Kamis, 08 September 2022

(Ngaji od the Day) Sanksi Ekonomi dalam Pandangan Islam

Denda (غرامة) dalam terminologi keislaman adalah masuk rumpun ta’zir/sanksi ekonomi (hukuman/sanksi). Dalam wilayah syariah, ta’zir dibebankan kepada seorang individu atau organisasi adalah karena prinsip usaha untuk mendidik (lit ta'dib) disebabkan tindakan individu atau organisasi yang berlebihan dan keluar dari batas aturan yang ditetapkan sehingga berakibat merugikan hak anak adam yang lain.

 

Sampai di sini, kita harus bisa membedakan antara pengertian ta’zir dengan had atau diyat. Had dan diyat umumnya sudah ditentukan oleh syariah akan besarannya. Sementara ta’zir tidak ditetapkan oleh syara', tapi dianjurkan agar dilaksanakan. Allah subhanahu wata’ala berfirman:

 

لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

 

Artinya: "Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan agama-Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang." (QS. Al-Fath: 9)

 

At-Thabari dalam kitab tafsirnya Jâmi'ul Bayân 'an Ta'wîl ayy al-Qurân, halaman 74 menjelaskan makna "wa tu'azzirûhu" dalam ayat di atas sebagai mengagungkan dan membesarkan Allah. Sementara itu as-Suyuthi dalam al-Dur al-Manshur fi Tafsîr al-Ma'tsûr, halaman 516, menjelaskan makna tersebut sebagai upaya menolong-Nya. Kedua penafsir dalam hal ini seolah sepakat bahwa ada kaitan antara ta’zir dengan upaya mengagungkan Allah subhanahu wata’ala. Dengan demikian, bagi pelaku yang terkena ta’zir, dapat dihukumi bahwa ia telah berbuat maksiat, dan sebagai konsekuensi perbuatannya, ia berhak untuk diminta tobat dengan jalan dikenai sanksi oleh pemberi ta'zîr yang terdiri dari pemimpin atau pejabat yang berwenang.

 

Menyimak dari sifat ta’zir yang tidak ditetapkan bentuknya oleh syara' namun merupakan anjuran agar hal tersebut dilaksanakan, maka dalam hal ini ada batasan bagi penerapan ta’zir, yaitu:

 

1.     Karena berupa anjuran, maka ta’zir sifatnya boleh diterapkan dan boleh tidak diterapkan, tergantung pada sisi kemaslahatan yang menjadi pertimbangan. Bila dipandang maslahat oleh Imam/pejabat yang berwenang akan ketiadaan penerapannya, maka ta’zir tidak perlu dilaksanakan. Namun, bila yang terjadi adalah hal sebaliknya, maka sebaliknya pula keharusan ta’zir itu dilaksanakan.

 

2.     Karena ta’zir adalah salah satu bentuk upaya membuat tobat agar pelaku tidak kembali mengulangi perbuatannya, maka bentuk pelaksanaan ta’zir tidak boleh melebihi had atau diyat. Hal ini senada dengan bunyi hadits Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam:

 

لاتعزروه فوق عشرة أوسط

 

Artinya: "Janganlah kalian memberlakukan sanksi melebihi 10 cambukan!" (HR. Ibnu Mâjah)

 

Mafhum yang bisa diambil dari hadits ini adalah bahwa had/pidana berupa cambuk yang melebihi 10 cambukan adalah hampir setara dengan had perbuatan lain yang dilarang oleh syariat dan diharamkan. Oleh karena itu, ta’zir tidak boleh menyamainya. Dengan tidak menyamai dengan had ini, maka fungsi ta’zir sebagai realisasi untuk membuat jera dan tobat menjadi tercapai. Ini pula yang menjadi penyebab, mengapa di dalam syariat ada istilah jarîmah ta’zir dan jarîmah hudud. Jarîmah ta’zir dikenakan pada orang yang melakukan pelukaan kepada orang lain secara tidak benar namun dalam syariat tidak ada ketetapan hukumnya. Sementara itu dalam jarîmah hudud, tindakan pelukaan itu sudah masuk batas yang ditetapkan oleh syariat sehingga pelakunya berhak mendapat pidana sesuai dengan yang ditetapkan oleh Syâri', yakni Allah SWT dan Rasul-Nya.

 

3.     Di dalam ta’zir ada istilah toleransi. Toleransi diberikan seiring memenuhi kaidah syar'i bahwa tujuan dari syariat adalah ketiadaan memberatkan (عدم الحرج) tapi juga tidak menganggapnya sepele (تساهل).

 

Sebagai contoh; misalnya dalam kaidah muamalah ekonomi, penundaan utang yang dilakukan oleh orang yang sebenarnya mampu membayarnya merupakan perbuatan zalim. Kezaliman itu terjadi disebabkan karena seharusnya pemilik harta bisa memanfaatkan dan mengelola hartanya, berakibat menjadi tidak bisa, disebabkan karena harta itu belum diterimanya. Dengan demikian, penundaan di sini adalah salah satu bentuk yang bisa dipertimbangkan untuk menerapkan ta’zir karena unsur dhulm-nya (aniaya/kezaliman).

 

Demikian juga, tindakan rentenir yang memungut imbal manfaat dari harta yang dipinjamkan kepada orang lain, adalah sebuah tindakan aniaya. Untuk itu pula seharusnya ia menerima ta’zir.

 

Dari kedua contoh masalah ini ta’zir merupakan hal yang boleh diterapkan. Tapi sejauh mana ta’zir itu bisa dilaksanakan, adalah merupakan wilayah ijtihad dari pemangku kekuasaan. Walhasil, pemberlakuan ta’zir adalah syar'iy. Akan tetapi, bagaimana bentuk ta’zir itu dilaksanakan adalah wilayah cakupan syariah yang masih harus dicari dasar pertimbangannya. Wallàhu a'lam bish shawab. []

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar