Kebengisan
Khalifah Yazid Menghadapi Oposisi
Oleh:
Nadirsyah Hosen
Tanpa
adanya mekanisme kontrol rakyat terhadap khalifah, kekuasaan seorang khalifah
menjadi mutlak. Sejarah menceritakan kepada kita mereka yang menolak berba’iat
dan mengkritik kekuasaan khilafah di masa lampau akan dihadapai dengan tindakan
kekerasan. Kita akan menyimak bagaimana dua ulama besar Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, yaitu Imam al-Thabari dan Imam Suyuthi, bertutur mengenai Khalifah
ketujuh, Yazid bin Mu’awiyah.
Yazid
meraih kekuasaan lewat penujukan ayahnya, Khalifah Mu’awiyah. Tindakan
ini melanggar kesepakatan antara Mu’awiyah dan Sayyidina Hasan, di mana
seharusnya dibentuk semacam dewan syura seperti yang sebelumnya dilakukan
Khalifah Umar bin Khattab untuk memilih khalifah. Mu’awiyah mengabaikannya dan
malah menunjuk Yazid, putranya sendiri.
Ketika
tersebar berita wafatnya Mu’awiyah, Yazid yang dibai’at oleh penduduk Syam sebagai
Khalifah, mengirim surat kepada Gubernur Madinah, al-Walid bin Utbah bin Abu
Sufyan (sepupu Yazid), untuk meminta ketiga tokoh menyatakan pemba’iatan kepada
Yazid. Ketiga tokoh itu adalah Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib (cucu
Rasulullah), Abdullah bin Zubair bin Awwam (cucu Khalifah pertama Abu Bakar
dari jalur Asma’) dan Abdullah bin Umar (putra Khalifah kedua Umar bin
Khattab).
Ketiga
tokoh ini dipastikan akan masuk dalam dewan syura seandainya Mu’awiyah
membentuknya dan, menurut Imam al-Thabari, kecil kemungkinan ketiganya akan
memilih Yazid sebagai khalifah. Itulah sebabnya pernyataan bai’at mereka
dikejar oleh Yazid.
Abdullah
bin Umar dilaporkan menjawab diplomatis: “Kalau semua penduduk Madinah sudah
menyatakan bai’atnya kepada Yazid, baru aku akan berbai’at.” Sayyidina Husein
menemui Gubernur al-Walid, yang duduk didampingi Marwan bin Hakam, dan keduanya
meminta Sayyidina Husein berbai’at.
Sayyidina
Husein dilaporkan mengatakan: “Kenapa aku harus menyatakan bai’at secara
rahasia di depan kalian? Biarkan aku menyatakannya di depan umum bersama-sama
penduduk Madinah.” Kedua tokoh di atas mencoba menawar dan mengulur waktu.
Tokoh ketiga, Abdullah bin Zubair, menolak mendatangi Gubernur al-Walid dan
memilih bersembunyi di kediamannya.
Abdullah
bin Zubair kemudian pergi diam-diam ke Mekkah. Sayyidina Husein juga melakukan
hal yang sama. Mereka berdua menghindari tekanan dan ancaman Gubernur al-Walid.
Abdullah bin Umar tetap menetap di Madinah dan dianggap tidak akan memobilisasi
massa menentang Yazid, dan karenanya dibiarkan saja. Kita akan fokus pada dua
tokoh oposisi utama kekhalifahan Yazid, yaitu Sayyidina Husein dan Abdullah bin
Zubair. Apa yang dilakukan Khalifah Yazid kepada keduanya?
Sayyidina
Husein menerima surat dukungan dari penduduk Kufah yang meminta beliau datang
ke Kufah dan akan didukung menjadi khalifah. Sahabat Nabi Ibn Abbas
mencegahnya, sementara Abdullah bin Zubair mendukung rencana Sayyidina Husein
beranjak dari Mekkah ke Kufah. Pergerakan ini tercium oleh Yazid yang kemudian
memerintahkan pasukannya menghadapi Sayyidina Husein dan keluarganya di
Karbala.
Imam
al-Thabari dalam kitab Tarikh-nya menceritakan dengan detail berpuluh-puluh
halaman apa yang terjadi di Karbala, dan mencatat siapa saja keluarga Sayyidina
Husein yang terbunuh lengkap dengan menyebutkan siapa pembunuh maisng-masing,
pada 10 Muharram di Karbala.
Sejarah
mencatat dengan pilu kalau sebelumnya, demi politik kekuasaan, terjadi perang
saudara antara Siti Aisyah dan Ali bin Abi Thalib (Perang Jamal), dan antara
Khalifah Ali dengan Mu’awiyah (Perang Shiffin), maka sejarah juga mencatat
dengan air mata dan darah bagaimana cucu Rasulullah dibunuh secara tragis.
Kepala Sayyidina Husen dipenggal, dan hanya kepalanya yang dibawa ke istana
Yazid. Tubuhnya dibiarkan tanpa kepala.
Imam
Suyuthi menulis: “Yazid mengirim surat kepada Ubaidillah bin Ziyad untuk
membunuh Husein. Maka dikirimlah 4 ribu pasukan di bawah pimpinan Umar bin Sa’d
bin Abi Waqqash.” Imam Suyuthi melanjutkan:
فقتل وجيء برأسه في طست حتى وضع
بين يدي ابن زياد، لعن الله قاتله وابن زياد معه ويزيد أيضًا
وكان قتله بكربلاء، وفي قتله قصة
فيها طول لا يحتمل القلب ذكرها، فإنا لله وإنا إليه راجعون، وقتل معه ستة عشر
رجلًا من أهل بيته.
“Husein dibunuh dan
kepalanya diletakkan di bejana dan dibawa ke hadapan Ibn Ziyad. Semoga Allah
melaknat mereka yang membunuhnya, begitu juga dengan Ibnu Ziyad dan Yazid.
Husein telah dibunuh di Karbala. Dalam peristiwa pembunuhan ini terdapat kisah
yang begitu memilukan hati yang tidak sanggup kita menanggungnya. Innaa
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Terbunuh bersama Husein 16 orang lainnya
dari anggota keluarganya.”
Inilah
tindakan opresif dan kebengisan Khalifah Yazid kepada cucu Rasulullah semata
demi politik kekuasaan. Siapa bilang sejarah khilafah itu mulus dan tidak
pernah ada gejolak?
Sekitar
dua tahun setelah pembantaian di Karbala, tepatnya pada tahun 63 H, sebagian
penduduk Madinah diundang ke istana Yazid di Negeri Syam. Di sana mereka
melihat sendiri perangai dan kelakuan Yazid yang tidak menjalankan syariat
Islam. Maka, penduduk Madinah banyak yang hendak mencabut ba’iat yang telah
mereka berikan kepada Khalifah Yazid.
Pada
titik ini, sekali lagi, belum ada mekanisme pemakzulan khalifah yang sikapnya
menyimpang dari ajaran Islam. Tindakan penduduk Madinah di bawah pimpinan
Abdullah bin Hanzhalah membuat Khalifah Yazid meradang.
Khalifah
Yazid mengirimkan 10 ribu pasukan di bawah pimpinan Muslim bin Uqbah al-Murri.
Terjadilah peristiwa al-Harrah. Sekali lagi, kita merujuk kepada Imam Suyuthi
dalam Tarikh al-Khulafa:
وما أدراك ما وقعة الحرة؟ ذكرها
الحسن مرة فقال: والله ما كاد ينجو منهم أحد، قتل فيها خلق من الصحابة -رضي الله
عنهم- ومن غيرهم، ونهبت المدينة، وافتض فيها ألف عذراء، فإنا لله وإنا إليه راجعون
“Apakah
yang disebut peristiwa Harrah itu? Hasan al-Bashri menyebutkan: Demi Allah,
hampir saja tidak ada satu pun yang selamat dari peristiwa itu. Sejumlah
sahabat Rasulullah–Radhiyallaah ‘anhum–dibunuh, kota Madinah dihancurkan,
seribu perawan dirusak kegadisannya, innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un.”
Panglima Perang
Muslim bin Uqbah sampai dijuluki sebagai Musrif alias orang yang melampaui
batas, mengingat kekejaman yang dia lakukan. Ibn Katsir dalam kitab Bidayah wa
Nihayah juga mengonfirmasi kisah-kisah kekejian yang dilakukan Muslim bin Uqbah
dalam peristiwa al-Harrah ini.
Setelah
sukses membantai Sayyidina Husein di Karbala, dan lanjut dengan pembantaian di
al-Harrah, Khalifah Yazid tinggal punya satu oposisi tersisa, yaitu Abdullah
bin Zubair di Mekkah. Pasukan Muslim bin Uqbah bergerak menuju Mekkah. Setelah
kota suci Madinah luluh lantak, kini mereka hendak mengepung kota suci Mekkah.
Namun dalam perjalanan Allah mencabut nyawa Muslim bin Uqbah yang jatuh sakit.
Khalifah Yazid di Damaskus pun wafat di saat pasukannya tengah mengepung kota
Mekkah. Kabarnya Yazid wafat mendadak setelah jatuh dari kudanya.
Sejarah
telah memberi pelajaran berharga bahwa kekuasaan mutlak tanpa batas seorang
khalifah memicu Yazid bin Mu’awiyah bertindak di luar batas menghadapi para
penentangnya. Khalifah Yazid hanya berkuasa sekitar 3 tahun, dan wafat di usia
masih muda, sekitar 36 tahun.
Setelah
Yazid wafat, anaknya (Mu’awiyah bin Yazid bin Mu’awiyah) dibai’at menjadi
khalifah. Akan tetapi Abdullah bin Zubair juga mendeklarasikan diri sebagai
khalifah di Mekkah.
Bagaimana
bisa terjadi saling klaim khalifah ini? Simak kelanjutan kisah sejarah politik
Islam ini pada kolom Jum’at pekan depan, bi idznillaah! []
GEOTIMES,
19 May 2017
Nadirsyah
Hosen | Rais Syuriah NU Australia – Selandia Baru dan dosen senior di Faculty
of Law, Monash University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar