Poros
Baru Studi Islam
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Saya
memulai karier sebagai dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak 1981,
dengan modal ijazah doktorandus. Ijazah ini sudah setingkat MA menurut tradisi
Belanda, tapi di perguruan tinggi AS masih dianggap strata satu, karena belum
memiliki ijazah resmi master. Padahal, untuk meraih doktorandus diperlukan
waktu studi enam tahun, sudah ekuivalen dengan masa tempuh untuk meraih master.
Saya menempuhnya sampai tujuh tahun. Bahkan beberapa aktivis ‘66 ada yang
memerlukan waktu 14 tahun baru tamat doktorandus.
Sekarang
hampir semua perguruan tinggi di Indonesia menerapkan strata S-1, S-2, dan S-3
dengan pembatasan waktu yang ketat, sehingga mahasiswa dituntut lebih menekankan
studi, semakin berkurang peluang kiprah di luar kampus. Sejak diangkat sebagai
dosen, sesungguhnya saya malu. Merasa tidak pantas. Sama saja dengan alumni SMA
mengajar SMA. Secara intelektual dan emosional belum memenuhi syarat.
Semasa
studi di pesantren saya selalu membayangkan betapa indahnya kalau saja bisa
meneruskan belajar Islam ke Timur Tengah seperti di Mesir, Arab Saudi, atau
Irak. Terbayang waktu itu masyarakat Arab orangnya saleh-saleh, calon penghuni
surga karena mereka hidup dengan mengikuti tradisi ajaran Islam yang diwariskan
Rasulullah. Tertanam dalam hati bahwa bahasa Arab adalah bahasa surga karena
bahasa Arab adalah bahasa kitab suci Alquran. Belajar bahasa Arab seakan
identik dengan belajar agama.
Kenangan
dan impian sewaktu di pesantren ternyata meleset. Selagi masih kuliah justru
saya ingin meneruskan studi lanjut ke Amerika Serikat (AS) atau Kanada. Dua
orang yang memengaruhi pikiran saya, almarhum Prof Harun Nasution dan
Nurcholish Madjd. Prof Harun alumni Mesir, meneruskan program master dan doktor
di McGill University, Montreal, Kanada. Cak Nur alumni UIN Jakarta, menamatkan
doktor di Chicago University, AS.
Berkat
bergaul dekat dengan keduanya, di mata saya mereka berbudi luhur, santun,
berintegritas tinggi, pengetahuan agama maupun umum sangat luas dan dalam.
Kemuliaan akhlak dan keluasan ilmunya sangat mengesankan tidak saja terhadap
saya, tetapi juga mahasiswa UIN Jakarta, terutama mereka yang juga aktivis HMI.
Makanya banyak kemudian alumni UIN Jakarta yang tadinya berasal dari pesantren
tertarik meneruskan program doktornya ke AS, Kanada, Inggris dan Australia.
Sebut
saja Dr Din Syamsuddin dari UCLA, Dr Azyumardi Azra dari Columbia University,
Dr Bahtiar Effendy dan Dr Saiful Mujani dari Ohio State University. Alumni
doktor dari McGill paling banyak jumlahnya. Ada Fuad Jabali, Yeni Ratnaningsih,
Nurlena, Yusuf Rahman, Didin Syafruddin, Muhammad Zuhdi, Hendro Prasetyo, dan
Ali Munhanif.
Lalu ada
Dr Mulyadi dari Chicago University, Dr Jamhari Makruf dan Dr Ismatu Ropi dari
Australian National University (ANU), Dr Din Wahid dan Dr Chaider Bamualim dari
Leiden University, Dr Saiful Umam dari University of Hawaii, Dr Amelia Fauzia
dari Melbourne University, Dr Jajang Jahroni dari Boston University, dan masih
banyak lagi alumni UIN Jakarta yang tidak saya sebut namanya, yang berasal dari
pesantren berhasil menamatkan doktor dari universitas papan atas dunia,
termasuk dari Sorbone, Berkeley, dan Harvard. Di negeri Barat sendiri beberapa
universitas papan atas memiliki program studi Islam dengan mendatangkan
profesor-profesor ternama dari dunia Islam.
Fakta di
atas setidaknya menunjukkan satu hal, yaitu telah terjadi poros baru para
santri Indonesia belajar Islam tidak selalu berkiblat ke dunia Arab. Terlebih
sekarang lagi dilanda krisis politik, ekonomi, dan peradaban, jadilah daya
tarik studi ke dunia Arab menurun. Saya sendiri meneruskan studi master dan
doktor tidak ke Arab, tidak juga ke Barat, melainkan ke Turki. Neither West nor
East. Sebuah negara yang terjepit antara Arab dan Barat, atau, negara yang
mempertemukan antara tradisi Arab dan Barat.
Dari
semua yang saya sebutkan di atas, saya paling senior. Peluang pertama yang
terbuka bagi saya belajar ke luar negeri adalah ke Turki, yang waktu itu tidak
masuk daftar tujuan studi bagi mahasiswa Indonesia.
Peluang
ke Barat dengan basis beasiswa masih dalam proses negosiasi. Saya tidak punya
gambaran bagaimana perguruan tinggi di Turki. Yang penting menamatkan doktor di
luar negeri. Munawir Sjadzali, menteri agama kala itu, meminta saya menjadi
pionir belajar ke Turki. Itu bangsa dan negara yang sangat kaya dengan sejarah
masa lalunya. Bangsa yang tidak pernah dijajah Barat, bahkan pernah menguasai
sebagian Eropa dan hampir seluruh dunia Islam semasa Kekhalifahan Usmani
(Ottoman Empire ).
Saya
belajar di Ankara, Turki, antara 1984-1990. Terbukanya poros baru dosen-dosen
UIN dan IAIN belajar ke perguruan tinggi di luar Timur Tengah tak lepas dari
peran Munawir Sjadzali yang sengaja mendorong mereka agar mempelajari ilmu
sosial kontemporer untuk memperkaya studi Islam klasik yang telah dipelajari di
pesantren dan IAIN. Sekarang ini minat dosen muda alumni pesantren lebih
tertarik studi Islam ke perguruan tinggi Barat ketimbang ke Timur Tengah. Ada
apa ini? []
KORAN
SINDO, 22 April 2016
Komaruddin
Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar