Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah menciptakan makhluk berpasang-pasangan, tak terkecuali manusia sebagai makhluk termulia ciptaan Allah. Dengan kata lain, berpasangan merupakan fitrah seluruh makhluk di muka bumi untuk memastikan lestarinya keturunan guna memerankan diri sebagai pengelola bumi (khalifah).
Bahkan dorongan berpasangan sudah lahir sejak kecil. Hal ini karena mendambakan
pasangan merupakan fitrah manusia sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit
dibendung setelah dewasa. Karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan
antara pria dan wanita dalam ikatan suci yang dinamakan pernikahan. Hal ini
untuk menghindari dorongan ke arah hubungan terlarang antara pria dan wanita.
Dorongan tersebut diarahkan dalam sebuah pertemuan sehingga terlaksananya
"perkawinan". Beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi
ketenteraman atau sakinah dalam istilah Al-Qur’an Surat Ar-Rum (30) ayat 21.
Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenangnya sesuatu
setelah bergejolak.
Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang
menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia
meronta. Sakinah --karena perkawinan-- adalah ketenangan yang dinamis dan
aktif, tidak seperti kematian binatang.
Al-Qur’an antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi
bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan
kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang.
"Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan
mereka kaya (berkecukupan) berkat Anugerah-Nya." (QS An-Nur [24]: 31)
Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan
memelihara kesuciannya. "Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan
diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan." (QS An-Nur [24]:
33)
Di sisi lain perlu juga dicatat, walaupun Al-Qur’an menegaskan bahwa
berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun
Rasulullah menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam
saat yang sama Al-Qur’an dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus
diindahkan. Lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya melakukan
praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan,
seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu tiri). (QS
Al-Nisa' [4]: 19)
Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun, masih ada yang
mengawini mereka atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat
Al-Nisa' [4]: 22 yang secara tegas menyatakan.
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu
tetapi apa yang telah lalu (dimaafkan oleh Allah).”
Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam, Aisyah radhiyaallahu anha, bahwa pada masa jahiliah, dikenal empat
macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan
pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah.
Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya apabila telah
suci dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia
telah hamil, maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna
mendapat keturunan yang baik.
Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli
seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh
anggota kelompok tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah
seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang
bersangkutan tidak boleh mengelak.
Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang
bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan "bercampur"
dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara
perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.
[]
Disunting dari M. Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar