita yang tidak dikenalnya.
Nafisah namanya. Anak dari KH. Fatah dan cucu dari KH. Bisri Syansuri.
Bagi Kiai Sahal,
proses pernikahannya dengan Nafisah terasa begitu mendadak. Ketika itu ia
sedang mengunjungi sanak keluarga yang ada di desa Sirahan Cluwak Pati,
kemudian datanglah seorang santri dan berkata bahwa Kiai Sahal diminta oleh
pamannya, KH. Abdullah Salam, untuk pulang segera ke Kajen. Dalam perjalanan
pulang, pikirannya dipenuhi dengan berbagai macam pertanyaan. Ada gerangan apa
sehingga ia diminta pulang dengan segera.
Sesampai di Kajen,
Kiai Sahal mendapati beberapa Kiai yang sedang berkumpul, di antaranya adalah
KH. Abdullah Salam, KH. Bisri Syansuri, serta beberapa Kiai Kajen. Tentu saja
itu membuat Kiai Sahal kaget dan bertanya-tanya. Ia mendekati KH. Abdullah
Salam dan bertanya perihal berkumpulnya orang-orang tersebut. Kemudian
dijelaskan bahwa dia akan segera dinikahkan dengan anaknya KH. Fatah
Jombang.
Sebagai seorang yang
percaya kepada pamannya, ia mengiyakan saja perjodohan tersebut meski ia belum
mengetahui calon istrinya itu. Dan tidak berlangsung lama, akad nikah pun
segera dimulai dengan dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri.
Uniknya, Kiai Sahal
baru bertemu istrinya dua tahun setelah akad ijab kabul tersebut, yakni pada
tanggal 6 Juni 1968. Jadi, setelah akad ia menjalani hari-harinya sebagaimana
sebelumnya, tanpa hidup bersama istrinya tersebut. Karena memang pada waktu
itu, Nafisah baru menjadi mahasiswi tingkat tiga di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Pada awal-awal
kehidupan rumah tangga mereka berjalan sebagaimana yang orang-orang alami,
yakni melakukan berbagai macam usaha –mulai dari jualan kitab (Kiai Sahal) dan
menjahit (Nyai Nafisah)- untuk menggerakkan perekonomian rumah tangga.
Ada persamaan antara
kisah pernikahan Kiai Sahal dan sang keponakan, Gus Dur. Kalau Kiai Sahal tidak
ketemu sang istri selama dua tahun, maka Gus Dur juga tidak ketemu istri selama
tiga tahun semenjak akad nikah. Mereka berdua juga sama-sama sudah dipanggil
oleh Allah SWT. Lahum Al-Fatihah. []
Muchlishon Rochmat,
Alumni Perguruan Islam Mathal’ul Falah Kajen Pati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar