Khalifah Marwan bin Hakam dan Pohon Terkutuk dalam Qur’an
Oleh: Nadirsyah Hosen
Wafatnya Khalifah Muawiyah II yang hanya berkuasa kurang dari dua
bulan membuat masa depan Dinasti Abu Sufyan menjadi suram. Maka, tampillah
Marwan bin Hakam dan keturunannya, sehingga gabungan antara dinasti anak cucu
Abu Sufyan dan anak cucu Hakam disebut Dinasti Umayyah, yang diambil dari nama
klan mereka.
Marwan bin Hakam adalah sosok kontroversial. Ayahnya, Hakam bin
Abi Ash, terhitung sebagai sahabat Nabi yang masuk Islam setelah Fathu Makkah.
Ada riwayat dari Siti Aisyah bahwa Nabi Muhammad telah melaknat Hakam bin Abi
Ash dan keturunannya.
Nabi juga mengusir Hakam keluar Madinah karena tingkah lakunya
yang menyakitkan Nabi, meski telah masuk Islam. Namun, pada masa Khalifah
Utsman, Hakam yang merupakan paman sang khalifah, namanya direhabilitasi dan
kembali ke Madinah. Bahkan Khalifah Utsman mengangkat Marwan bin Hakam,
sepupunya, sebagai sekretaris.
Imam Suyuthi mencatat bahwa Marwan diriwayatkan senang mencaci
maki Sayyidina Hasan dan keluarga Nabi lainnya. Saat Muawiyah I berkuasa,
Marwan mendapat posisi penting, dan begitu seterusnya sampai Abdullah bin
Zubair mengklaim sebagai Khalifah. Marwan memandang suram masa depan Dinasti
Abu Sufyan karena Khalifah Muawiyah II, pengganti Yazid, seorang yang masih
muda, lemah, dan sakit-sakitan.
Imam Thabari mencatat bagaimana Marwan bersiap diri untuk pindah
jalur politik dengan membai’at Abdullah bin Zubair sebagai khalifah di Mekkah.
Namun, itu urung dilakukan karena sejumlah kabilah dari klan Umayyah mendatangi
Marwan dan memintanya naik sebagai khalifah menggantikan Muawiyah II dan
melawan Abdullah bin Zubair. Marwan pun bersedia menerima bai’at sebagai
khalifah penerus Muawiyah II.
Sekali lagi kita saksikan panggung sejarah khilafah yang penuh
dengan intrik politik. Urusan kekuasaan hanya diputuskan lewat kesepakatan
pihak tertentu saja. Umat sama sekali tidka dilibatkan dalam proses pemilihan
khalifah. Siapa yang menerima bai’at, apa kualifikasinya, dan bagaimana
prosedurnya sangat tidak jelas. Semua tergantung kekuasaan militer dan pengaruh
keluarga yang mereka miliki yang dapat memaksa umat di wilayah tertentu
mendukung hasil bai’at tersebut.
Akibat tidak ada aturan nash yang jelas soal ini, maka para ulama
berdebat, seperti direkam dengan baik oleh al-Mawardi, M. Abu Faris, dan Wahbah
al-Zuhayli, dalam kitab mereka masing-masing: berapa orang yang dibutuhkan
untuk membai’at seorang khalifah? Ada yang bilang lima, dengan mengacu pada
Khalifah Abu Bakr yang dipilih oleh 5 orang dalam peristiwa Saqifah.
Ada yang bilang cukup tiga orang saja yang membai’at, karena
dianalogikan dengan aqad nikah di mana ada 1 wali dan 2 saksi. Bahkan satu saja
cukup, kata ulama yang lain, karena Sayyidina Ali awalnya dibai’at oleh Abbas
saja. Kalau aturan ini sekarang hendak diberlakukan untuk dunia Islam yang dihuni
lebih dari satu miliar Muslim tentu menjadi problematis.
Mereka yang menyangka politik Islam zaman khilafah itu suci
seperti al-Qur’an dan Hadits akan terkejut membaca literatur sejarah yang
ditulis apa adanya oleh para ulama klasik. Politisasi ayat dan hadits jiga
terjadi sejak awal. Saya sudah menyebutkan soal riwayat Aisyah di atas.
Lengkapnya seperti ini:
Dari Abdullah. Ia berkata: “Aku sedang berada di masjid ketika
Marwan berkhutbah. Ia berkata: Sesungguhnya Allah SWT telah memberi kepada
Amirul Mukminin, Muawiyah, pandangan yang baik tentang Yazid. Ia ingin
mengangkatnya sebagai khalifah sebagaimana Abu Bakar dan Umar pernah
melakukannya. Berkata Abdurrahman bin Abu Bakar: ‘Sungguh, Abu Bakar, demi
Allah, tidak menyerahkannya kepada anaknya atau salah seorang di antara
keluarganya. Sedangkan Muawiyah melakukannya karena sayang dan ingin memberikan
anugrah kepada anaknya.”
Marwan yang tidak suka dengan reaksi tersebut berkata kepada
Abdurrahman: Bukankah kamu yang dimaksud al-Quran sebagai “orang yang berkata
kepada orangtuanya ‘cis bagi kalian’ (QS. Al-Ahqaf: 17)”. Abdurrahman membalas
berkata: “Bukankah kamu anak orang terkutuk. Rasulullah saw melaknat bapakmu.”
Siti Aisyah yang mendengar perdebatan Marwan dan Abdurrahman bin
Abu Bakar (saudara lelakinya Aisyah) berkata: “Hai Marwan. Demi Allah, ayat itu
tidak turun kepada Abdurrahman. Tapi ayat yang ini justru turun untuk ayahmu:
“Janganlah kamu menaati setiap tukang sumpah (palsu) yang hina, yang banyak
mencela, yang ke sana kemari menyebar fitnah, yang melarang perbuatan baik,
melampaui batas dan banyak berbuat dosa.” (Al-Qalam 10-12). Siti Aisyah
melanjutkan, “Rasulullah SAW pernah melaknat ayah Marwan ketika Marwan berada
dalam sulbinya. Engkau adalah pecahan laknat Allah”.
Sejumlah kitab tafsir menceritakan kisah di atas dengan berbagai
redaksi, seperti Tafsir al-Qurthubi, Tafsir al-Razi, Tafsir Ibn Katsir, dan
Tafsir al-Durr al-Mantsur. Semua kitab tafsir yang saya rujuk ini adalah dari
Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Masalah akan tambah rumit kalau kota merujuk tafsir
kelompok Syi’ah yang haluan politiknya jelas berbeda dengan kelompok Sunni.
Yang mencengangkan bagi kita bagaimana kaum salaf terdahulu
seperti Marwan, Abdurrahman, dan Siti Aisyah menggunakan ayat dan hadits untuk
saling membela posisi mereka dan kemudian mencela lawan politiknya. Bahkan
sejumlah riwayat yang mencela keluarga Marwan ini berasal dari Abdullah bin
Zubair, yang nota bene merupakan lawan politik Marwan.
Saya tidak ingin mengatakan mereka telah berbohong atau meragukan
kapasitas personal kaum salaf tersebut. Tapi yang jelas kita harus kritis
membaca riwayat-riwayat seputar peristiwa politik ini yang mencari justifikasi
ke belakang pada masa Nabi.
Saya ingin menyebutkan satu contoh lagi, yaitu penafsiran tentang
“pohon yang terkutuk” pada surat al-Isra ayat 60. Sebagian mufassir mengatakan
ini pohon zaqqum di neraka. Namun ada yang menyebutkan bahwa yang dimaksud
pohon zaqqum ini adalah Dinasti Umayyah. Sekali lagi, pada kasus ini, saya
membatasi diri hanya mengutip kitab tafsir dari para ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.
Tafsir Ruhul Ma’ani dari Imam al-Alusi mencantumkan riwayat Ibnu
Murdawaih bahwa suatu saat Aisyah berkata kepada Marwan bin Hakam: “Aku
mendengar Rasulullah SAW bersabda pada ayah dan kakekmu: “Kalian adalah pohon
yang terkutuk dalam al-Qur’an.” Tafsir Ibn Katsir mengatakan riwayat semacam
ini lemah dan aneh.
Tafsir al-Thabari mengabarkan ada riwayat bahwa Rasulullah SAW
melihat “dinasti fulan” melompat-lompat di atas mimbar beliau bagaikan kera,
perbuatan mereka itu membuat beliau marah sehingga sejak itu sampai wafat
beliau tidak pernah berkumpul bersama mereka sambil tertawa.
Imam al-Thabari mengganti istilah Umayyah dengan fulan. Namun
demikian, beliau juga tidak menerima keabsahan riwayat ini. Ibn Katsir
mengomentari bahwa riwayat “dinasti fulan” ini tak bisa diterima karena ada
rawi yang kapasitasnya diragukan, yaitu yang bernama Muhammad bin Hasan bin
Zubalah.
Tafsir al-Razi dan Tafsir al-Qurtubi juga mencatat adanya riwayat
dari Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa pohon yang terkutuk adalah Dinasti
Umayyah, yakni Hakam bin Ash. Namun kedua kitab tafsir ini mempertanyakan
validitas riwayat ini karena Nabi berkhutbah di Madinah, sementara surat
al-Isra itu turunnya di Mekkah. Gak nyambung kira-kira gitu, deh.
Ya, itulah masalahnya memang. Seringkali politisasi ayat dan hadis
untuk melegitimasi kekuasaan atau sebaliknya, mendelegitimasi, lawan-lawan
politik seringkali tidak nyambung satu sama lain. Namun imajinasi kekuasaan membuat
seolah menjadi tersambung antara peristiwa perebutan politik dengan berbagai
riwayat yang ada.
Kalaupun Marwan bin Hakam sosok yang memang dianggap cacat moral
sejak lahir karena bapaknya dilaknat dan diusir Nabi, atau sosok yang dianggap
melanggar syariat Islam, toh Imam Bukhari meriwayatkan sekitar 20 hadis dari
Marwan. Kita tahu bagaimana ketatnya persyaratan Imam Bukhari dalam menerima
perawi. Ini saja menambah daftar kebingungan kita: bagaimana seorang yang
dianggap tsiqah dan adil dalam meriwayatkan hadis, namun sosoknya tampil
sebagai politisi “kotor” dalam panggung sejarah kekuasaan?
Misalnya, Imam Suyuthi boleh jadi menerima hadis-hadis yang
diriwayatkan oleh Marwan dalam Shahih Bukhari, tapi Imam Suyuthi dalam Tarikh
al-Khulafa tidak mengakui Marwan sebagai khalifah yang sah.
Khalifah Marwan bin Hakam hanya berkuasa kurang dari satu tahun.
Dia berhasil merebut wilayah Syam dan Mesir dari tangan pendukung Abdullah bin
Zubair. Saat Marwan wafat, Abdullah bin Zubair masih berkuasa di Mekkah. Marwan
kemudian digantikan oleh putranya, Abdul Malik.
Bagaimana kelanjutan kekuasaan yang terbagi antara Khalifah
Abdullah bin Zubair dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan? Ngaji sejarah politik
Islam masih berlanjut pada kolom Jum’at depan, bi idznillah. []
GEOTIMES, 9 June 2017
Nadirsyah Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan
dosen senior di Faculty of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar