Tokoh
Pelintas Batas Itu Telah Tiada
Oleh:
Musdah Mulia
Djohan
Effendi adalah nama yang tak asing di kalangan pemerhati dialog agama; bukan
hanya di Indonesia, melainkan juga di mancanegara. Kegigihan dan ketekunannya
merajut perdamaian melalui dialog di antara berbagai penganut agama membuat
dirinya pantas disebut tokoh Pelintas Batas.
Di
kalangan pemikir Islam progresif, Djohan disejajarkan dengan Nurcholish Madjid,
Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib. Mereka juga disebut pemikir neomodernis
Islam.
Pada hari
Jumat, 17 November, sekitar pukul 22.00 waktu Geelong, Melbourne, ia berpulang
ke rahmatullah, tepatnya di Nursing Home McKellar, Centre Geelong, Melbourne,
Australia, didampingi putra-putrinya yang sudah lama bermukim di sana.
Djohan
lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939. Setelah menamatkan
pendidikan dasar, atas biaya ikatan dinas pemerintah, ia melanjutkan ke
pendidikan guru agama (PGA) di Banjarmasin. Setelah itu ia masuk Pendidikan
Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta, lalu IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (tamat
1970). Di sana ia mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
Djohan
merenungkan sejumlah konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian
alam, takdir, kebebasan manusia, dan kekuasaan Tuhan. ”Itu nyaris menggoyahkan
keimanan saya.”
Djohan
memulai kariernya di lingkungan Kementerian Agama sebagai pegawai Departemen
Agama Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962). Berturut-turut jabatannya adalah
Staf Sekretaris Jenderal Departemen Agama Jakarta (1972-1973), Staf Pribadi
Menteri Agama (1973-1978), Peneliti Utama Depag (sejak 1993), Staf Khusus
Sekretaris Negara/Penulis Pidato Presiden (1978-1995), Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Departemen Agama (1998-2000), dan terakhir sebagai Menteri
Sekretariat Negara (2000-2001).
Meskipun
Djohan pegawai negeri sipil, ia selalu bersikap kritis terhadap pemerintah dan
negara. Ia bersama Gus Dur dan sejumlah pemuka agama dari beberapa agama
mendirikan Indonesian Conference on Religions for Peace (ICRP), suatu
organisasi lintas agama yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pemenuhan
hak kebebasan beragama bagi semua warga negara tanpa kecuali. ICRP dikenal
sebagai organisasi yang amat kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang
diskriminatif atas nama agama.
Demikian
pula ketika dikaryakan ke Sekretariat Negara. Kehadirannya di Sekretariat
Negara khusus untuk membantu menyusun pidato mantan Presiden Soeharto.
”Kesepakatannya, saya jangan dipaksa menulis hal-hal yang tidak saya setujui.”
Itu prinsipnya.
Pribadi
terbuka
Djohan
sosok yang tak banyak bicara. Ia lebih suka mendengar. Di sisi lain, ia sangat
terbuka, mudah akrab. Sikap itu sudah berakar sejak kecil. Selain mengaji,
Djohan kecil keranjingan baca biografi tokoh dunia. Ketekunan itu diwariskan
ibunya yang, sekalipun pedagang kecil, getol membaca.
Ketika
pengembaraan intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku
Ahmadiyah karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu Muhammad Irsjad dan Ahmad
Djojosugito, dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi
Ahmadiyah yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Sejak itu ia dekat
dengan orang-orang Ahmadiyah.
Pada 1992
ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor
atau guru besar. Pidato pengukuhannya: ”Pembangunan Kehidupan Beragama dalam
Perspektif Negara Pancasila”. Dalam pidato itu Djohan menyinggung keberadaan
kelompok penganut minoritas yang sering mendapat perlakuan tidak adil, seperti
Khonghucu dan Bahai. Ia pernah disuruh menghapus bagian pidato itu, tetapi ia
tidak mau.
Ketika
Tarmidzi Taher menjadi menteri agama (1993-1998), Djohan ”dikucilkan” di
lingkungan Kementerian Agama. Kariernya sebagai penulis pidato presiden pun
tamat ketika ia ”nekat” mendampingi Gus Dur ke Israel, 1994. Kunjungan
ditentang keras sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara
saat itu, ikut menyesalkan.
Kulturalis
Tahun
1995 Djohan pindah ke Australia. Ia mengambil program doktor di Universitas
Deakin, Geelong, Victoria. Disertasinya ”Progresif Tradisional: Studi Pemikiran
Kalangan Muda NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU”.
Dari segi
pemikiran, Djohan memang dekat dengan Gus Dur. Keduanya ”bermazhab” kulturalis
dan sama-sama penganjur inklusivisme beragama. Kedekatan ini dipertegas dengan
keanggotaan Djohan di Forum Demokrasi (Gus Dur sempat lama jadi ketuanya). Tak
heran, Djohan kemudian menjadi salah satu menteri dalam kabinet Gus Dur.
Satu hal
yang perlu dicatat dari pemikiran Djohan adalah pembangunan bidang agama.
Menurut dia, pembangunan kehidupan beragama di Indonesia belum memiliki konsep
yang jelas. Bagi Djohan, tanpa penjelasan konseptual tentang kata agama, arah
pembangunan bisa kabur.
Ketika
menjabat Kepala Badan Litbang Departemen Agama, ia sering mengingatkan para
peneliti: ”Kita harus menjunjung tinggi integritas dan obyektivitas. Jangan
mengorbankan integritas sekadar mencari credit point. Mengorbankan integritas
kepenelitian adalah aib yang menodai kepercayaan dan mungkin pula kehormatan
yang melekat dalam jabatan kepenelitian.”
Bagi
saya, ia adalah tokoh yang dapat diteladani bukan hanya dalam kebersahajaan dan
kesederhanaan hidup, melainkan juga dalam kegigihan menegakkan prinsip keadilan
bagi semua warga negara tanpa kecuali. Dia adalah tokoh lintas agama dan
pejuang kemanusiaan yang sejati. []
KOMPAS,
21 November 2017
Musdah
Mulia ; Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar