Kerusakan di muka bumi dan di lautan tidak lain terjadi karena buah tangan manusia. Dampak dari kerusakan ini kemudian berimbas kepada bukan hanya pelaku kerusakan, tetapi juga kepada semuanya sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Rum ayat 41:
ظَهَرَ
ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan
manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (dampak) perbuatan
mereka. Semoga mereka kembali (ke jalan yang benar).” (Surat Ar-Rum ayat 41).
Ayat ini sering dijadikan rujukan sebagai dalil perihal pemeliharaan terhadap
lingkungan hidup, terutama belakangan ketika masalah lingkungan mengemuka. Ayat
ini memang sangat masuk sebagai peringatan atas dampak kerusakan lingkungan
baik di darat maupun di laut.
Adapun sahabat Abu Bakar As-Shiddiq menafsirkan kerusakan di darat dan di laut
sebagai kerusakan ucapan dan dan qalbu manusia. Kerusakan lisan dan qalbu
melalui kemungkaran-kemungkaran itu diratapi manusia dan malaikat.
قال
أبو بكر في تفسير ذلك البر هو اللسان والبحر هو القلب فإذا فسد اللسان بالسب مثلا
بكت عليه النفوس أى الأشخاص من بني آدم وإذا فسد القلب بالرياء مثلا بكت عليه
الملائكة
Artinya, “Sayyidina Abu Bakar RA menafsirkan ayat ini bahwa ‘darat’ adalah
lisan dan laut adalah qalbu. Jika lisan telah rusak dengan caci maki misalnya,
maka jiwa-jiwa anak Adam menangis. Jika qalbu telah rusak sebab riya misalnya,
maka malaikat menangis,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Nasha’ihul Ibad,
[Indonesia, Daru Ihya’il Kutubil Arabiyyah: tanpa tahun], halaman 6).
Syekh M Nawawi Banten menambahkan, qalbu diumpamakan dengan “laut” karena
kesamaan keluasan dan kedalaman pada keduanya. (Lihat Syekh M Nawawi Banten,
tanpa tahun: 6).
Syekh M Nawawi Banten dalam Kitab Nashaihul Ibad mengutip hikmah lain bahwa
lisan adalah satu peringatan bagi seorang hamba untuk mengatakan hanya kalimat
yang penting dan kalimat yang baik saja. (Lihat Syekh M Nawawi Banten, tanpa
tahun: 6).
Ada ulama yang mengatakan, lisan yang berzikir dengan bahasa apapun tetap
menyasar pada satu objek zikir, yaitu Allah. Demikian pula qalbu. Sedangkan
mata dan telinga menyasar banyak hal. Oleh karena itu, ada ulama yang
mengatakan bahwa hajat mata dan telinga lebih banyak daripada hajat lisan.
(Lihat Syekh M Nawawi Banten, tanpa tahun: 6). Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar