Hidup berumah tangga tidak akan lepas dari masalah. Baik masalah ekonomi, kesehatan, percintaan, anak dan masih banyak lagi. Hubungan yang baik bukan berarti hubungan yang tanpa masalah. Fokus suami istri seharusnya bukan pada masalah yang terjadi, tapi bagaimana menghadapi dan menyelesaikannya. Masalah sepele bisa jadi akan menyebabkan rusaknya pernikahan jika tidak dikelola dengan baik, sebagaimana masalah apakah istri boros sebabkan perceraian.
Ada yang menarik dari uraian Sayyid Muhammad ibn Alawi dalam kitab Adâbul Islâm
fî Nidhâmil Usrah. Di sana beliau memaparkan berbagai masalah yang mungkin
timbul dalam kehidupan rumah tangga yang berpotensi menjadi penyebab
perceraian, di antaranya kebiasaan istri boros sebabkan perceraian. Istri boros
membelanjakan uang karena ingin tampak sebagai wanita yang berada. Kalau
menikah itu artinya menyatukan dua insan, apakah berdosa jika istri kemudian
memakai harta suami untuk keperluannya? Bukankah sudah menjadi kewajiban suami
untuk memberi nafkah istrinya? Bukankah harta suami sama dengan harta istrinya?
Salah satu keutamaan yang diberikan Allah pada kaum lelaki adalah kewajibannya memberi nafkah kepada keluarganya.
اَلرِّجَالُ
قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ
وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ
Artinya: “Para suami itu pelindung bagi para istri, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (para suami) atas sebagian yang lain (para istri),
dan karena mereka telah memberikan nafkah dari hartanya.” (QS an-Nisa: 34)
Lantas, hak nafkah apa saja yang diterima istri? Dalam Al-Qur’an dijelaskan:
اَسْكِنُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِّنْ وُّجْدِكُمْ وَلَا تُضَاۤرُّوْهُنَّ لِتُضَيِّقُوْا عَلَيْهِنَّۗ َ
Artinya: “Tempatkanlah para istri di mana kalian bertempat tinggal
menurut kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka.” (QS ath-Thalaq: 6)
Sementara itu dalam riwayat sahabat Muawiyah bin Hidah al-Qusyairi ra diceritakan:
قُلْتُ
: يَا رَسُول الله ، مَا حق زَوجَةِ أَحَدِنَا عَلَيهِ؟ قَالَ: ((أَنْ تُطْعِمَهَا
إِذَا طعِمْتَ، وَتَكْسُوهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ، وَلاَ تَضْرِبِ الوَجْهَ، وَلا
تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ)). (رواه أَبُو داود. حديثٌ حسنٌ)
Artinya: “Saya (Mu’awiyah bin Hidah al-Qusyairi ra) mengatakan: “Wahai
Rasulullah, apa hak istri salah seorang dari kami padanya?” Beliau bersabda:
“Kamu memberinya makan ketika kamu makan, memberinya pakaian ketika kamu
berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak mencela wajahnya, dan tidak
mengasingkannya kecuali di rumah.” (HR Abu Dawud. Hadits hasan).
Dari kedua keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa hak istri meliputi
kebutuhan primer sandang, pangan dan papan, dan kebutuhan psikologi yaitu
diperlakukan secara baik dan diberi kasih sayang. Selain itu beberapa ulama ada
yang menambahkan nafkah istri dengan kebutuhan aksesoris, perhiasan, alat-alat
rumah tangga, sampai mencarikan pembantu bagi istri. Semuanya disesuaikan
dengan kemampuan suami dan kebiasaan atau tradisi yang berlaku di daerah
tersebut.
Lalu, bagaimana jika istri berlebihan dalam membelanjakan nafkah dari suami? Bagaimana bila istri boros sebabkan perceraian?
Berkaitan hal Imam Al –Ghazali mengatakan:
ومن
الواجبا ت عليها ان لا تفرط في ماله بل تحفظه عليه
Artinya, “Di antara kewajiban istri adalah tidak menghamburkan harta suami,
akan tetapi wajib menjaganya.”(Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, [Dârul Hadîts], juz
II, halaman 67).
Karenanya, istri tidak boleh membelanjakan uang suami kecuali mendapat izin
darinya. Apapun izin dalam hal ini ada dua macam, yaitu (1) izin yang jelas
(sharîh); dan (2) izin yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberi sepotong
roti kepada peminta-minta dan semisalnya, di mana diketahui sesuai kebiasaannya
bahwa suami merelakan pembelanjaan tersebut. Dengan begitu, telah diperoleh
izin walaupun suamai tidak terang-terang mengucapkannya. (An-Nawawi, Syarhu
Muslim, juz III, halaman 473).
Dengan begitu, istri yang boros dan suka menghamburkan uang suami, bisa dinilai dari dua sisi, yaitu (1) tidak berdosa jika suami mengizinkan dan sanggup memenuhi keinginan istrinya; dan (2) berdosa jika pemborosan itu tidak seizin suami. Sebab kewajiban istri adalah menaati suaminya, menerima nafkah dengan lapang dada dan mengelolanya secara baik. Apalagi kalau suami tidak mampu memenuhinya, dikhawatirkan suami akan mencari harta dengan cara yang tidak halal hanya untuk menuruti kemauan istri. Dalam kondisi yang kedua ini, bisa jadi menceraikan istri hukumnya menjadi sunnah, karena mempertahankan pernikahan akan lebih banyak madharat daripada maslahahnya. Di sinilah bisa jadi istri boros sebabkan perceraian. Wallâhu a’lam. []
Ning Ummy Atika Anwar, Pengajar di Pondok Pesantren Assa'idiyyah Kota Kediri dan Narasumber Fiqih Keluarga di Aswaja Muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar