Rabu, 04 Januari 2012

(Buku of the Day) Tuhan Tidak Perlu Dibela

(Buku) Gus Dur Menguatkan Saya
028.jpg
Judul : Tuhan Tidak Perlu Dibela
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : Kelima, Januari 2010
Peresensi : Noer Hasanatul Hafshaniyah

5 November lalu, pagi-pagi sekali seorang teman HTI menghubungi saya via SMS. Sebelum membaca secara detail apa yang tertera dalam pesan itu, saya memprediksi bahwa SMS ini pasti berisi ajakan untuk mengikuti Majelis Tafkir, seperti biasanya. Saya memang rutin mengikutinya tiap Jum’at siang.
Namun karena agenda tak terduga yang sering saya rencanakan serta kursus bahasa Inggris yang juga menyita waktu luang saya, akhirnya saya sangat jarang ke forum itu ataupun mengikuti forum mereka yang lain.

Ternyata dugaan saya salah. SMS itu bukan ajakang ke majlis, tapi tentang kecaman pada sistem negara ini, berikut orang-orang yang mau-mau saja menghamba ke Barat, kecaman pada sistem sekularisme, kapitalisme, demokrasi dan lainnya.

Ternyata inti dari pesan itu adalah apa yang tertera di bagian akhir, yaitu ajakan untuk turun ke jalan dan menyuarakan penolakan atas kedatangan Obama di KTT ASEAN di Bali.

Saya menolak ajakan mereka secara halus, dengan mengatakan pada jam yang sama saya ada agenda, tidak bisa ditinggalkan. Selain karena memang dari sono-nya saya tidak suka aksi turun jalan, alasan yang saya sampaikan sebagai bentuk penolakan secara halus itu bukan sekedar omong kosong belaka.

Jawaban dari penolakan itu begitu mengejutkan saya. Bagaimana tidak, yang mengirimi saya SMS itu semacam mengancam, menakut-nakuti, atau memperingati saya.

Intinya sama sekali itu tidak bernada nasehat. Kurang lebih SMS mereka berbunyi, “Awas lho An, kesibukan Kamu itu membuat Kamu tidak sensitif pada kondisi umat.”

Dengan sedikit rasa terkejut karena sama sekali tidak menduga bahwa mbak yang meng-SMS saya tadi, yang saya kenal begitu ramah, lembut, dan santun, akan mengirimi saya SMS yang bernada seperti itu.

Lalu, saya menjawab, “Apakan kepedulian kepada umat hanya bisa diekspresikan dengan cara turun ke jalan?”

Singkat cerita, di akhir komunikasi singkat kami, saya menulis pesan kepadanya yang berbunyi, “Semoga aqidah mampu menyatukan kita.”

Selama ini saya memang tidak membuka secara transparan identitas ke-NU-an saya. Jadi, jika sekarang atau nanti mereka mulai ‘membaui’ kalau saya tidak ‘seatap’ dengan mereka, saya berharap solidaritas yang telah terjalin tetap erat. Itu maksud saya menulis pesan begitu.

Pulang ke kos, saya kembali membuka buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela” karya Abdurrahman Wahid.

Entah mengapa, membaca tulisan Gus Dur kali ini terasa berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Saya merasa menemukan pembenaran, pembelaan, dan dukungan atas sikap yang saya pilih dan saya tunjukkan tadi dan sebelumnya.

Barangkali karena teks menemukan konteksnya. Saya (baru) menyadari betul bahwa sekian tulisan Gus Dur yang telah saya baca, khususnya apa yang terangkum dalam “Tuhan Tidak Perlu Dibela”, adalah sesuatu yang lahir dari kedalaman keberagamaan dan kebertuhanan.


Jika bukan seorang yang paham dan memahami tentang Tuhan, bagaimana mungkin seseorang dengan spontan mengatakan bahwa Tuhan tidak perlu dibela. Dan, hal itu Gus Dur lontarkan di tengah-tengah berkecamuknya perang antara pembelaan dan penghinaan yang dialamatkan pada Tuhan.

Saya yakin, kalimat itu cerdas, dan sama sekali hal itu tidak mencederai kemahaan-Nya. Sederhana saja saya berpikir:

“Bagaimana mungkin, makhluk yang lemah ini berupaya keras membelaTuhan yang Maha Kuat? Bukankah ini suatu pelecehan secara ekplisit?”

Saya tidak mengatakan bahwa mereka yang mati-matian membela Tuhan adalah salah. Akan tetapi barangkali mereka belum sampai pada maqam-nya. Jadi, biarkan dulu mereka melakukan sesuatu sesuai dengan maqam mereka. (Buku) Gus Dur, Tuhan Tak Perli Dibela, menguatkan (iman) saya.
Noer Hasanatul Hafshaniyah
Alumnus Annuqayah-Sumenep. Sekarang mahasiswa semester satu jurusan Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar