Kamis, 19 Januari 2012

(Ngaji of the Day) Revitalisasi Tradisi ‘Mengaji’

Revitalisasi Tradisi ‘Mengaji’
Oleh: Nasukha٭

Sejak kurun waktu yang lama, kegiatan belajar-mengajar al-Quran dilakukan di surau, masjid atau kediaman guru secara bersama-sama. Di daerah-daerah pedesaan di Jawa, kegiatan semacam ini sudah menjadi tradisi yang mengakar. Selepas salat maghrib biasanya anak-anak berkumpul di tempat-tempat pengajian untuk belajar al-Qur’an. Secara otomatis, apabila ditemukan anak-anak yang bermain diwaktu tersebut, akan mendapat teguran orang-orang yang melihatnya atau paling tidak dilaporkan kepada orang tuanya.

Hal semacam ini sudah menjadi kesadaran bersama (social awareness) di tengah-tengah masyarakat, Artinya anak-anak yang bermain-main diwaktu tersebut dan tidak mengikuti pengajian al-Quran dianggap sebagai sebuah pelanggaran terhadap norma yang berlaku.

Umumnya, anak-anak dibimbing seorang guru atau ustadz yang secara intensif mengajari mereka balajar membaca al-Quran. Di beberapa tempat , pada sore harinya anak-anak tesebut juga diajari ilmu-ilmu keislaman dasar, seperti fiqih, akhlak dan tauhid. Guru-guru yang mengajar biasanya merupakan alumni pesantren yang secara sukarela mengabdikan dirinya menjadi ‘guru ngaji’. Guru ngaji selanjutnya berfungsi semacam tutor dalam belajar al-Quran.

Pada dasarnya, selain secara formal ‘mengaji’ berisi kegiatan belajar cara membaca al-Quran, tradisi ini juga memiliki banyak aspek positif. Hal ini antara lain dapat diidentifikasi dari beberapa hal. Pola pengajaran yang biasanya melibatkan lebih dari satu murid memungkinkan tumbuhnya rasa kebersamaan dan persaudaraan. Kaitannya dengan ini, rasa kebersamaan dan persaudaraan akan memudahkan penanaman dan bahkan pelaksanaan nilai-nilai kearifan yang selama ini berkembang di masyarakat pedesaan seperti: rasa tolong menolong, tenggang rasa , dan kesederhanaan.

Bahkan, selama ini tempat ngaji (nggon ngaji) mejadi tempat yang baik untuk penanaman ajaran moralitas, seperti hormat pada orang yang lebih tua, hormat kepada guru, menyayangi teman dan sebagainya. Contoh nyatanya, ritual ‘cium tangan’ kepada orang tua dan mengucapkan salam saat pergi dari rumah awalnya biasa dilakukan pada saat akan pergi ke tempat pengajian. Karena dari situlah ritual itu awalnya diajarkan.

Disisi lain pembentukan karakter positif anak-anak juga dapat dilakukan di tempat pengajian. Proses interaksi yang dilandasi suasana religius secara tidak langsung menjadi kontrol terhadap perilaku destruktif yang biasanya mulai muncul pada usia dini. Pengontrolan ini salah satunya terwujud dari ‘mainstream’ yang dibentuk bahwasanya berbuat hal-hal yang negatif pada tempat yang “disakralkan’’ merupakan perbuatan terlarang. Dan pendekatan ini, relatif efektif untuk menekan tingkat kenakalan yang biasanya muncul seiring dengan masa pertumbuhan.

Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ‘mengaji’ mulai terkikis. Persoalannya kemudian, tidaklah terbatas pada ancaman bertambahnya buta huruf Arab dan penurunan kemampuan membaca al-Quran akan tetapi juga merambah pada degradasi moral dikalangan muda pedesaan. Sungguh ironis, mengingat kalangan desa lebih dikenal memiliki nilai moral yang lebih baik daripada komunitas masyarakat lainnya.

Hemat penulis, ada dua hal yang menjadi penyebab persoalan ini. Pertama, gencarnya arus globalisasi yang terwujud dalam berbagai bentuk berimplikasi pada semakin ditinggalkannya tradisi lama. Dalam konteks ini, ‘mengaji’ seolah semakin tidak menarik jika dihadapkan pada produk-produk modernitas seperti acara-acara televisi, berbagai macam game ataupun keramaian mall-mall yang mulai merambah ke desa-desa.

Kedua, orientasi hidup yang cenderung hedonis-materialis cenderung membuat orang bersikap pragmatis dengan hanya melihat sesuatu dari sudut keuntungan. Walhasil, hal-hal yang lebih bersifat spiritual seperti ‘mengaji’ menjadi terlupakan karena dipandang tidak memiliki nilai manfaat secara langsung.

Peran Pemerintah dan Ormas Keagamaan

Menimbang urgensi ‘mengaji’, maka selayaknya fenomena berkurangnya tradisi ini harus direspon baik pemerintah, ormas keagamaan dan masyarakat secara umum. Pemerintah melalui Kementerian Agama baik yang di pusat ataupun di daerah dapat berperan dengan mensosialisasikan pentingnya belajar al-Quran bagi seorang muslim. Gerakan maghrib mengaji yang akhir-akhir ini didengungkan Kementerian Agama di beberapa tempat layak diapreasiasi positif. Harapannya tidak hanya itu, akan tetapi pemerintah juga dapat berperan aktif dengan program-program yang menyentuh ke akar persoalan misalnya membantu pendirian madrasah-madrasah tempat pengajian, mengorganisir, melatih dan bahkan jika perlu memberikan intensif kepada guru-guru ngaji. Selain itu, hal lain yang dapat dilakukan adalah mendorong keterlibatan pemerintah daerah dalam upaya menggalakan program gemar mengaji tersebut.

Ormas keagamaan juga selayaknya dapat memberikan peran melihat berkurangnya tradisi mengaji ini. Dalam hal ini, ormas keagamaan dapat melakukannya dengan memberikan perhatian lebih dengan realitas ini. Nahdlatul Ulama yang secara kultural lebih dekat dengan masyarakat desa dapat memobilisasi kader-kadernya di daerah untuk mengaktifkan kembali kegiatan mengaji selepas mangrib. Apalagi sumber daya manusia NU hampir bisa dipastikan memiliki kemampuan untuk melakukan hal ini. Tinggal diperlukan pengaturan manajemen dan pengorganisasian secara baik.

Mengingat al-Quran adalah kitab suci umat Islam dan ‘mengaji’ adalah sebuah tradisi yang berusaha menjaganya tetap melekat di generasi muda muslim. Apalagi jika mengingat penanaman nilai-nilai moralitas yang terinternalisasi didalamnya, maka upaya untuk melestarikan kembali tradisi ini adalah hal yang niscaya. Wallahu a’lam.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas ushuluddin UIN Sunan Kalijaga dan Sekretaris PC IPNU Kota Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar