Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari beberapa kali melakukan perlawanan kultural terhadap penjajah yang ia kemas dengan spirit ajaran Islam. Dalam konteks melakukan perlawanan terhadap penjajah, Kiai Hasyim Asy’ari tidak segan-segan mengeluarkan fatwa haram bagi santri yang pakaiannya menyerupai penjajah Belanda. Tentu saja fatwa tersebut tidak bisa digunakan di setiap zaman sebab konteks fatwa itu untuk melawan ketidakperikemanusiaan penjajah.
Kabar-kabar penting terkait perjuangan dan pergerakan nasional selalu Kiai
Hasyim Asy’ari sampaikan melalui utusan dan surat tertulis. Kabar yang
disampaikan tidak jarang berisi pesan berharga kepada kiai-kiai pesantren di
Jawa dan Madura terkait strategi dalam menghadapi penjajah.
Tercatat ialah Mahfudz Siddiq, Wahid Hasyim, Abdullah Ubaid, dan Muhammad Ilyas
merupakan kiai-kiai muda yang tidak asing namanya di kalangan pesantren. Mereka
merupakan ‘kurir-kurir’ KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah untuk
membawa pesan-pesan untuk dunia pesantren terkait kepentingan agama, bangsa,
dan negara.
Di antara pesan yang ditulis oleh KH Hasyim Asy’ari kepada para ulama pesantren
di Jawa dan Madura tentang pentingnya persatuan ialah:
“Perkokoh persatuan kita, karena orang lain juga memperkokoh persatuan mereka.
Kadang-kadang suatu kebatilan mencapai kemenangan disebakan mereka bersatu dan
terorganisasi. Sebaliknya, kadang-kadang yang benar menjadi lemah dan
terkalahkan lantaran bercerai-berai dan bersengketa.” (KH Saifuddin Zuhri,
Guruku Orang-orang dari Pesantren, LKiS, 2001)
Selain terus berupaya memperkokoh jam’iyah dan jamaah NU, Kiai Hasyim Asy’ari
juga selalu mendorong persatuan umat Islam yang kala itu telah terwadahi di
berbagai ormas Islam. Sebab, sengketa dan perselisihan dipastikan terjadi.
Jangankan perbedaan pendapat di antara berbagai macam ormas Islam, dalam wadah
satu organisasi pun tidak jarang perbedaan pendapat muncul dan berkembang.
Dalam kondisi berselisih, penjajah mudah dalam mempengaruhi masyarakat. Hal ini
dipandang sebagai kerugian besar secara sosial dan moral karena justru akan
menjadikan eksistensi penjajah semakin kuat. Dari pintu ke pintu dan dari
utusan ke utusan, Kiai Hasyim Asy’ari tidak pernah lelah menggelorakan
persatuan bangsa dan persatuan umat Islam.
Apalagi jika melihat beberapa kelompok masyarakat Indonesia yang cukup bangga
dan terbuai dengan tipu daya Belanda dalam wujud penghargaan.
Seperti yang terjadi pada tahun 1937 mislanya, pernah datang kepada Kiai Hasyim
Asy’ari seorang amtenar (utusan pemerintah Hindia-Belanda) bermaksud memberikan
tanda jasa berupa Bintang Jasa yang terbuat dari perak dan emas. Tetapi dengan
tegas kakek KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menolak pemberian itu.
Sikap ayah Kiai Wahid Hasyim itu tidak lepas dari pandangan bahwa apa yang
dilakukan Belanda hanya intrik politik semata untuk menundukkan sikap kritis
dan perjuangan para kiai pesantren dalam melawan penjajah.
Lalu, Hadlratussyekh pun bergegas mengumpulkan santrinya lalu berkata:
“Sepanjang keterangan yang disampaikan oleh ahli riwayat, pada suatu ketika
dipanggillah Nabi Muhammad SAW oleh kakeknya Abdul Muthalib dan diberitahu
bahwasanya pemerintah jahiliyah di Mekkah telah mengambil keputusan menawarkan
tiga hal untuk Nabi Muhammad: 1) kedudukan yang tinggi; 2) harta benda yang
berlimpah; dan 3) gadis yang cantik. Akan tetapi Baginda Nabi Muhammad menolak
ketiga-tiganya itu dan berkata di hdapan kakeknya, Abdul Muthalib: “Demi Allah
umpama mereka itu kuasa meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di
tangan kiriku dengan maksud agar aku berhenti berjuang, aku tak akan mau. Dan
aku akan berjuang terus sampai cahaya Islam merata ke mana-mana, atau aku gugur
lebur menjadi korban.” Maka, kamu sekalian anakku, hendaknya dapat meneladani
Baginda Nabi Muhammad SAW dalam menghadapi segala pesoalan.” (Choirul
Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 1985).
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar