Perjuangan Meneguhkan
Madzhab
KH A. Wahab
Chasbullah (berdiri).
Berdirinya Nahdlatul
Ulama (NU) tidak terlepas dari tujuan mempertahankan paham Ahlussunnah wal
Jamaah (Aswaja) berdasarkan moderasi pemikiran (baca: ijtihad) para ulama
madzhab dalam menjalankan praktik-pratik keagamaan. NU tidak hanya mendasarkan
diri pada Al-Qur’an dan Hadits seperti disuarakan kelompok pembaharu, tetapi
juga mengakomodasi ijtihad para ulama sebagai salah satu langkah menuju
kemaslahatan dalam beragama.
Kemaslahatan dalam
beragama ini terus diperjuangkan oleh kalangan pesantren yang saat itu
dikomandoi oleh KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971). Hal ini karena agama Islam
yang masuk dan menyebar di bumi Nusantara tidak dalam kondisi kosong, melainkan
praktik-praktik keagamaan berbasis teologis telah mengakar dalam tradisi
masyarakat Nusantara sebelum Islam masuk.
Perjuangan
melestarikan religiusitas komunal dalam bentuk praktik-praktik keagamaan
berbalut tradisi inilah yang barangkali Kiai Wahab, KH Raden Asnawi Kudus
(1861-1959), dan tokoh-tokoh pesantren lain kala itu dinilai sebagai ulama
tradisionalis. Sebaliknya, KH Achmad Dachlan (1868-1923) dan Syekh Achmad Soorkatti
Sudan (1872-1943) merupakan tokoh modernis yang berupaya membawa misi
pembaharuan Islam.
Langkah pembaharuan
yang terinspirasi oleh Jamaluddin Al-Afghani (1838-1898) dan Muhammad Abduh
(1849-1905) ini dilakukan dengan menolak madzhab dan tradisi amaliyah keagamaan
yang lestari sejak era Wali Songo seperti selametan, tahlilan, berdoa di makam
(ziarah kubur), mauludan, rejeban, dan lain-lain. Menurut kelompok pembaharu,
praktik-praktik tersebut dianggap takhayul, bid’ah, khurafat, bahkan syirik.
Kelompok pembaharu ini juga menuduh bahwa madzhab adalah penyebab lumpuh dan
bekunya umat Islam.
KH Achmad Dachlan
yang kemudian mendirikan Muhammadiyah dan Achmad Soorkatti yang kemudian juga
mendirikan Al-Irsyad makin getol untuk melakukan pembaruan ajaran Islam di
Indonesia dengan menolak madzhab dan religiusitas komunal yang telah berkembang
selama berabad-abad di tengah masyarakat Indonesia. Sebelumnya, kedua tokoh ini
bertemu di organisasi Jamiatul Khoiriyah atau yang lebih dikenal dengan Jamiat
Kheir, organisasi yang didirikan orang-orang Arab di Indonesia pada 1905 di
Jakarta.
Pergerakan kelompok
pembaharu yang dengan gampangnya menuduh syirik, bid’ah, sesat dan lain-lain,
turut menciptakan keresahan di tengah masyarakat saat itu. Padahal substansi
yang ingin dilestarikan kalangan pesantren sebagai warisan dari para Wali Songo
ialah komunalitas, rukun, dan penguatan identitas bangsa dalam wadah tradisi
keagamaan. Wadah ini diisi dengan melantunkan dzikir, membaca ayat-ayat suci
Al-Qur’an, wirid, serta kalimat-kalimat thoyyibah lain.
Memahami hal itu,
Kiai Wahab dan sejumlah ulama pesantren tetap tenang bahkan mengajak mereka
untuk melakukan dialog dalam sebuah forum. Namun, perkembangan yang terjadi
ialah debat hebat bahkan saling menyerang satu sama lain untuk mempertahankan
pendiriannya. Hal ini terjadi di beberapa forum umat Islam yang digelar saat
itu. Uniknya, perbedaan itu senantiasa digelar terbuka untuk umum, dengan
istilah khas Openbaar Debat atau Openbaar Vergadering.
Masalah-masalah yang
diperdebatkan dalam Openbaar Vergadering (yang juga diperdebatkan di berbagai
daerah) tidak lain adalah persoalan-persoalan khilafiyah seperti soal taqlid,
haram tidaknya makan di rumah orang yang sedang tertimpa kematian, sedekah
untuk mayit, melafadzkan ushalli, talqin untuk mayit, dan lain sebagainya.
Waktu terus berjalan,
kian hari, perdebatan semakin hebat. Tentu jika kondisi ini terus dibiarkan,
maka akan merugikan kekuatan Islam itu sendiri. Padahal bangsa Indonesia saat
itu masih dalam kondisi terjajah. Untuk mengurangi perdebatan itu, umat Islam
menggelar Kongres Al-Islam pertama pada 1921 di Cirebon yang dipimpin langsung
oleh H.O.S Tjokroaminoto (1882-1934) dan H Agus Salim (1884-1954). Alih-alih
mengurangi perdebatan, justru forum ini makin melanggengkan perseteruan sengit
antara Muhammadiyah dan Ahmad Soorkatti (Al-Irsyad) dengan ulama tradisional
yang diwakili oleh KH Wahab Chasbullah dan KH R. Asnawi Kudus.
Namun demikian,
kongres tersebut tetap menghasilkan keputusan dengan membentuk Centraal Comite
Al-Islam (CCI), yaitu panitian khusus untuk menangani soal khilafiyah yang
anggoatanya terdiri dari berbagai kelompok. Selanjutnya, Kongres Al-Islam kedua
digelar di Garut pada 1922 yang akan membahas tentang aturan main CCI. Namun,
dalam kongres kedua ini, Kiai Wahab tidak hadir sehingga kelompok pembaharu
bisa bergerak leluasa dan semakin mendapat pengaruh khususnya dalam forum
kongres kedua itu.
Pergerakan kaum
pembaharu seakan mendapat momentumnya ketika di kawasan Timur Tengah makin
memanas. Pertikaian antara Abdul Majid dari Kekhalifahan Turki, Syarief Husein
penguasa Hijaz, dan Ibnu Sa’ud penguasa Najed yang dimenangkan oleh Ibnu Sa’ud
begitu getol dengan pembaharuan Wahabi. Gerakan ini juga berupaya melakukan
puritanisasi dengan menolak madzhab dan tradisi keagamaan yang dianggapnya
bid’ah. Ibnu Sa’ud hendak memberangus kekayaan madzhab yang selama ini
berkembang di tanah hijaz.
Langkah cepat
dilakukan oleh KH Wahab Chasbullah dan beberapa kiai lain ketika akan diadakan
Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Mekkah. Kaum pembaharu yang
sebelumnya membentuk Central Comite Chilafat (CCC) menyelenggarakan Kongres
Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai
Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya
Muktamar Dunia Islam tersebut.
Usul Kiai Wahab
antara lain, delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Mekkah harus
mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermadzhab. Sistem
bermadzhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan
dan diberikan kebebasan. (Choirul Anam, 1985)
Beberapa saat setelah
Kongres CCC di Yogya, maklumat atau undangan dari Raja Ibnu Sa’ud untuk
mengikuti Muktamar Alam Islami di Mekkah datang. Kegiatan tersebut tertulis
akan dilaksanakan pada Juni 1926. Tidak lama setelah menerima undangan, CCC
mengadakan Kongres kelima di Bandung pada Februari 1926. Kepada para tokoh CCC seperti
W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, Kiai Wahab kembali
menyampaikan agar delegasi CCC bisa mendesak Raja Salman agar memberlakukan
kebebasan bermadzhab di tanah Hijaz.
Setelah Kiai Wahab
melakukan pendekatan beberapa kali kepada para tokoh CCC untuk membicarakan
pendiriannya, namun langkah tersebut selalu menemui kekecewaan. Hal ini membuat
Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia
tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926.
Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah
mendapat restu KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947).
Perhitungan sudah
matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31
Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan
pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama
dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk
KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz. Namun setelah KH Raden
Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak
mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas
usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31
Januari 1926 M.
Bagi ulama NU,
bermadzhab bukan hanya sekadar menyandarkan diri kepada ijtihad para ulama atau
sekadar taqlid buta seperti yang dituduhkan kelompok pembaharu. Namun
bermadzhab adalah sebagai bentuk melestarikan peradaban intelektual para ulama secara
akademis yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis. Toh, mereka pun
dalam berjtihad tidak lepas dari sumber utama Al-Qur’an dan Hadits. Dengan
jalan bermadzhab, perkembangan peradaban Islam pun akan tercipta secara dinamis
seiring perubahan zaman, tidak kaku dalam menyikapi hal-hal baru yang perlu
mendapat perhatian syariat. Wallahu A’lam Bisshowab.
(Fathoni Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar