Ada Tiga nama Kiai Dahlan yang pernah aktif dan berjuang dalam kepengurusan PBNU (dulu HBNO, Hoofd Bestuuer Nahdlatoel Oelama). Kompilasi singkat dari ketiga Dahlan dalam PBNU ini penting meskipun berbagai sumber dan literatur telah banyak mencatat dan meriwayatkan perjuangan mereka.
Pertama, KH Achmad Dahlan bin Muhammad Achyad. Kiai Dahlan yang satu ini pada
tahun 1926 termasuk salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) mendampingi KH
Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah serta kiai-kiai lain.
Kiai yang sering disebut dengan nama KH Dahlan Achyad ini semasa hidupnya
pernah menjabat Wakil Rais Akbar NU mendampingi Mbah Hasyim Asy’ari sebagai
Rais Akbar.
Kiai Dahlan Achyad lahir pada 13 Muharram 1303 H yang bertepatan dengan tanggal
30 Oktober 1885 di Kebondalem Surabaya, sebuah wilayah yang berada di Kecamatan
Simokerto, sebelah timur makam Raden Rahmatullah Sunan Ampel, Kiai Dahlan
merupakan putra keempat dari enam bersaudara.
Beliau adalah aktivis pergerakan yang membidani beberapa embiro NU lewat
gerakan pemikiran, seperti Tashwirul Afkar. Beliau juga menulis beberapa
risalah yang berupaya membendung perdebatan furuiyah antara kaum pembaharu dan
kaum tradisionalis yang meruncing di era 1920-an.
Kedua, KH Dahlan bin Abdul Qohar. Seorang ulama yang sempat menamatkan
pendidikan HIS (sekolah dasar dengan bahasa pengantar Bahasa Belanda). Dari
latar belakang pendidikan dasarnya itu, Kiai Dahlan yang satu ini merupakan
satu-satunya ulama dalam PBNU pada zaman itu yang menguasai Bahasa Belanda,
disamping Bahasa Arabnya yang sangat baik.
Namun demikian, barangkali hanya KH Mohamad Ilyas saja kala itu yang menyamai
KH Dahlan bin Abdul Qohar sesama ulama di struktural PBNU yang berkesempatan
menamatkan pendidikan HIS.
KH Dahlan bin Abdul Qahar, salah seorang ulama asal Kertosono Nganjuk yang juga
ikut membidani kelahiran NU. Karib KH Abdul Wahab Chasbullah ini bersama Syaikh
Ghanaim al-Mishri ikut melakukan negosiasi ke Raja Arab Saudi, Ibnu Suud,
mengenai kebebasan menjalankan madzhab dan beberapa tuntutan lain melalui wadah
Komite Hijaz beberapa saat sebelum NU berdiri. (Rijal Mumazziq, 2017)
Ketiga, KH Mohamad Dahlan. Lahir di Pasuruan, 1909, dengan nama Muhamamd
Dahlan, beliau tercatat sebagai penggerak (muharrik) Ansor NU di awal
berdirinya bersama KH Abdullah Ubaid. Di kemudian hari, aktivis yang
dianugerahi suara merdu ini juga menjabat sebagai Ketua PBNU, lalu menjadi
Menteri Agama (menggantikan KH Saifuddin Zuhri) di awal Orde Baru.
Kiprah yang paling menonjol adalah merintis Musaqabah Tilawatil Qur’an (MTQ).
Bersama KH Ibrahim Hosen, Prof Mukti Ali, KH Zaini Miftah, dan KH Ali Masyhar
merintis berdirinya Perguruan Tinggi Ilmu Qur’an. Pengamal Dalail Khairat
hingga akhir hayatnya ini dimakamkan di TMP Kalibata, pada 1 Februari 1977.
Sebagai birokrat dan pengurus PBNU, beliau merupakan tokoh yang gigih dan
konsisten dalam melahirkan sejumlah gagasan cemerlang. Kalau KH Wahid Hasyim
membolehkan hakim wanita, maka dalam NU Kiai Mohamad Dahlan mempelopori
berdirinya organisasi Wanita NU yakni Muslimat. Bahkan dengan kegigihannya
akhirnya bisa meyakinkan Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah yang
akhirnya didukung seluruh Nahdliyin.
Ketika menjabat Menteri Agama (1967-1971), Kiai Dahlan yang memelopori
musyawarah antarumat beragama untuk menjaga kerukunan sesamanya. Selain gagasan
mendirikan MTQ dan PTIQ, ia pula yang berjasa mengangkat ribuan guru-guru agama
melalui Ujian Guru Agama (UGA) pasca peristiwa 1965 sebagai konsekuensi semakin
disadarinya bahwa berkembangnya ajaran komunisme akibat kurangnya pelajaran
agama di sekolah-sekolah.
Tampilnya Dahlan di gelanggang pergerakan dimulai tahun 1930. Dialah tokoh yang
merintis terbentuknya organisasi NU Cabang Bangil, sekaligus menjadi ketuanya.
Lima tahun kemudian ia terpilih menjadi ketua NU Cabang Pasuruan. Berkat
kepemimpinan dan integritas kepribadian yang dimilikinya, pada tahun 1936 ia
dipercaya untuk menjadi Konsul NU Daerah (wilayah) Jawa Timur yang
berkedudukan di Pasuruan saat itu.
Itulah riwayat singkat tiga nama Kiai Dahlan yang pernah aktif dalam struktural
PBNU hasil dari kompilasi sejumlah tulisan sejarah yang selama ini memang sudah
tertulis dalam berbagai artikel dan literatur. Tentu kiprah ketiga Dahlan
tersebut bukan semata-mata menampilkan nama tokoh, tetapi keteladanan dalam
berjuang membesarkan organisasi untuk mewujudkan kemaslahatan untuk umat. []
Sumber:
Majalah Risalah Islamyah, edisi No. 4-IX-1977.
Wasid Mansyur, Biografi Kiai Ahmad Dahlan: Aktivis Pergerakan dan Pembela Ajaran Aswaja, Penerbit Pustaka Idea, 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar