"Reshuffle"
Oleh: Budiarto Shambazy
Sejak merdeka, kultur kepemimpinan kita agak seperti kerajaan
purbakala. Apa pun sistem politiknya, para pemimpin bertingkah seperti
maharaja, lengkap dengan mahapatih, patih, dan penggawa.
Pemimpin doyan disanjung-sanjung dan suka gembar-gembor mengenai
kehebatan dirinya. Mahapatih, patih, dan dayang-dayang hidup sejahtera karena
rajin ikut sang maharaja beranjangsana ke mana-mana.
Rakyat praktis jadi hamba. Meski sudah merdeka dari penjajahan
Jepang dan Belanda, rakyat dipaksa menyembah sang raja.
Dulu, para pemimpin mengajarkan rakyat untuk saling panggil
"bung" atau cukup "saudara" saja. Belakangan rakyat
menghamba menyebut maharaja "Bapak Pembangunan" atau "Paduka
yang Mulia".
Maharaja pertama ahli merangkai kata-kata jadi cabang-cabang
ideologi negara beraneka rupa. Maharaja pertama penemu Pancasila yang tak
pernah diserap-apalagi dipraktikkan-dan menjadi pemanis bibir saja.
Maharaja pertama demokratis sekitar 14 tahun usia pertama republik
kita. Ia berjuang untuk negaranya sejak mahasiswa sampai akhirnya lelah.
Setelah 1959, ia hidup ketika berada di podium dan di hadapan
puluhan ribu warga. Sang maharaja tetap dihormati dan dijunjung tinggi walau
selalu menjadi incaran musuh-musuh besar yang siap menggulingkannya.
Maharaja kedua kecanduan Pancasila. Ia bertahan sekuat tenaga
untuk mengamankan kursi kebesarannya. Maharaja kedua di hadapan siapa saja
menjaga wibawa sembari mengangguk-anggukkan kepala. Jabatannya oleh pers harus
pakai huruf kapital di depan jadi "Kepala Negara".
Alamat maharaja kedua disebut "kediaman", tak boleh
"rumah". Dia mesti disebut dengan "bapak" yang sering
memberikan petunjuk dan hanya satu kali dalam lima tahun dipanggil dengan
sebutan "saudara" ketika diwawancarai Ketua/Wakil Ketua MPR yang
selalu setuju dengan pencalonannya.
Bukan cuma maharaja kedua yang berkuasa, melainkan juga para
mahapatih, patih, dan penggawa yang setia. Jajaran kepemimpinan "eselon
istimewa" itu bersikap dan bertindak seolah republik ini milik mereka.
Mereka menyedot habis dan menjual kekayaan tambang dan membabat
sampai botak hutan rimba kita. Mereka menangkapi hamba-hamba yang tak terbukti
bersalah, menculik aktivis dan mahasiswa.
Bagaimana dengan maharaja-maharaja selanjutnya? Untung, katanya,
kita telah berubah berkat reformasi tahun 1998 yang dipelopori mahasiswa.
Ternyata, kinerja maharaja pasca reformasi berubah sedikit alias
relatif sama saja. Mereka cuma berbeda rupa dan ideologi, selebihnya masih
menganggap rakyat hamba bodoh.
Mereka memperbanyak jumlah mahapatih, patih, dan penggawa.
Sebagian duduk di kabinet, sebagian di struktur tentara, sebagian lagi di
legislatif ataupun yudikatif, dan banyak juga yang rajin mengipasi maharaja.
Pada dasarnya mereka pandai mengumbar janji belaka. Hamba-hamba
terpukau dan memilih maharaja dengan harapan hidup akan sejahtera.
Eh, tak tahunya hamba salah duga. Maharaja menderita gejala
delusion of grandeur karena merasa berdiri di atas semuanya.
Mereka gemar judul gombal seperti Kabinet Pembangunan, Pelangi,
Bersatu, Ampera, atau Kerja. Tak laku lagi nama singkat Kabinet Sjahrir atau
Kabinet Hatta.
Dulu ada kabinet yang 100 jumlah menterinya. Ada wakil perdana
menteri, kementerian koordinator, kementerian negara, menteri negara, sampai
menteri muda.
Jumlah kementerian penting tak sebanyak yang sia-sia. Ada
Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan, Kementerian Negara
Pemuda dan Olahraga yang datang dan hilang, atau Sekretaris Kabinet yang entah
apa bedanya dengan Sekretaris Negara.
Maharaja lupa prinsip terpenting: setiap menteri pembantu kepala
negara. Apa yang dilakukan menteri itu semata-mata instruksi Istana Merdeka.
Seperti halnya PRT, kalau tidak becus, majikan tak perlu takut
memecatnya. Pakailah peluang ini untuk memperbaiki Indonesia.
Ada yang layak jadi kementerian, ada yang tidak juga. Imigrasi
serta Bea dan Cukai yang tugasnya menjangkau dari kepala sampai kaki negeri ini
ada di bawah Kementerian Hukum dan HAM saja.
Ada yang gonta-ganti nama: Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
jadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Dan seperti biasanya, boros
kata-kata perlu biaya.
Ada yang tumpang tindih, Ketua KONI Pusat dengan Menteri Negara
Pemuda dan Olahraga. Ada kementerian "kering" atau "basah"
dan yang pasti parpol-parpol berebut minta jatah.
Begitulah gonjang-ganjing perombakan atau pembentukan kabinet
menarik perhatian karena lebih bercerita soal orangnya-bukan karyanya. Walau
kini beredar nama yang akan keluar-masuk, rakyat lebih suka bekerja saja.
Rakyat mendukung rencana Presiden Joko Widodo merombak Kabinet
Kerja, yang sepenuhnya hak prerogatif kepala negara. Sudah keburu beredar lima
nama menteri yang akan digantikan atau dimutasikan, yang akan diumumkan segera.
Ibarat PRT, menteri bisa bermental jongos yang suka nonggo-nonggo
di pagar rumah. Biar semangat ayo nyanyi "Panjang Umurnya"
ramai-ramai. "Tukar menteri R, buang menteri S, ganti menteri Y sekarang
juga. Sekarang juga, sekarang juga.." []
KOMPAS, 9 April 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar