HTI,
Perppu, dan Pancasila
Oleh:
Nusron Wahid
Hizbut
Tahrir Indonesia menjadi ormas Islam pertama yang terkena sanksi berdasarkan
Perppu Nomor 2 Tahun 2017. Ormas ini mendapat sanksi administratif berupa
pencabutan badan hukum akibat ideologi politiknya yang menentang Pancasila.
Dengan demikian, HTI dibubarkan dan segala aktivitasnya terlarang.
Ketegasan
pemerintah Joko Widodo (Jokowi) ini menjadi solusi terhadap menguatnya
radikalisme agama yang menyeruak setelah reformasi 1998. Banyak pihak
menyebutnya sebagai kebangkitan Islam politik yang sejak Orde Lama dan Orde
Baru berusaha diberangus. Setelah reformasi, Islam politik ini bangkit
menikmati kebebasan atas nama hak sipil (civil
rights) yang dijamin UU.
Ini
menjadi anomali tersendiri. Sebab, di satu sisi, kaum radikal berseru menolak
demokrasi sebagai sistem kafir yang dianggap bertentangan dengan Islam. Namun,
pada saat bersamaan, mereka berlindung di bawah hak sipil yang merupakan
hak-hak demokratis sebagaimana penolakan terhadap Perppu No 2/2017 tentang
Perubahan UU No 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas).
Mereka tidak peduli dengan batasan kebebasan sipil yang dibatasi beberapa hal.
Pertama,
kebebasan seseorang dibatasi kebebasan orang lain. Ini berarti, kebebasan tidak
boleh melanggar kebebasan pihak lain. Kebebasan yang disertai ujaran kebencian
(hate speech),
misalnya, adalah kebebasan yang melanggar hak asasi orang lain karena
menimbulkan kebencian.
Kedua,
kebebasan tidak boleh melanggar norma sosial masyarakat. Dalam konteks bangsa,
norma itu adalah Pancasila, UUD 1945, dan kebinekaan. Hisbut Tahrir Indonesia
(HTI) dan kaum radikal jelas-jelas melanggar norma bangsa karena mereka ingin
mengubah norma-norma itu dengan norma ideologis yang tertutup.
Ketiga,
dan ini yang paling mendasar, yakni sifat kebebasan demokratis kita yang harus
dikembangkan demi penguatan ikatan kebangsaan. Ini yang menjadi tolok ukur
demokrasi di Indonesia. Sebab, berdasarkan nilai-nilai Pancasila, sila
demokrasi berada di bawah naungan sila persatuan bangsa. Praktik demokrasi kita
tidak bisa berjalan tanpa kesadaran perawatan bangsa.
Dengan
demikian, alih-alih menolak Perppu No 2/2017 dengan alasan perppu ini merupakan
praktik diktator negara, kita seharusnya mendukungnya demi terjaganya
keharmonisan, keamanan, dan kelangsungan kehidupan berbangsa. Meski terdapat
hal yang tetap perlu dikritisi, misalnya terdapat pasal penodaan agama yang
sering menjadi pasal karet, Perppu Ormas ini ”lebih sakti” dibandingkan dengan
UU No 17/2013 tentang Ormas. Di dalam UU ini, setiap ormas hanya diwajibkan
berasas Pancasila, selain asas spesifik organisasi. Ia tidak mengatur sanksi
atas asas yang anti-Pancasila.
Menghindari kudeta
Bekerjanya
Perppu Ormas terhadap HTI merupakan langkah berani pemerintah Jokowi karena
organisasi ini bukan hanya organisasi dakwah, melainkan juga gerakan politik.
Di
sejumlah negara Timur Tengah, Hizbut Tahrir telah dilarang, misalnya di
Jordania pada 1953, Irak (1972), dan Mesir (1974). Alasannya bermacam-macam,
mulai dari paham ideologinya yang bertentangan dengan ideologi negara hingga
percobaan kudeta melalui kekuatan militer.
Percobaan
kudeta yang pernah dilakukan ini tidak mengejutkan karena gerakan HT/HTI
mencakup tiga strategi. Pertama, marhalah
tasqif, tahapan pembudayaan. Ini merupakan tahapan awal yang telah
dilakulan di negeri ini sejak kedatangan penyemai HT, aktivis HT Australia,
Abdurrahman al-Baghdadi, pada 1982. Tahap ini dilakukan melalui pembudayaan
pemikiran pendiri HT, Qadli Taqiyudin al-Nabhani, kepada kalangan mahasiswa di
Bogor, tanpa memberi tahu bahwa pemikiran tersebut merupakan visi HT. Setelah
pembudayaan ini mulai menguat, baru pada 1987 identitas gerakan HT dikabarkan.
Tahapan
pembudayaan ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi, baik lewat aktivitas
lingkaran kajian di serambi masjid maupun melalui jaringan lembaga dakwah
kampus (LDK). Inilah sumsum gerakan HTI awal hingga kini. Represivitas Orde
Baru atas ekstrem kanan membuat mereka bergerak di bawah tanah dan hanya bisa
mengembangkan tahapan tasqif.
Ketika
keran kebebasan terbuka karena reformasi politik 1998, aktivis HT mulai
mengembangkan tahap kedua, yakni sosialisasi (tafa’ul ma’al ummah). HTI sebagai organisasi
resmi dideklarasikan pada 2000. Mereka pun mengadakan Konferensi Khilafah
Internasional di Jakarta. Dalam konferensi itu, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono diminta mendirikan khilafah melalui surat terbuka.
Sampai
menjelang dibubarkan, HTI masih berjalan di tahap ini dengan perluasan program
dan penciptaan sayap-sayap lembaga di semua lini. Mereka memiliki Halaqah Islam
dan Peradaban (HIP), Bina Syakhsiyah Islam (BSI), Forum Muslimah untuk
Peradaban (Formuda) oleh Muslimah HTI, Konferensi Tokoh Umat, tablig akbar
untuk masyarakat umum, Dialog Intelektual Aktivis Kampus (Dialektika), serta
pelatihan remaja Islami.
Sementara
tahapan ketiga adalah penegakan hukum (istilam
al-hukm). Yang dimaksud hukum ialah syariah Islam dan penegakannya
tentu melalui pendirian Khilafah Islamiyah secara global. Demi khilafah global
ini, setiap bangsa Muslim harus dikhilafahkan terlebih dahulu melalui
cabang-cabang HT di semua negara. Percobaan kudeta di Jordania, Irak, dan Mesir
adalah upaya HT mewujudkan istilam
al-hukm sebagai puncak gerakan mereka.
Penistaan Pancasila
Pembubaran
HTI juga tak perlu diragukan lagi karena mereka menolak bahkan mengafirkan
Pancasila. Dalam propaganda ideologisnya, HTI selalu menekankan ketidakabsahan
Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang dinilai bukan
bangunan kenegaraan Islami.
Sejak
1990-an, HTI mengafirkan Pancasila karena tidak sesuai dengan Islam (al-Banshasila falsafah kufr la
tattafiq ma’a al-Islam). Alasan mereka, Pancasila menganut
pluralisme agama dan mewadahi ideologi non-Islamis (nasionalisme, sosialisme,
demokrasi, dan humanisme).
Pengafiran
ini menggambarkan ketidakpahaman atas Pancasila. Sebab, Pancasila tidak
menganut pluralisme agama karena ia hanya menyediakan payung konstitusional
bagi perlindungan atas hak beragama dan pelayanan terhadap praktik ibadahnya.
Sebagai
dasar negara modern, Pancasila dan konstitusi kita tidak menempatkan diri
sebagai pengesah agama, tetapi pelindung dan pelayan praktik agama yang sejak
awal majemuk. Pada saat bersamaan, Pancasila memang mewadahi ideologi-ideologi
dunia. Persoalannya, apakah Islam bertentangan dengan ideologi-ideologi
tersebut? Kecuali atas komunisme, Islam tidak bertentangan, baik dengan
nasionalisme maupun demokrasi.
Dengan
demikian, sudah jelas HTI menistakan Pancasila dan memiliki agenda politik yang
bertentangan dengan NKRI. Persoalannya, kecerdasan negara pun diperlukan dalam
merumuskan payung hukum bagi pembubarannya.
Selama
ini pemerintah tidak bisa bertindak tegas karena ormas bisa dibubarkan hanya
ketika ia bertindak kriminal dan menimbulkan kerusuhan sosial. Sementara ketika
masih pada taraf pemikiran dan gerakan sosial, pisau hukum kita menjadi tumpul,
apalagi di hadapan hak sipil yang merupakan prinsip utama hak asasi
manusia (HAM) dan demokrasi.
Persoalannya,
bukankah segenap UU dan bahkan UUD 1945 berada di bawah Pancasila sebagai dasar
negara? Hal ini menegaskan posisi Pancasila sebagai kaidah fundamental negara (Staatfundamentalnorms)
yang menjadi dasar perumusan UU. Jika HTI telah menolak Pancasila, bukankah ia
menolak dasar konstitusional dari semua produk UU? Artinya, ia tidak berhak
dibela oleh UU HAM karena telah mengingkari dasar hukum dari berbagai UU di
negeri ini. Oleh karena itu, sudah tepat jika pemerintah mengambil langkah
hukum untuk membubarkan organisasi ini melalui Perppu Ormas, Perppu No 2/2017.
[]
KOMPAS, 3
Agustus 2017
Nusron
Wahid | Mantan Ketua Umum GP Ansor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar