Nabi Muhammad Saw menikahi Sayyidah Saudah binti Zam’ah al-Amiriyyah beberapa saat setelah istrinya yang pertama, Sayyidah Khadijah, wafat. Sebetulnya 'rencana' dan usulan perkawinan tersebut tidak datang dari Nabi Muhammad sendiri, melainkan dari Khaulah binti Hakim, sahabat Sayyidah Khadijah.
Ketika itu, Khaulah merasa prihatin dengan Nabi Muhammad yang hidup sendiri.
Tidak ada yang menemani dalam konteks kehidupan rumah tangga, setelah Sayyidah
Khadijah wafat. Khaulah kemudian menemui Nabi dan bercerita panjang lebar.
Intinya, dia menyarankan kepada Nabi Muhammad agar menikah lagi agar ada yang
merawat, menghibur, dan menjadi teman hidupnya. Khaulah kemudian menyebutkan
dua nama; Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar.
Singkat cerita, Nabi Muhammad mengutus seorang perempuan untuk melamar Saudah
binti Zam’ah. Keduanya menikah pada bulan Syawwal tahun ke-10 H. Sementara
Aisyah, Nabi meminangnya namun menangguhkannya. Dalam artian, Nabi Muhammad dan
Aisyah baru berumah tangga bersama tiga tahun setelahnya, mengingat pada saat
itu usia Aisyah kecil.
Dalam Bilik-bilik Cinta Muhammad (Nizar Abazhah, 2018) disebutkan bahwa dengan
menikahi Saudah Nabi Muhammad ingin meringankan penderitaannya, meningkatkan
derajatnya, dan menjaganya dari fitnah dari kaum musyrik Makkah. Memang, pada
saat itu status Saudah adalah janda dari Sakran bin Amr bin Abd Syam. Suaminya
meninggal dalam perantauan (saat hijrah) di Habasyah (Ethiopia). Dia kemudian
kembali ke Makkah setelah suaminya tiada, bersama lima atau enam orang anaknya
hasil perkawinannya dengan Sakran.
Banyak riwayat yang menyebutkan bahwa Saudah binti Zam’ah bukan lah seorang
yang cantik, mengingat usianya yang sudah tidak muda dan badannya yang tidak
langsing lagi. Namun demikian, Saudah memiliki sejumlah keistimewaan. Dia
adalah seorang yang dermawan, di samping rajin shalat dan puasa. Dalam satu
hadits, Nabi Muhammad bersabda kepada para istrinya bahwa yang paling segera
menyusulnya wafat adalah istrinya yang ‘bertangan panjang.’ Betul saja,
Saudah adalah istri Nabi yang paling awal wafatnya dibandingkan istrinya yang
lain. Ia wafat pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab dan dimakamkan di
pemakaman Baqi di Madinah.
Saudah juga seorang yang periang. Ia mampu mempu menghadirkan ketentraman,
keceriaan, dan kebahagiaan di dalam kehidupan Nabi Muhammad. Maka tidak heran
jika Saudah menjadi istri tunggal Nabi dalam waktu yang cukup lama –waktu
antara setelah kematian Khadijah dan sebelum pernikahan Rasulullah dengan
Aisyah atau sekitar tiga tahun.
Di samping itu, Saudah juga seorang yang memiliki rasa humor. Kerap kali,
joke-joke yang dilontarkan Saudah membuat Nabi Muhammad hingga tertawa. Dalam
Membaca Sirah Nabi Muhammad Saw (M Quraish Shihab, 2018) misalnya
disebutkan kalau suatu ketika Saudah berkata kepada Nabi: "Semalam ketika
aku shalat mengikutimu saat rukuk, engkau begitu lama sehingga aku memegang
hidungku takut sampai bercucuran darah." Nabi Muhammad tertawa
mendengar ucapan Saudah itu.
Problematika rumah tangga
Saudah binti Zam’ah menunjukkan sikap sedih atas meninggalnya sejumlah musyrik
Makkah dalam Perang Badar. Terlebih ketika dia menyaksikan para tawanan Perang
Badar diikat tangannya dan digelendeng. Ia bahkan tidak kuasa menahan diri
ketika melihat iparnya, Suhail bin Umar diborgol. Dia merasa iba dengan itu dan
menjadi lupa dengan kejahatan mereka terhadap umat Islam, termasuk kepada
dirinya dan keluarganya.
Entah karena tidak sadar atau tidak kuasa menahan diri, Saudah kemudian
memberikan semacam motivasi kepada tawanan kaum musyrik agar melawan kaum
Muslim. Katanya kepada Suhail: "Mau ke mana Abu Yazid? Apakah kalian akan
menyerah dan mengulurkan tangan begitu saja? Jangan, kalian harus mati
terhormat."
Setelah mengucapkan itu, Saudah menjadi sedih karena tahu kalau Nabi Muhammad
mendengarkan langsung ucapannya itu. Ia tahu semestinya tidak mengucapkan hal
itu, namun nyatanya ucapannya itu sudah terlanjur keluar. Saudah kemudian
meminta maaf kepada Nabi. Nabi pun menerima maafnya. Beliau lalu berkomentar
bahwa apa yang diucapkan Saudah itu tidak terpuji dan semestinya tidak
diucapkan. Nabi juga berjanji akan memperlakukan para tawanan Perang Badar itu
dengan baik.
Pada suatu hari, Nabi Muhammad hendak menceraikan Saudah bin Zam’ah karena satu
persoalan rumah tangga. Ibnu Hazm al-Andalusi dalam Intisari Sirah Nabawiyah
(2018) menyebut bahwa alasan Nabi melakukan hal itu adalah karena Saudah sudah
udzur dan beliau khawatir tidak bisa memenuhi hak-haknya. Namun, dia meminta
agar Nabi tidak menceraikannya. Ia berharap bisa merawat Nabi hingga akhir
hayatnya dan mendapatkan keridhaan beliau. Ia bahkan merelakan hari gilirannya
diberikan kepada Aisyah. Nabi pun mengabulkan permintaan Saudah tersebut, tidak
jadi menceraikannya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar