وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَى شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ
Wa idzā laqul ladzīna āmanū, qālū, ‘Āmannā.’ Wa idzā khalaw ilā syayāthīnihim,
qālū, ‘Innā ma‘akum. Innamā nahnu mustahzi’ūn.’
Artinya, “Jika bertemu dengan orang beriman, mereka mengatakan, ‘Kami beriman.’
Tetapi jika sedang menyepi dengan setan-setan mereka, mereka mengatakan,
‘Sungguh, kami bersama kamu. Kami (begitu) hanya mengolok-olok.’”
Ragam Tafsir
Imam Al-Baidhawi dalam Kitab Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil mengatakan ayat ini menjelaskan interaksi sosial kelompok munafik dengan orang beriman dan orang kafir. Cerita ini disebutkan untuk menjelaskan mazhab mereka.
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Ubay munafik dan sahabatnya kedatangan para
sahabat nabi. Ia berkata kepada kaumnya, “Lihatlah bagaimana aku menghalau
orang-orang bodoh (sahabat rasul) dari kamu.” Ketika sahabat tiba, Abdullah bin
Ubay memegang tangan Abu Bakar dan mengatakan, “Marhaban wahai As-Siddiq, pemuka
Bani Taim, syekh Islam, sahabat rasul ketika di gua, dan pengerah harta dan
jiwa demi Rasulullah SAW.” Ia kemudian memegang tangan Umar RA, “Marhaban
pemuka Bani Adi, al-Faruq yang kuat agamanya, pengerah jiwa dan hartanya untuk
rasulullah SAW.” Ia kemudian memegang tangan Sayyidina Ali RA, “Marhaban anak
paman rasul, menantu rasul, pemuka Bani Hasyim.” Kemudian ayat ini turun.
Al-Baghowi dalam Kitab Ma’alimut Tanzil fit Tafsir wat Ta’wil mengatakan,
mereka yang dimaksud adalah kelompok munafik ketika bertemu dengan kalangan
Muhajirin dan Ansor. Mereka mengatakan, “Kami beriman” seperti kalian beriman.
Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirul Qur’anil Azhim mengatakan, mereka yang
dimaksud adalah kelompok munafik ketika bertemu orang beriman. Mereka
mengatakan, “Kami beriman.” Mereka menyatakan keimanan, persahabatan, dan
keakraban sebagai bentuk tipuan, kemunafikan, tindakan yang dibuat-buat,
taqiyah mereka terhadap orang-orang beriman, dan supaya mereka juga dapat
menikmati kebaikan serta ghanimah bersama orang beriman.
Setan-setan mereka adalah manusia-manusia yang kedurhakaannya seperti setan.
Mereka menyatakan kekufuran. Orang-orang munafik sama kufurnya dengan
orang-orang kafir. Tafsiran lainnya mengatakan, setan-setan mereka adalah para
pembesar munafikin. Sedangkan yang mengatakan adalah orang rendahan dari
kalangan munafikin. Setan secara bahasa adalah jauh, jauh dari kemaslahatan.
Penambahan huruf “nun” pada kata setan mengisyaratkan makna “batil”. Oleh
karena itu, salah satu nama setan adalah al-batil. (Al-Baidhawi)
“Ketika mereka menyepi,” kembali “dengan setan-setan mereka.” Setan di sini
adalah pembesar dan peramal kalangan munafik. Menurut Ibnu Abbas, terdapat lima
kelompok munafik Yahudi di zaman Rasulullah SAW. Mereka adalah Ka’ab bin Asyraf
di Madinah, Abu Burdah di Bani Aslam, Abdur Dar di Juhainah, Auf bin Amir di
Bani Asad, Abdullah bin Sauda’ di Syam. Tidak ada peramal kecuali didampingi
setan yang selalu mengikutinya. Setan adalah pembangkang durhaka yang melewati
batas baik dari kalangan jin, manusia, maupun benda apa saja. Asal kata “setan”
adalah “jauh” seperti kata “sumur setan”, yaitu sumur yang dalam. Ia disebut
setan karena keangkuhannya dalam keburukan dan kejauhannya dari kebaikan.
(Al-Baghowi)
“Ketika mereka menyepi,” maksudnya berpaling, pergi, dan berkumpul sesama
pemuka mereka. Sedangkan “setan mereka” adalah pemimpin, pembesar,
kepala-kepala mereka dari kalangan pemuka Yahudi, musyrik, dan munafik.
Setan-setan mereka yang dikutip dalam tafsir As-Suddi dari Ibnu Mas’ud RA dan
sejumlah sahabat rasul adalah pemuka-pemuka orang kafir. Sementara Ad-Dhahhak
dari Ibnu Abbas menafsirkan setan-setan itu dengan sahabat mereka. Sedangkan
Muhammad bin Ishak dari Ibnu Abbas RA menafsirkan setan-setan mereka dengan
kelompok Yahudi yang meminta mereka mendustakan dan menyalahi Rasulullah SAW.
Bagi Mujahid, setan-setan mereka adalah sahabat mereka sendiri dari kalangan
munafik dan musyrik. Sementara Qatadah menafsirkan setan-setan dengan pemimpin
dan kepala mereka dalam hal kemusyrikan dan keburukan. (Ibnu Katsir)
“Sungguh, kami bersama kamu” dalam urusan agama dan aqidah. Kalimat “Kami
(begitu) hanya mengolok-olok” menguatkan kalimat sebelumnya. Orang yang
mengolok-olok sesuatu adalah orang orang yang meremehkan dan mereka senantiasa
menyalahi sesuatu tersebut. (Al-Baidhawi)
Kalimat “Sungguh, kami bersama kamu” diucapkan kepada sahabat mereka sendiri
dari kalangan munafik atau musyrikin. “Kami (begitu) hanya mengolok-olok”
Muhammad dan sahabatnya melalui pernyataan keislaman. (Al-Baghowi).
Kalimat “Sungguh, kami bersama kamu,” kata Ibnu Abbas RA, ditafsirkan “Kami
seperti pada keyakinanmu saat ini.” “Kami (begitu) hanya mengolok-olok” dan
mempermainkan mereka. (Ibnu Katsir). Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar