Tunisia;
Antara Demokrasi dan Terorisme
Oleh :
Azyumardi Azra
Memasuki
Orient Hotel, di kota Sousse (Arab, Susa), di pesisir timur laut Tunisia, siang
yang sejuk (11/4/16) yang terlihat hanyalah kelengangan dan kesepian. Hampir
tidak terlihat tamu hotel dan pegawai yang lalu lalang. Lapangan parkiran
kendaraan nyaris kosong; hanya beberapa mobil terparkir di depan hotel.
Itulah
akibat aksi terorisme di Sousse, kota pariwisata terkenal di pantai Laut
Tengah. 28 Juni 2015, Saifeddine Rezqui (23) yang menyembunyikan senapan
Kalashnikov dan granat di dalam payung pantai secara membabi buta menembaki
para turis. Tak kurang 38 turis asal Eropa yang sedang menikmati keindahan
pantai Sousse tewas di tempat sebelum Saifeddin diberondong aparat Tunisia.
Aksi
terorisme itu diklaim ISIS sebagai tindakan agennya. Sejak saat itu, pantai
Sousse dan seluruh tempat wisata lain di Tunisia dijauhi para pelancong.
Melihat sepinya pantai Soussa penulis Resonansi ini segera ingat ketika datang
ke Nusa Dua untuk ikut menentramkan keadaan setelah bom Bali I (12 Oktober
2002) dan bom Bali II (1 Oktober 2005. Ketika itu, Bali sangat sepi; para turis
baik domestik maupun mancanegara menjauhi Pulau Dewata.
Bali
berbeda dengan Sousse atau Tunisia secara keseluruhan. Aksi-aksi kekerasan yang
seolah sambung menyambung di Sousse, Tunis dan sejumlah kota lain di Tunisia
membuat pariwisata sangat sulit pulih kembali. Padahal, sektor pariwisata
menghasilkan 7,5 persen total GDP dan 14 persen lapangan kerja.
Dengan
kondisi demikian, Tunisia jelas terlihat belum stabil. Seperti diketahui,
Tunisia adalah negara di mana ‘Arab Spring’ bermula ketika Mohammad Buazizi,
penjual asongan di pinggir jalan dikasari polisi (17/12/2010). Segera ia
membakar dirinya sampai tewas yang secara instan memicu ‘Jasmine Revolution’
(Revolusi Melati) di seluruh Tunisia. Pergolakan di seluruh negeri paling kecil
di kawasan Maghrib ini memaksa Presiden Zine el-Abidine Ben Ali yang telah
berkuasa lebih dari tiga dasawarsa melarikan diri ke Arab Saudi
Lima
tahun lebih setelah gelombang demokrasi melanda Tunisia, negara ini kini
dianggap sebagai satu-satunya di mana masih bersemi harapan bagi tumbuhnya
demokrasi di Dunia Arab. Negara-negara lain yang juga mengikuti Tunisia
terlanda ‘Musim Semi Arab’ yang mencapai puncaknya pada 2011-12, tepatnya
gelombang demokrasi sejak dari Libya, Mesir, Yaman dan Syria memperlihatkan
kandasnya demokrasi di tengah konflik, kekerasan dan perang.
Kini
kekacauan terus melanda Libya dengan konflik dan kekerasan di antara berbagai
kelompok paramiliter; di Mesir militer kembali ke panggung kekuasaan dengan
mengorbankan Ikhwanul Muslimin; Syria lebih kacau balau di tengah kehancuran
akibat ISIS dan kelompok radikal lain; sedangkan Yaman menjadi kancah
peperangan antara pemberontak Hauthi versus Arab Saudi dan koalisinya.
Dengan
keadaan mengenaskan itu, Tunisia demokrasi bertumbuh lambat. Pertarungan dan kontestasi
di antara partai Islamis el-Nahda pimpinan Rachid el-Ganouchi pada satu pihak
dengan partai-partai sekuler dan partai loyalis Presiden Habib Bourghiba (wafat
6 April 2000 dalam usia 96 tahun) pada pihak lain terus berlanjut. Setelah
memenangkan Pemilu demokratis pertama pada 23 Oktober 2011, el-Nahda
mengundurkan diri kepemimpinan politik Tunisia pada Januari 2014 untuk
meratakan jalan bagi amandemen Konstitusi.
Dengan
demikian, jelas transisi dan konsolidasi demokrasi di Tunisia juga tidak mudah.
Dalam percakapan dengan Profesor Moncef Ben Abdeljelil, Dekan Fakultas Sastra
dan Ilmu Humaniora, Universite de Sousse, penulis Resonansi ini menyampaikan
pengamatan dan kesan, transisi Tunisia menuju demokrasi terkonsolidasi menempuh
jalan panjang dan pedih.
Dalam
perspektif komparatif, Tunisia tidak seberuntung Indonesia yang lebih cepat dan
lancar dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasinya. Meski transisi
demokrasi Indonesia juga diwarnai banyak gejolak, tetapi ekonomi lebih cepat
pulih sehingga mendorong penguatan kembali ketenangan dan kohesi sosial.
Seperti
di Indonesia, euforia demokrasi juga melanda Tunisia. Ketika Pemilu demokratis
pertama diselenggarakan pada 2011, tidak kurang 100 partai politik menandai
kehidupan politik negara yang berpenduduk hanya sekitar 11 juta jiwa. Dalam
kenyataannya, hanya sekitar 15 partai yang berhasil memiliki kursi di
parlemen—lima partai paling banyak memiliki antara 86 sampai delapan kursi; dan
10 partai lain memperoleh antara empat sampai satu kursi.
Kekerasan
dan terorisme yang sebagian besar limpahan dari Libya—dengan menguatnya faksi
ISIS dan Alqaidah—jelas menghadang konsolidasi demokrasi dan pertumbuhan
ekonomi Tunisia. Pada satu segi, demokrasi menawarkan kesejahteraan lebih baik;
tapi ini sulit tercapai karena ekonomi tidak bertumbuh alias zero growth akibat
aksi terorisme’
Karena
itu, dalam percakapan dengan kalangan masyarakat Tunisia, penulis Resonansi ini
menekankan pentingnya keteguhan dan kebulatan tekad untuk bertahan dengan
demokrasi dan Islam yang damai. Tanpa itu, bukan tidak mungkin Tunisia
tergelincir ke dalam kekerasan dan kegelapan seperti para tetangganya. []
REPUBLIKA,
21 April 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar