Pancasila, Kawah Candradimuka, dan Anti Absolutisme
Oleh: Akhmad Sahal
Dalam pidatonya tentang Pancasila yang masyhur itu, Sukarno
berbicara tentang Pancasila sebagai Weltanschauung,
sebuah pandangan tentang dunia dan kehidupan. Di mata Bung Karno, Pancasila
merupakan “dasar filsafat”, philosophische
grondslag. Yakni, sebuah fondasi yang berfungsi sebagai perekat
kebhinnekaan, sekaligus sebagai payung persatuan kebangsaan.
Tapi, di sisi lain, Bung Karno juga menyadari bahwa kehidupan
politik senantiasa mengandung “perjuangan faham.” Kehidupan politik
meniscayakan bukan hanya pertukaran tapi juga pertarungan ide-ide, bukan hanya
deliberasi, tapi juga kontestasi gagasan. Secara berseloroh Bung Karno pernah
berkata, “tak ada sebuah negara yang hidup yang tak mengandung ‘kawah
candradimuka’ yang ‘mendidih’ di mana pelbagai ‘faham’ beradu di dalam badan
perwakilannya. Tak ada sebuah negara yang dinamis ‘kalau tidak ada perjuangan
faham di dalamnya’.
Bertolak dari pandangan Sukarno di atas, kita melihat bahwa sejak
awal, Pancasila tak pernah diniatkan untuk menjadi ideologi yang kekal,
tertutup, dan absolut. Sebagai Weltanchauung
bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila memang tak boleh
diganti. Mengganti Pancasila sama dengan mengubah hakikat NKRI. Tapi pada saat
yang sama, Pancasila senantiasa berada dalam “kawah candradimuka” politik yang
diwarnai oleh “perjuangan faham.”
Artinya, Bung Karno sedari awal mengakui bahwa Pancasila mesti
dilihat sebagai ideologi yang fleksibel di tengah konteks sosial politik yang
senantiasa berubah, dan membuka diri terhadap perkembangan dan modifikasi diri,
karena adanya kesadaran bahwa masyarakat Indonesia yang majemuk merupakan
“tatanan-dalam-proses.”
Dengan kata lain, penerimaan terhadap Pancasila berarti adalah
suatu penolakan terhadap faham politik yang mengklaim berlaku mutlak dan
absolut. Sebagai rumusan yang mangkus dan sangkli dari ikhtiar bangsa kita
untuk mencapai persatuan dalam perbedaan, Pancasila menegaskan dirinya sebagai
paham yang bertentangan secara diametral dengan absolutisme.
Perspektif Bung Karno tentang Pancasila sebagai “anti absolutisme”
di atas menarik untuk ditengok kembali manakala kita hendak berbicara tentang
“demokrasi Pancasila yang diperbaharui,” seperti diusulkan oleh Denny J.A dalam
tulisannya baru-baru ini. Usulan ini menurut saya penting dan mendesak,
setidaknya karena dua hal:
Pertama, untuk waktu yang lama, telah terjadi semacam the disenchantment of
Pancasila, melenyapnya marwah Pancasila, akibat ulah Orde Baru yang secara
terstruktur, sistematis, dan masif melakukan manipulasi terhadap dasar negara
kita. Di masa Orde Baru, Pancasila dikeramatkan dan di-sakti-kan. Pada saat
yang sama, penafsirannya dimonopoli penguasa, dan dianggap identik dengannya.
Siapa pun yang menentang penguasa langsung dicap menentang Pancasila.
Kedua, makin maraknya wacana “negara Islam, “NKRI bersyariah,”
atau “Khilafah” yang mendasarkan diri pada paham keagamaan yang absolutis dan
mutlak-mutlakan. Mereka gemar mengklaim, lebih baik memilih dasar Syariah
karena syariah datang dari Allah, sedang Pancasila itu hasil buatan manusia.
Di mata mereka, jika hukum Allah adalah hukum yang hendak
diterapkan, mau tak mau hasil yang akan tercipta adalah sebuah kehidupan sosial
yang tanpa cacat. Probemnya adalah, mereka seringkali merasa mewakili suara
Tuhan, meskipun tak jelas dari mana dan bagaimana ‘mandat’ itu bisa mereka
perolah.
Akibatnya, mereka merasa berhak untuk memaksakan paham
keIslamannya sebagai satu-satunya “the
law of the land” di Indonesia. Inilah sikap yang mencerminkan apa
yang disebut Bung Karno sebagai ‘egoisme-agama’ yang menafikan karakter dasar
Indonesia yang berbineka.
Dalam situasi semacam itulah kita membutuhkan pembaharuan
pemahaman tentang Pancasila: untuk menangkis sikap absolut yang
sewenang-wenang: sikap mereka yang mengklaim kesempurnaan karena merasa
mewakili suara Tuhan.
Demokrasi dan Anti Absolutisme
Dalam perspektif yang lebih luas, upaya memperbarui demokrasi
Pancasila seperti diusulkan Denny J.A. bisa juga dikaitkan dengan falsafah dan
karakteristik demokrasi modern itu sendiri.
Sejarah demokrasi modern adalah sejarah kebebasan individu dan
pembebasannya dari absolutisme kekuasaan sistem feodal dan aristoktat yang
mencirikan Abad Pertengahan. Sejak akhir abad ke-17, seiring dengan semakin
kokohnya perdagangan dan Pencerahan di tanah Eropa, muncul kesadaran di
kalangan masyarakat Eropa akan pentingnya kebebasan dan persamaan individu.
Mereka merasa letih dengan perang Katolik dan Protestan yang berlarut-larut,
dikenal sebagai “Perang 30 Tahun.” Di samping itu, mereka juga sudah muak
dengan tatanan sosial politik yang represif.
Mereka kemudian merancang suatu tatanan baru berdasarkan
rasionalitas, yang melindungi hak dan kebebasan warga negara, mengakhiri perang
agama, dan mencegah bercokolnya kembali absolutisme. Untuk itu, kedaulatan
mesti bersumber pada rakyat; pluralisme dan toleransi mesti dijaga; serta
kekuasaan mesti dibatasi dan dikontrol.
Demokrasi pada intinya adalah mekanisme pengaturan kehidupan
publik yang mendasarkan diri pada kontrak sosial. Karena itu, ia bersandar pada
aturan yang disepakati bersama. Dengan demikian, ia niscaya berwatak sekuler
karena dasar legitimasinya bukanlah kitab suci agama tertentu, melainkan
rasionalitas publik. Tujuannya agar kekuasaan bisa dikontrol dan dikoreksi,
juga agar absolutisme yang menyulut perang agama tidak terulang lagi.
Demokrasi merayakan pluralisme dan toleransi, karena pertukaran
dan pertengkaran pikiran dalam pasar bebas ide-ide justru memungkinkan
masyarakat untuk mengoreksi kesalahannya sendiri dan berkembang maju. Suara
minoritas mendapat hak hidup yang sama dengan pendapat mayoritas. Politik di
sini bukan ajang pertarungan antara “kawan” dan “musuh” yang gampang menyulut
kerelaan untuk mati demi keyakinan buta terhadap agama tertentu. Politik dalam
arti liberal adalah ajang bagi kompromi dan negosiasi.
Dasar filsafatnya bertumpu pada kombinasi dari dua cara pandang
terhadap manusia, katakan saja cara pandang yang optimistis dan pesimistis.
Optimisme yang saya maksud adalah pandangan yang melihat manusia
sebagai makhluk yang bisa mengatur diri mereka sendiri dan pada saat yang sama
bisa berkembang ke arah kemungkinannya yang paling kaya. Optimisme inilah yang
mendasari demokrasi karena esensi demokrasi adalah mengatur diri sendiri (self rule).
Optimisme ini pula yang oleh John Stuart Mill, dalam traktatnya, On Liberty, dianggap
sebagai alasan kenapa kebebasan individu dan pluralisme harus dipertahankan
dari ancaman tirani mayoritas. Karena, hanya dengan kebebasan dan keragaman
pandanganlah manusia bisa selalu memperbaiki kesalahannya.
Namun, bersamaan dengan itu, demokrasi modern juga melantunkan
semacam ketidakpercayaan (distrust)
terhadap manusia, termasuk mereka yang berkuasa. Demokrasi memandang manusia
dengan tatapan curiga. Manusia tidak digambarkan sebagai sosok yang ikhlas
tanpa pamrih dan memikirkan orang lain, melainkan sosok yang bisa culas,
ambisius, dan hanya memikirkan diri sendiri. Inilah yang saya sebut pandangan
pesimistis terhadap manusia (atau realistis?).
Atas dasar kecurigaan semacam inilah tatanan republik melembagakan
kontrol dan pengawasan terhadap kekuasaan. Ungkapan James Madison, salah satu founding fathers Amerika,
di dalam The Federalist
Papers menarik untuk disimak, “If men were angels no government would be necessary. If
angels were to govern men, neither external nor internal control on government
would be necessary.” Karena manusia bukan malaikat, maka kontrol
internal dan eksternal terhadap kekuasaan menjadi niscaya.
Kombinasi antara optimisme dan pesimisme inilah yang mendasari
tatanan demokrasi modern. Yakni sistem yang menampung kepercayaan terhadap
kebaikan manusia, melembagakan kecurigaan terhadap watak manusia, dan mengakui
bahwa manusia bisa lurus dan amanah, tapi juga bisa korup dan culas. Karena
itu, rule of law
sebagai sistem kontrol terhadap negara maupun masyarakat agar tak
sewenang-wenang menjadi hal yang niscaya.
Yang khas dari demokrasi modern: tak ada pretensi untuk menjadi
sistem yang sempurna, absolut, dan berlaku abadi. Demokrasi justru bertolak
dari ketidaksempurnaan, sehingga selalu ada peluang untuk koreksi dan perbaikan
di kemudian hari. Inilah yang membedakannya dengan absolutisme dalam Islamisme,
misalnya, yang mengklaim bersifat lengkap dan berlaku abadi karena bersandar
pada Kedaulatan Tuhan (Hakimiyyah).
Walhasil, upaya menyegarkan kembali demokrasi Pancasila adalah
suatu penegasan bahwa Pancasila merupakan proses negosiasi terus menerus dari
sebuah bangsa yang tak pernah tunggal dan seragam, dan tak perlu ditunggalkan
dan diseragamkan. Sebagaimana dinyatakan Bung Karno, Pancasila merupakan Weltanschauung NKRI, yang
sekaligus menjadi identitasnya. Mengubah atau mengganti Pancasila sama saja
dengan membubarkan identitas NKRI itu sendiri.
Tapi Pancasila tak perlu dipahami sebagai sesuatu yang absolut,
kekal, dan kedap dari perkembangan zaman, karena ia berada dalam “kawah
candradimuka” kehidupan sosial politik masyarakatnya. Masyarakat yang merupakan
“tatanan-dalam-proses,” yang mengakui bahwa sistem apa pun yang dibangunnya
senantiasa tak sempurna dan menunutut adanya perbaikan terus menerus, sekaligus
menampik ilusi tentang kesempurnaan yang menjadi ciri utama absolutisme. []
GEOTIMES, 14 May 2017
Akhmad Sahal | Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika
Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar