Riwayat Pemilihan
Pemimpin di NU dan PMII
NU memiliki riwayat
pemilihan pemimpin tertinggi atau Rais ‘Aam dengan nuansa tawadhu. Pada
Muktamar ke-24 NU di Bandung, Juli 1967 KH Bisri Sansoeri dipilih muktamirin
menjadi Rais ‘Aam menggantikan KH Wahab Chasbullah.
Namun, Kiai Bisri
menolaknya. Selama Kiai Wahab, seniornya, masih hidup, dia tak sudi
menyandangnya. Lalu, setelah Kiai Wahab wafat, Kiai Bisri baru bersedia
menggantikan jabatan tersebut pada 1971. Sebelumnya, Kiai Wahab sendiri mau
menggantikan pemimpin tertinggi di NU dengan syarat mengganti istilah Rais
Akbar menjadi Rais 'Aam. Bagi dia, istilah itu hanya cocok untuk satu orang,
gurunya, Hadratussyek KH Hasyim Asy'ari.
Pada Muktamar ke-33
NU di Jombang 2015, KH A. Mustofa Bisri juga menolak menjadi Rais ‘Aam PBNU
meski muktamirin memilihnya. Media sosial begitu ramai menyambutnya dengan
trending topic. Namun dia menolak hingga akhirnya KH Ma’ruf Amin yang
mengembannya.
Hal serupa
diperlihatkan beberapa kiai saat disodori posisi Rais ‘Aam yang kosong saat
Kiai Bisri wafat. KH R As'ad Syamsul Arifin Situbondo dan KH Machrus Ali
Lirboyo tak mau menyandangnya.
”Meski Malaikat
Jibril turun dari langit untuk memaksa, saya tetap akan menolak, yang pantas
itu Kiai Machrus Ali, Lirboyo,” tukas Kiai As’ad.
Jawaban Kiai Machrus
pun tak kalah ‘angker’, ”Jangankan Malaikat Jibril, kalaupun Malaikat Izrail
turun dan memaksa saya, saya tetap tidak bersedia!
Di tubuh Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), memiliki sejarah kepemimpinan yang kurang
lebih sama. Ketua Umum pertama PB PMII dipilih ketika orangnya tidak hadir pada
kongres itu. Sementara 13 orang pendiri tidak ada yang mau mencalonkan diri.
Padahal H. Mahbub Djunaidi saat itu justru berada di teras kepamimpinan
organisasi mahasiswa lain. Ia kemudian memimpin PMII beberapa periode yaitu
1960-1961,1961-1963, dan 1963-1967.
Ketua Umum PB PMII
selanjutnya, Zamroni, juga terpilih ketika dia sedang tidak mengikuti kongres
karena sedang berobat di Jepang. Ia kemudian memimpin organisasi itu pada
1967-1970 dan 1970 -1973.
Lalu bagaimana
organisasi yang memiliki slogan “dzikir, pikir, dan amal saleh” pada Kongres
Ke-19 di Palu, Sulawesi Tengah saat ini? Konon calon Ketua Umum-nya saja ada 15
orang. Luar biasa! Padahal orang-orang yang mendirikannya tidak pernah ada yang
pernah menjadi ketua umum. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar