Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan sebuah riwayat tentang Imam Ahnaf bin Qais yang menganalisa dirinya sendiri dengan Al-Qur’an. Berikut riwayatnya:
حدثنا
عبد الله حدثني أبي حدثنا هارون بن معروف حدثنا ضمرة عن ابن شوذب قال: قال الأحنف
بن قيس: عرضْتُ نفسي علي القرآن فلم أجد نفسي بشيء أشبهُ منّي بهذه الآية:
(وَآخَرُونَ اعْتَرَفُوا بِذُنُوبِهِمْ خَلَطُوا عَمَلًا صَالِحًا وَآخَرَ
سَيِّئًا عَسَى اللَّهُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ)
Abdullah bercerita kepada kami, Ayahku bercerita, Harun bin Ma’ruf bercerita,
Dlamrah bercerita dari Ibnu Syaudzab, dia berkata: “al-Ahnaf bin Qais berkata:
“Aku periksa diriku berdasarkan Al-Qur’an, kemudian tidak kudapati sesuatu
dalam diriku yang lebih serupa denganku (selain) ayat ini (QS. At-Taubah: 102):
“Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mereka
mencampurbaurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk. Mudah-mudahan
Allah menerima taubat mereka.” (Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar
al-Rayyan li al-Turats, 1992, h. 288)
****
Ahnaf bin Qais (w. 72 H) adalah generasi salaf yang terkenal kemurahan hatinya. Pemimpin kabilah Tamim yang lahir di Bashrah. Ia memeluk Islam di masa Nabi (aslama fî hayâtin nabiyyi), tapi seperti Uwais al-Qarni, belum sempat menjumpainya. Ia mengambil riwayat hadits dari Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abu Dzar, Abbas, Ibnu Mas’ud, Utsman bin ‘Affan, dan lain sebagainya. Murid-muridnya adalah ‘Amr bin Jawan, Hasan al-Bashri, ‘Urwah bin Zubair, dan lain sebagainya (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001, juz 4, h. 87-88).
Sayyidina Ahnaf juga pernah didoakan langsung oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Hal ini diketahui ketika Ahnaf bin Qais bertemu dengan
seseorang dari Bani Laits yang pernah dikirim Rasulullah untuk menyebarkan
Islam di kaumnya. Orang tersebut bercerita bahwa Rasulullah pernah berdoa:
“allahummaghfir lil-ahnaf” (Ya Allah, ampunilah Ahnaf). (Imam al-Dzahabi, Siyar
A’lâm al-Nubalâ’, juz 4, h. 88-89).
Apa yang dilakukan Sayyidina Ahnaf, seharusnya dilakukan juga oleh semua dari
kita. Menganalisa diri, memeriksakan diri, dan memandang diri berdasarkan
Al-Qur’an. Apakah ciri-ciri orang bertakwa sudah sesuai dengan kita? Jika
sudah, apakah ujub dan takabur tidak merasuki diri kita? Apakah ciri-ciri
kemunafikan sudah sesuai dengan kita? Jika sudah, apa yang sudah kita lakukan
untuk memperbaikinya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas hanyalah contoh. Karena masih banyak hal yang
perlu kita periksakan dengan Al-Qur’an. Kita perlu melakukan self-criticism
(kritik diri) yang positif, yaitu mendiagnosa kekurangan dan kelemahan kita
agar bisa menjadi lebih baik, dan jika pun sudah ada hal baik di diri kita,
diagnosa menjadi penting untuk menghindarkannya dari kesombongan (ujub dan
takabur).
Sederhananya bisa digambarkan seperti ini, (dalam bentuk contoh-contoh
pemeriksaan dari keburukan). Ketika kita membaca ayat tentang orang-orang
munafik, hati kita berkata, “kok mirip saya ya”; ketika kita membaca ayat
tentang orang-orang bertakwa, hati kita berkata, “kok tidak mirip saya ya”;
ketika kita membaca ayat tentang orang-orang yang kufur nikmat, hati kita
berujar, “kok mirip saya ya”; ketika kita membaca ayat tentang orang-orang yang
selalu bersyukur, hati kita berujar, “kok tidak mirip saya ya”, dan seterusnya.
Sayyidina Ahnaf melakukan proses itu, dan ia menemukan dirinya sangat mirip
dengan yang diungkapkan Surah At-Taubah ayat 102 itu, bahwa ia termasuk orang
yang mengakui dosanya, tapi masih mencampur adukkan pekerjaan baik dan
pekerjaan buruk. Di satu waktu ia melakukan perbuatan baik, di waktu lain ia
melakukan perbuatan buruk. Sebagai seorang hamba yang telah mengakui
dosa-dosanya, ia merasa malu karena masih sering mengulangi perbuatannya.
Karena itu, ia selalu berharap tobatnya diterima. Meski demikian, ia
memasrahkan semuanya kepada Allah. Ia berdoa:
اللهمّ
إن تُعَذِّبني فأنا أهل ذاك، وإنْ تَغفرلي فأنت أهلُ ذاك
“Ya Allah, jika Engkau menyiksaku maka aku (memang) pantas untuk itu, dan jika
Engkau mengampuniku maka Engkau (memang) berhak untuk itu.” (Imam Ahmad bin
Hanbal, al-Zuhd, 1992, h. 287)
Ia menyadari, jika kelak Allah menghukumnya, itu karena ia pantas untuk itu,
dan tak perlu merasa diperlakukan tidak adil. Pun sebaliknya, jika Allah
mengampuninya, itu karena hanya Allah lah yang mempunyai hak untuk itu, dan Dia
adalah Tuhan yang Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat.
Dengan kata lain, kita harus luangkan waktu untuk bercermin dengan Al-Qur’an.
Salah satunya dengan melakukan murâqabah an-nafs (self-observation, observasi
diri), dan muthâla’ah an-nafs (self-reading, pembacaan diri) ketika membacanya.
Untuk itu dibutuhkan keterbukaan dan kejujuran diri. Kita harus terbuka dan
jujur untuk mengakui kelemahan dan kekurangan kita. Tanpa itu, baik disadari
atau tidak, kita akan selalu mengingkari apa yang sebenarnya terjadi di dalam
diri kita. Akibatnya, ayat-ayat yang kita baca, meski kita tahu kebaikan
isinya, tidak teraktualisasi dalam tindakan dan perilaku kita. Contohnya,
setiap khutbah Jum’at, berapa banyak orang yang mendengar wasiat takwa, “ittaqillah”
(bertakwalah kepada Allah), tapi sangat sedikit yang benar-benar merasai dan
menjiwainya.
Memahami “kebaikan” seringkali tidak mewujud dalam pengamalannya. Memahami
“keburukan” seringkali tidak mewujud dalam penghindarannya. Manusia, meski memahami
keduanya, terkadang tidak berhasil merealisasikannya dalam tindakan. Karena
itu, dibutuhkan kejujuran dan keterbukaan saat melakukan pemeriksaan diri.
Misalnya, ketika Al-Qur’an berbicara tentang kesabaran, kita periksa diri kita,
apakah kita sudah berusaha menghadirkan kesabaran, jika belum, kita harus
memulainya dari sekarang, dan seterusnya.
Pertanyaannya, pernahkah kita melakukannya?
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar