Imam An-Nawawi dikenal melalui karyanya. Ia melalui karyanya sering dirujuk banyak ulama fiqih dan ulama hadits dalam kajian keagamaan sampai hari ini. Kapasitas, kompetensi, dan reputasi akademiknya diakui oleh ulama di zamannya hingga kini.
Imam An-Nawawi (1223 M/631 H-1277 M/676 H) adalah keturunan imigran berbangsa
Arab di Desa Nawa, Damaskus. Ia tumbuh dalam pendidikan agama di rumah dan di
masyarakat yang baik. Ia berkembang di bawah bimbingan ulama-ulama besar di
Damaskus.
*
Imam Nawawi kecil tumbuh berkembang sebagaimana anak-anak kecil di berbagai
belahan dunia lainnya. Ia bermain bersama anak-anak tetangga seusianya.
Waktu terus berjalan. Imam Nawawi kecil pun bergaul dengan teman-teman
sebayanya sebagaimana biasa. Tetapi ada satu kesempatan di mana pengalaman ini
mengubah dirinya. Pengalaman pahit ini pula yang menjadi titik mula perjalanan
intelektualitasnya.
Suatu hari seorang ulama besar menyaksikan teman-teman sebaya mengucilkan Imam
Nawawi kecil. Mereka enggan menerima keberadaannya. Imam Nawawi kecil pun
berlari menjauhi mereka. Air matanya menetes dalam kesendiriannya. Ia merasa
sedih atas isolasi teman-teman sebayanya. Ia merasa terkucil.
Di satu sudut kota Damaskus, Imam Nawawi kecil membaca Al-Qur’an dalam suasana
batin yang terpukul. Hari-hari ke depan ia lalui dengan membaca Al-Qur’an.
Hanya membaca Al-Qur’an dan membaca Al-Qur’an aktivitas yang dilakukan oleh
Imam Nawawi kecil hingga baligh. Aktivitas it uterus dilakukannya sampai ia
hafal 30 juz Al-Qur’an.
Sejumlah ulama besar memandang sedikit berbeda pada Imam Nawawi kecil. Mereka
melihat tanda-tanda keulamaan pada Imam Nawawi kecil. Mereka memiliki firasat
atas kealiman, intelektualitas, dan kecerdasan Imam Nawawi kecil.
Mereka kemudian menemui orang tua Imam Nawawi kecil. Mereka berpesan kepada
keduanya agar menjaga baik-baik Imam Nawawi kecil karena anak ini kelak akan
menjadi ulama besar yang membimbing umat Islam. Mereka berpesan kepada Imam
Nawawi kecil untuk melazimkan pembacaan Al-Qur’an dan berusaha untuk
menghafalkannya.
Sejak itu, Imam Nawawi kecil bergiat menghafalkan Al-Qur’an. Ia juga
mempelajari akhlak ulama-ulama terkemuka di kotanya. Ia kemudian mulai
meninggalkan kesempatan bermain bersama anak-anak sebayanya. Ia terjun dalam
pembacaan dan penghafalan Al-Qur’an. Imam Nawawi kecil tenggelam dalam
aktivitas menuntut ilmu.
Pada usia 19 tahun, orang tuanya membawa Imam Nawawi remaja ke Madrasah
Ar-Rawahiyah, sebuah madrasah yang didirikan oleh Ibnu Rawahah, seorang kaya
raya di zamannya. Tetapi madrasah itu kini telah tiada. Di atas lahannya
terdapat bangunan-bangunan tempat tinggal warga di Damaskus.
Di Madrasah Ar-Rawahiyah ini, Imam Nawawi menyelesaikan hafalan Kitab At-Tanbih
(kajian fiqih mazhab Imam As-Syafi’i) karya As-Syairazi dalam waktu 4 setengah
bulan. Untuk mengisi waktu sampai akhir tahun, ia menyelesaikan kajian Kitab
Al-Muhadzab (kajian fiqih mazhab Imam As-Syafi’i) karya As-Syairazi di bawah
bimbingan ulama ternama, Syekh Kamal Ishaq Al-Maghribi Al-Maqdisi, guru fiqih
pertama Imam Nawawi remaja. Darinya ia menguasai ilmu fiqih.
Setiap malam ia mempelajari 12 pelajaran. Mata pelajaran yang dipelajarinya
adalah Al-Wasith karya Al-Ghazali, Al-Muhazhab karya As-Syairazi, Al-Jam’u
baynas Shahihayn karya Al-Humaydi, Shahih Muslim, Al-Luma’ karya Ibnu Jini,
Islahul Manthiq karya Ibnus Sikkit.
Imam An-Nawawi remaja tidak pernah melewati waktunya dari pembelajaran. Dalam perjalanan
pun ia memanfaatkan waktunya untuk membaca dan memuthalaah pelajarannya. Ia
mempelajari hadits, integritas perawi hadits, syarah hadits, tafsir, fiqih,
ushul fiqih, ushuluddin, tasawuf, dan sharaf.
Kitab yang pernah dipelajari Imam Nawawi adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim,
Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, Sunan Ibnu Majah,
Al-Muwattha, Musnad As-Syafi’i, Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Ad-Darimi,
Musnad Abi Ya’la, Shahih Abi Awanah, Sunan Ad-Daruquthni, Sunan Al-Baihaqi, Syarhus
Sunnah Al-Baghowi, Tafsir Ma’alimu Tanzil Al-Baghowi, Amalul Yawmi wal Laylati
Ibnu Sunni, Al-Jami’ li Adabir Rawi was Sami Al-Khatib Al-Baghdadi, Ihya
Ulumiddin, Ar-Risalatul Qusyayriyah, Al-Ansab, dan karya ulama lainnya.
Dari tangan ulama-ulama terkemuka di Damaskus, Imam Nawawi remaja tumbuh
sebagai pemuda yang menguasai berbagai ilmu terutama, fiqih, hadits, dan
akhlak. Ia menjadi ulama tekemuka, bukan ulama pinggiran di lingkungan mazhab
As-Syafi’i.
Karya-karyanya menjadi rujukan ulama di masanya dan sesudahnya. Karyanya antara
lain adalah Syarah Sahih Muslim (yang sering dirujuk ulama sesudahnya),
Al-Irsyad wat Taqrib, Tahdzibul Asma wal Lughat, Al-Manasikus Shughra wal
Kubra, Minhajut Thalibin (yang disyarahkan ulama-ulama sesudahnya), Al-Majmu
(syarah Al-Muhhazhab), Riyadhus Shalihin, Al-Adzkar, Al-Arba’in, dan At-Tibyan.
Imam Nawawi dewasa dipercaya untuk memimpin Madrasah Al-Asyrafiyyah Al-Ula. Ia
menjadi guru besar pada sekolah yang didirikan oleh Sultan Al-Malik Al-Asyraf
Muzhaffaruddin. Ia mengajar di sana tanpa mengambil gaji bulanan. Ulama yang
pernah mengajar di sekolah ini adalah Ibnu Katsir, Ibnu Shalah, Tajuddin
As-Subki, Bahauddin As-Subki, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Abu Syamah Al-Maqdisi,
dan ulama besar lainnya. []
Riwayat ini disadur dari pengantar dan biografi singkat Imam Nawawi pada Kitab
At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an oleh Abdul Qadir Al-Arnauth.
(Alhafiz Kurniawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar