KH Abdul Wahab Chasbullah adalah salah seorang pendiri dan penggerak Nahdlatul Ulama. Dalam catatan KH Saifuddin Zuhri, dialah di antara para kiai membawa NU dari surau ke surau pada masa penjajahan Belanda.
Sebagai seorang pendiri sebuah organisasi, Kiai Wahab memahami betul tata cara
berorganisasi dan menjalankannya secara detail yang dikemukakan dalam tulisan
pada majalah Swara Nahdlatoel Oelama.
Di antara yang dijelaskan Kiai Wahab adalah muktamar NU dan tata caranya yang terdokumentasi pada majalah Swara Nahdlatoel Oelama Nomor 2 tahun ke-4, tanpa tanggal dan tanpa tahun.
Menurut dia, secara bahasa, muktamar itu sama dengan syura dan kongres. “Tiga
ucapan ini maksud jadi satu (berkumpul orang banyak untuk merembuk apa pun),”
tulisnya.
Adapun asal dalilnya= asasnya umat Islam teristimewa ulamanya lantas memerlukan
mengadakan kongres yaitu firman Allah dalam Al-Qur’an wa syawirhum fil amri.
Lebih jelas lagi di dalam firman Allah pada Surat Syura: waalladziina
istajaabuu lirabbihim wa-aqaamuu alshshalaata wa-amruhum syuuraa baynahum
wamimmaa razaqnaahum yunfiquuna.
Dari firman Allah tersebut, wamimmaa razaqnaahum yunfiquuna, menurut Kiai Wahab
nyata sekali bahwa biaya muktamar itu mesti dari kedermawanan umat Islam.
Memang, mengangkat agama itu mesti dengan tenaga dan harta benda.
Hal ini sesuai dengan firman Allah wa jaahadu bi amwalikum wa anfusikum dan
firman Allah alladzina yu’minuna bilghaybi wa yuqimunash shalata wa mimma
razaqnaahum yunfiqun.
Sementara orang-orang atau penyelenggara muktamar harus dilihat dalam
kemampuannya dalam menguasai ilmu fiqih. Kiai Wahab menegaskan:
Barangsiapa yang punya menjadi vorester akan dia dengan sebab memandang atas
dia punya kepandaian dalam ilmu fiqih, maka baiklah bagi dia dan pengikutnya.
Dan barangsiapa kaumnya menjadikan vorester akan dia dengan sebab memandang
barang yang lain kefaqihannya, maka menjadi rusak bagi dia dan kaumnya.”
Maka jika dalam sebuah muktamar, ada lebih dari satu orang yang menguasai ilmu
fiqih, maka peserta muktamar hendaknya memilih para ahli fiqih itu berdasarkan
suara terbanyak.
Menurut Kiai Wahab ketentuan tersebut berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW
tentang sawadil a’dham. Akan tetapi jika suara terbanyak tidak jatuh pada ahli
fikih, maka muktamar itu tidak dimenangkan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
wa lā tattabi' ahwā`allażīna lā ya'lamụn dan firman Allah wa in tuthi aktsara
man fil ardhi yudhilluuka ‘an sabilillahi.
Sementara untuk mengetahui suara terbanyak dalam pemilihan sebuah muktamar,
menurut Kiai Wahab, ada tiga cara. Pertama, dengan mengangkat tangan. Kedua,
bersuara dengan menyebut nama yang terpilih. Ketiga, setem belit atau pemilihan
secara tertutup.
Menurut Kiai Wahab, pemilihan dengan cara yang nomor 3 merupakan terbaik
dibanding dengan dua sebelumnya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar