Jangan Kacaukan Asas Hukum
Oleh: Moh Mahfud MD
”Pemerintah tidak boleh menjatuhkan sanksi sebelum ada putusan
pengadilan bahwa seseorang atau organisasi benar-benar bersalah. Kalau itu
dilakukan berarti pemerintah melakukan tindakan melanggar hukum, menyalahgunakan
kekuasaan, dan bertindak sewenang-wenang”.
Pernyataan itu menjadi bagian dari polemik panas di tengah-tengah
masyarakat terkait dengan Undang-Undang (UU) Ormas yang kemudian agak
mengacaukan pemahaman masyarakat tentang asas-asas hukum. Polemik terjadi sejak
diundangkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2
Tahun 2017 yang kemudian disusul pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI)
berdasarkan perppu yang sekarang sudah disetujui menjadi UU Ormas.
Mengacaukan asas hukum
Banyak yang mengatakan berdasar asas legalitas dan asas praduga
tidak bersalah (presumption of innocence) pemerintah tidak bisa menjatuhkan
sanksi atau menghukum sebelum subyek hukum yang bersangkutan diajukan ke (dan
diputus bersalah oleh) pengadilan. Akan tetapi, pihak pemerintah dan beberapa
ahli hukum lain mengatakan, berdasarkan asas contrarius actus boleh saja
pemerintah menjatuhkan sanksi administratif tanpa harus menunggu putusan
pengadilan lebih dulu.
Atas pernyataan tentang asas contrarius actus, ada yang
membantahnya lagi disertai contoh tentang akta nikah. Dikatakan, sungguh
berbahaya kalau mengikuti asas contrarius actus karena ia bisa
menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan. Kemudian ada yang
mencontohkan bahayanya asas tersebut dengan menyebut kemungkinan terjadinya
pemerintah secara sepihak mencabut akta nikah yang telah dimiliki oleh sepasang
suami-istri. ”Bahaya kalau itu dilakukan oleh pemerintah. Jadi harus lewat
vonis pengadilan dulu,” demikian argumennya.
Dalam catatan saya silang pendapat seperti itu terjadi karena
banyak orang yang mengacaukan pemahaman atas asas-asas hukum. Dalam konteks UU
Ormas, misalnya, telah dikacaukan pemahaman atas asas legalitas, asas praduga
tak bersalah, asas contrarius actus, dan asas konsesual. Benar bahwa
berdasarkan asas legalitas setiap tindakan pemerintah ataupun warga masyarakat
harus berdasarkan UU yang ada lebih dahulu. Berdasarkan asas legalitas
seseorang atau badan hukum (organisasi) tidak boleh dijatuhi sanksi atau dihukum
tanpa ada UU yang mengaturnya lebih dahulu.
Dari pengertian itu sebenarnya asas legalitas tidak berbicara,
apakah penjatuhan sanksi bisa dilakukan sebelum atau sesudah ada vonis
pengadilan. Asas legalitas hanya menegaskan bahwa setiap tindakan, baik
dilakukan pemerintah maupun oleh warga masyarakat, harus berdasarkan aturan
hukum yang ada lebih dulu.
Adapun masalah soal waktu dan cara penjatuhan sanksinya tergantung
pada bidang hukumnya sebab setiap bidang hukum asasnya bisa berbeda-beda.
Asas-asas hukum pidana, hukum administrasi negara, perdata, dan lain-lain itu
tidaklah selalu sama.
Kalau di dalam hukum pidana berlaku asas praduga tak bersalah yang
menentukan bahwa seseorang tak bisa dijatuhi sanksi atau dihukum sebelum
diputus oleh pengadilan bahwa yang bersangkutan bersalah. Asas praduga tak
bersalah tak boleh diartikan bahwa kita tidak boleh menduga atau membahas dan
mendiskusikan di media massa bahkan menyimpulkan bahwa seseorang telah
melakukan kejahatan. Itu boleh saja dilakukan. Nyatanya, aparat penegak hukum
juga memproses pidana melalui dugaan (terduga) kemudian sangkaan (tersangka)
dan seterusnya.
Asas praduga tak bersalah mempunyai arti tertentu, yakni seseorang
tak boleh dirampas hak-haknya sebagai sanksi pidana sebelum ada putusan
pengadilan. Misalnya, yang bersangkutan tak boleh disebut sebagai narapidana,
hartanya tak boleh dirampas (tapi boleh disita), pengurungannya tidak disebut
dipenjarakan (tetapi ditahan), hak gajinya tidak boleh dicabut (tapi ditangguhkan),
dan sebagainya. Kalau mendiskusikan dan menduga, menyangka, dan menyimpulkan
secara sosial bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana itu boleh saja,
bukan melanggar asas praduga tak bersalah.
Beda bidang, beda asas
Di dalam hukum administrasi negara asas yang berlaku berbeda lagi,
yakni, asas contrarius actus yang berarti sebuah keputusan administrasi,
seperti izin usaha, pengangkatan pegawai, dan sebagainya hanya boleh dicabut
oleh pejabat atau instansi yang mengeluarkannya. Kalau yang mengeluarkan
keputusan itu Menteri Hukum dan HAM, yang boleh mencabutnya juga Menteri Hukum
dan HAM. Di dalam hukum administrasi negara tidak ada keharusan bahwa
pencabutan sebuah keputusan sebagai sanksi itu harus menunggu putusan
pengadilan lebih dahulu.
Bahkan, dapat dikatakan, dalam hukum administrasi negara kita,
hampir semua pencabutan keputusan sebagai sanksi dijatuhkan lebih dahulu
sebelum ada putusan pengadilan. Jika yang dijatuhi sanksi merasa dirugikan
haknya barulah yang bersangkutan bisa menggugat pejabat atau pemerintah ke
pengadilan. Makanya kita mempunyai Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga
disebut sebagai Peradilan Administrasi Negara, yakni lembaga peradilan yang
berwenang mengadili keputusan, termasuk sanksi, yang telah ditetapkan lebih
dahulu oleh badan/pejabat tata usaha negara.
Dalam hal ini bisa disebut banyak contoh, misalnya, pencabutan
izin usaha hiburan, pencabutan izin pengelolaan hutan, pencabutan izin
pertambangan. Itu bisa dilakukan tanpa harus ada putusan pengadilan lebih
dahulu. Pencabutan keputusan tentang status badan hukum ormas berdasar Perppu
No 2/2017 yang sekarang sudah disahkan menjadi UU termasuk dalam pengertian
ini. Memang dalam hal tertentu yang ditentukan khusus oleh Konstitusi dan UU
asas contrarius actus ini tak berlaku, misalnya, pembubaran parpol yang hanya
bisa dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD
1945.
Asas yang berlaku di dalam hukum perdata berbeda lagi. Bidang
hukum perdata tidak mengenal asas praduga tak bersalah atau contrarius actus.
Di dalam hukum perdata yang berlaku adalah asas konsensual atau kesepakatan dan
kesukarelaan antarpihak. Di dalam asas ini berlaku bahwa keputusan tentang
ikatan keperdataan yang dibuat dan diperoleh secara sah berlaku sebagai UU dan
mengikat selama pihak-pihak yang bersangkutan tidak mengakhiri atau
membatalkannya secara sepakat. Kalau salah satu pihak merasa dirugikan dan
ingin membatalkannya tanpa persetujuan pihak lain, masalahnya harus diputus
oleh pengadilan yang bisa juga atas kesepakatan, diselesaikan melalui
arbitrase.
Dalam hukum perdata aparat penegak hukum atau pemerintah tak boleh
mengambil tindakan selama pihak-pihak yang bersangkutan tak memerkarakannya.
Dalam konteks inilah kita harus memahami, pernikahan yang merupakan perikatan
atau perjanjian dalam hukum perdata yang dituangkan dalam ”akta nikah” yang
dikeluarkan pemerintah hanya bisa dicabut atau dibatalkan atas permintaan salah
satu pihak melalui putusan pengadilan lebih dulu, tak boleh dicabut secara sepihak
oleh pemerintah. Alhasil, beda bidang hukum, ya, beda asas. Jangan dikacaukan.
[]
KOMPAS, 11 November 2017
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara; Ketua Mahkamah Konstitusi Periode 2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar