Pertanyaan:
Assalamu'alaikum. wr wb. Redaksi NU Online, maaf saya ingin bertanya, apakah passive income diperbolehkan dalam fiqih Islam? Saya sudah membaca artikelnya, akan tetapi masih ada yang kurang saya mengerti.
Sebagai contoh, saya ingin mengikuti bisnis, katakanlah bisnis ABC. Nah, untuk
mengikuti bisnis ABC ini saya harus membeli produk mereka untuk menjadi member
selamanya.
Nah, agar bisa mendapatkan bonus dan sebagainya, saya harus mengajak teman yang ingin ikut berbisnis dengan cara yang sama pada saat awal saya bergabung dengan bisnis ini. Otomatis saya akan mendapatkan passive income dari teman saya. Katakanlah teman A. Jadi seperti membentuk tim untuk membangun bisnis ini.
(Nadya Oktaviani)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam wr. wb. Penanya budiman, segala puji bagi Allah swt. Shalawat
serta salam kita haturkan kepada Nabi Muhammad saw.
Dalam fiqih Islam, syarat utama keabsahan suatu pendapatan, income dan bonus,
adalah bila diperoleh dari hasil usaha (kulfah) dan produksi (intâj). Bila
tidak ada unit usaha dan produksi, maka tidak ada income dan bonus. Bekerja dan
upah atau income merupakan dua hal yang saling berkorelasi satu sama
lain.
فإذا قال له رب الثوب: خط هذا لي، فقد كلفه بعمل له ما يقابله من
الأجر، فيلزمه. لإنه يأمره بالعمل والعمل لا يلزم بغير أجرة
Artinya, “Apabila pemilik baju mengatakan kepada penjahit, “Jahitkan baju ini”,
maka itu menandakan ia telah memberi tugas pekerjaan. Karenanya, penjahit
berhak mendapatkan upah atau income dari pekerjaannya, karena ikatan
langsung dengan perintah melakukan pekerjaan. Bekerja merupakan hal yang tidak
lazim bila tanpa upah.” (An-Nawawi, al-Majmû’ Syarhul Muhadzdzab, juz XI,
halaman 115).
Tentang Income
Ada dua istilah pendapatan yang sah dalam Islam, yaitu: (1) pendapatan yang
diperoleh karena melakukan akad jual beli dan jasa; dan (2) pendapatan yang
diperoleh dari hasil akad niaga dan investasi.
Pendapatan dari hasil jual beli, niaga dan investasi, disebut dengan istilah
laba (ribhun). Syarat memperoleh laba adalah anda harus melakukan kegiatan jual
beli barang secara langsung atau melalui wakil.
لِأَنَّ الرِّبْحَ هُوَ مَقْصُودُ الشَّرْكَةِ فَتَفْسُدُ
بِجَهالَتِهِ، كَالْعِوَضِ وَالْمُعَوَّضِ فِي الْبَيْعِ والْإِجارَةِ
Artinya, “Karena sesungguhnya laba adalah yang dikehendaki dari akad syirkah
(kerjasama/tim). Karenanya, akad syirkah menjadi rusak tanpa mengetahui bagi
hasil, Layaknya, laba ibarat harga bagi barang yang dibeli atau disewa.”
(Al-Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz XXVI, halaman 45).
Dalam investasi, syarat berhak untuk mendapatkan atau bagi hasil (deviden),
adalah melakukan tanam modal pada unit produksi tertentu dengan modal yang
diserahkan berupa harta tunai (uang). Kemudian harta itu dikelola secara
bersama-sama, dan setelah beberapa waktu, pihak yang bekerjasama berhak
mendapatkan bagi hasil berupa sisa hasil usaha atau deviden yang dibagi
menurut nisbah penyertaan modalnya.
تَمَّ الْعَقْدُ عَلَى أَنْ يَكُونَ لِلشَّرِيكِ حِصَّةٌ فِي
الرِّبْحِ
“Akad (syirkah) dinyatakan sempurna apabila pihak mitra mendapatkan nisbah bagi hasil akad kemitraan.” (Al-Mausû’ah, juz XXVI, halaman 45).
Pendapatan dari hasil menjual jasa, disebut dengan ujrah atau upah. Syarat
mendapatkan upah harus mengerjakan suatu pekerjaan berupa jasa atau layanan
yang disyaratkan oleh pihak yang menyuruh.
الأجر بقدر ما استوفى من المنفعة
Artinya, “Upah menyesuaikan besarannya dengan jasa yang sudah ditunaikan.”
(An-Nawawi, al-Majmû’, juz XVII, halaman 77).
Dari kedua kelompok unit kegiatan produksi di atas, satu hal yang perlu
digarisbawahi adalah, setiap income yang sah diperoleh oleh seorang individu
harus melewati kegiatan usaha dan produksi. Tanpa itu, maka pendapatan itu
tidak bisa disebut sebagai laba atau bagi hasil investasi.
Tentang Bonus
Bonus, merupakan income yang diperoleh seseorang karena telah menjalankan
sebuah misi yang disayembarakan oleh pihak penyelenggara. Akad untuk
mendapatkan bonus disebut dengan akad sayembara atau penyelesaian misi
(ju’âlah).
Misalnya sebuah perusahaan mengumumkan bahwa setiap karyawan yang berhasil
menjual empat kontainer produk, maka dia berhak didaftarkan umrah. Umrah ini
merupakan bonus. Dalam fiqih Islam, bonus ini disebut juga sebagai ju’lu, buah
dari akad ju’âlah. Bonus tidak bisa diterima oleh seseorang tanpa penyelesaian
misi atau pekerjaan.
ولا يستحق العامل الجعل إلا بالفراغ من العمل
Artinya, “Peserta sayembara tidak berhak atas bonus selama belum menyelesaikan
misi yang disyaratkan.” (An-Nawawi, al-Majmû’, juz XV, halaman 114).
Syarat sah bonus adalah bonus diberikan oleh pihak yang menyuruh (jâ’il).
إِذَا أَتَى الْعَامِلُ بِالْمُتَعَاقَدِ عَلَيْهِ فَلَمْ يَجِدِ الْجَاعِلَ وَلَا مَن يَنُوبُ عَنْهُ فِي تَسَلُّمِهِ سَلَّمَهُ لِلْحاكِمِ، وَاسْتَحَقَّ الْجُعْلَ ويَدْفَعُهُ الْحَاكِمُ لَهُ مِنْ مَالِ الْجَاعِلِ الْمُلْتَزِمِ بِهِ
Artinya, “Apabila ‘âmil atau pihak yang disuruh telah menunaikan misi yang
disayembarakan, namun ia tidak menemukan pihak penyelenggara (jâ’il) atau orang
yang mewakilinya guna menyerahkan hasil penyelesaian misi tersebut, maka ‘âmil
bisa menyerahkan kepada hakim dan ia berhak mendapatkan bonus. Selanjutnya
bonus diberikan oleh hakim kepadanya dan diambil dari harta penyelenggara yang
terikat dengan penyelesaian misi tersebut.” (Al-Mausû’ah, juz XV, halaman 226).
Apabila bonus yang ditetapkan harus berasal dari pihak yang disuruh
(member/anak buah), maka hakikatnya bonus itu bukanlah bonus, melainkan berubah
statusnya dalam tiga kemungkinan: (1) pungutan liar (mauksun), (2) suap
(risywah), (3) ada kemungkinan merupakan hadiah, dengan catatan bila tidak ada
hubungannya dengan pekerjaan. misalnya karena alasan lain, yaitu karena
hubungan kekeluargaan.
Pungutan liar (maksun) dan suap (risywah), dua-duanya haram, karena memakan
harta orang lain secara batil. Adapun untuk hadiah, maka hukumnya adalah
boleh.
Tentang Passive Income
Dari konsepsi di atas, lantas di mana kedudukan passive income sebagaimana
yang saudari penanya tanyakan?
Mencermati kasus yang ditanyakan, maka asal passive income diperoleh dari:
1. Hasil usaha menjaring anggota yang selanjutnya disebut tim.
2. Bukan berasal dari aktifitas jual beli dan jasa secara langsung, melainkan buah dari pencarian anggota.
3. Barang yang dijual umumnya hanya laku di kalangan anggota saja.
4. “Penyuruh” dibayar oleh “yang disuruh”.
Dari ketiga hal di atas, rusaknya akad secara berurutan dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Sebuah akad kerjasama yang dibenarkan oleh syara’ adalah kerjasama permodalan (syirkah ‘inan). Sementara tim yang anda praktekkan adalah tidak masuk kategori kerjasama permodalan. Secara syirkah, akad pembentukan tim itu sudah tidak sah disebabkan tidak memenuhi syarat sebagai syirkah.
2. Bonus yang tidak diperoleh dari jual beli atau bagi hasil pengelolaan modal, melainkan dari hasil penjaringan anggota saja, maka bonus itu hakikatnya bukan bonus. Sebab, mencari anggota itu bukanlah pekerjaan. Pekerjaan sebenarnya dan seharusnya terjadi, adalah pekerjaan jual beli.
3. Adanya produk namun tidak disertai adanya aktifitas jual beli, melainkan hanya fokus pada pencarian anggota saja, menandakan bahwa produk tersebut hanya merupakan sarana pengelabuan saja (ighra’). Apalagi ada ketentuan wajibnya member untuk membeli produk.
4. Normalnya suatu pekerjaan disebut pekerjaan dan berhak mendapatkan upah dan bonus, adalah pihak yang disuruh dibayar atau diberi bonus oleh pihak penyuruh. Jika terjadi sebaliknya, maka itu tandanya telah terjadi praktik memakan harta orang lain secara batil, sehingga hukumnya haram.
Kesimpulannya, pendapatan dan bonus atau passive income yang sah dalam
fiqih Islam adalah bila diperoleh dari aktifitas usaha dan kerja
produksi.
Pendapatan berupa upah dan bonus meniscayakan datangnya dari pihak penyuruh dan
bukan dari pihak yang disuruh.
Pendapatan berupa bagi hasil, meniscayakan adanya akad kerjasama permodalan
(syirkah), sehingga untung rugi ditanggung bersama dan kerja bersama.
Bila yang bekerja adalah anggota tim, ditambah lagi beban dia harus memberikan upah atau bonus kepada pemimpin tim, baik dikemas dalam bentuk passive income atau bonus, maka pada dasarnya passive income itu adalah tindakan memakan harta orang lain secara batil, sehingga hukumnya haram. Wallâhu a’lam bishshawâb. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center
PWNU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar