Politik dan Kenegarawanan
Oleh: Azyumardi Azra
Pemilihan presiden yang akan digelar serentak dengan pemilu
legislatif pada 17 April 2019 dari segi waktu bisa dianggap masih relatif lama
atau, sebaliknya, sudah sangat dekat. Dengan demikian, para pemangku
kepentingan memandang perlu melakukan langkah cepat.
Sejak sepekan terakhir, nuansa dan eskalasi politik menjelang
pemilihan presiden (pilpres) sudah terasa. Di sejumlah tempat di Jakarta,
misalnya, sudah ada baliho pasangan bakal calon presiden dan bakal calon wakil
presiden yang akan bertarung di Pilpres 2019. Lebih seru lagi, di media sosial,
foto bakal capres muncul dengan bakal cawapres yang berbeda.
Eskalasi politik juga terlihat dalam penetapan Undang-Undang
Pemilu, Jumat (21/7). Pengesahan UU yang antara lain menetapkan ambang batas
pencalonan presiden, yaitu 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah
nasional, itu diwarnai aksi meninggalkan rapat oleh Fraksi Gerindra, Fraksi
Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Demokrat, dan Fraksi Partai Amanat
Nasional (PAN).
Pembahasan dan penetapan UU Pemilu ini memperlihatkan friksi di
antara partai pendukung pemerintah. PAN yang merupakan partai pendukung
pemerintah ”menyempal”, sementara F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PPP, F-PKB, dan
F-Hanura solid mendukung Presiden Joko Widodo yang diproyeksikan menjadi capres
mereka pada 2019.
Ada pula tantangan terhadap Presiden Jokowi menjelang Pilpres 2019
yang turut meningkatkan eskalasi politik. Kali ini datang dari pertemuan pada
Kamis (27/7) antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang juga digadang bakal maju
kembali sebagai bakal capres di Pilpres 2019.
Pertemuan yang berlangsung di Cikeas itu, menurut ahli gestur,
kelihatan kaku (awkward).
Ini mengisyaratkan masih ada penghalang psiko-politik di antara kedua elite
politik itu yang perlu diatasi untuk dapat membangun koalisi politik padu.
Namun, bukan gestur SBY dan Prabowo yang terpenting. Yang paling
kontroversial dan ramai dibicarakan publik adalah pernyataan SBY di konferensi
pers seusai pertemuan. SBY antara lain menyatakan, power must not go unchecked (kekuasaan harus
tidak dibiarkan tak terkendali). ”Artinya, kami (SBY dan Prabowo) harus
memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh pemegang kekuasaan tidak melampaui
batas sehingga masuk ke dalam yang disebut sebagai abuse of power (atau penyalahgunaan
kekuasaan).”
Dalam pernyataan bernada ”keras” ini, SBY memang tidak menyebut
siapa yang dia maksud dengan ”pemegang kekuasaan” itu. Dia juga tidak
menyodorkan bukti konkret tentang pelaku penggunaan power goes unchecked yang ”masuk ke dalam abuse of power”. Namun,
publik paham, yang dimaksudkan tidak lain adalah Presiden Jokowi.
Hal ini terbukti dengan reaksi Presiden Jokowi. Berselang sehari,
Jumat (28/7), Jokowi menyatakan, tidak ada kekuasaan absolut dalam
pemerintahan. Menurut dia, pemerintahan di bawah kepemimpinannya berjalan
dengan pengawasan dari berbagai pihak, mulai dari pers, lembaga swadaya
masyarakat, parlemen, hingga masyarakat luas.
Lebih jauh Jokowi menyatakan, ”Salah satu bukti Pemerintah
Indonesia tidak menganut sistem kekuasaan absolut tergambar dari keberadaan
Mahkamah Konstitusi. Lembaga tinggi negara ini bisa mengkaji kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah atau DPR; di dalamnya termasuk Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Agaknya perlu tambahan kutipan untuk lebih menegaskan respons
Jokowi. ”Baik masyarakat maupun kelompok masyarakat yang tidak setuju bisa
mengajukan keberatan melalui jalur hukum. Kita ini, kan, negara demokrasi
sekaligus negara hukum. Jadi, proses itu sangat terbuka sekali, kok. Kalau ada
tambahan demo juga, kan, tidak apa-apa. Jadi, jangan dibesar-besarkan hal yang
sebetulnya tidak ada,” kata Presiden.
Tidak perlu diskusi panjang lebar. Publik bisa menilai pernyataan
siapa yang lebih sesuai kenyataan di masa pemerintahan Jokowi-Kalla. Satu hal
sudah pasti, sejak demokrasi liberal multipartai berlaku di Indonesia pada 1999
sampai sekarang, hampir tidak ada langkah kekuasaan, baik di tingkat pusat
maupun daerah, yang—menyesuaikan ungkapan SBY goes unchecked—tidak terhalangi atau tidak
terkontrol; sebaliknya sering menghadapi kontestasi dari kalangan masyarakat,
LSM, dan ormas tertentu.
Dalam konteks ini, untuk menjaga Indonesia dari eskalasi politik
menjelang Pilpres 2019, sepatutnya setiap dan seluruh elite politik menahan
diri dari pernyataan kontroversial. Jika tidak sesuai kenyataan dan kebenaran,
pernyataan itu dapat menimbulkan kegaduhan politik yang tidak perlu.
Para elite politik perlu lebih menampilkan sikap kearifan dan
kenegarawanan. Menurut J Rufus Fears, guru besar sejarah, untuk jadi negarawan,
pemimpin perlu memiliki dan menampilkan empat kualitas penting.
Pertama, prinsip yang teguh dan tak berubah pada kebenaran.
Seorang gagal menjadi negarawan jika dia tak memiliki prinsip yang bertitik
tolak dari kebenaran karena kepentingan politik sesaat. Kedua, panduan moral
dan etis yang kuat. Seorang gagal jadi negarawan jika dia adalah relativis yang
mudah mengubah kebenaran moral dan etis.
Ketiga, visi yang jelas tentang ke arah mana negara-bangsa mau
dibawa. Negarawan visioner tahu hal yang harus dia lakukan untuk membawa negara
dan rakyatnya ke kemajuan. Keempat, kemampuan membangun konsensus untuk
mewujudkan visi kemajuan. Seorang pemimpin gagal menjadi negarawan jika dia
justru menimbulkan perpecahan dan konflik internal bangsa sehingga menciptakan
keadaan tidak kondusif bagi kemajuan negara dan rakyatnya. []
KOMPAS, 1 Agustus 2017
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar