Terdapat tiga istilah dalam masalîkul ‘illah yang mirip, yaitu Takhrijul Manath, Tanqihul Manath, dan Tahqiqul Manath. Meskpiun, sama-sama penelaahan untuk menemukan manath atau illat, ketiganya mempunyai pengertian yang jauh berbeda. Berikut perbedaan ketiganya berdasar penjelasan Imam Tajuddin Al-Subki dalam Jam’ul Jawami’ dan Jalaluddin Al-Mahalli dalam syarahnya (juz II, hal. 273 dan 292-293).
وهو أي تخريجُ المناط تَعيينُ العلة بإبداءِ مُناسبةٍ بين المُعيَّن والحُكْمِ مَع الاقتِران بَينهما والسلامةِ للمُعيَّن عَن القَوادِحِ في العِلِّيَّة
“Takhrijul Manath adalah penentuan illat sebuah hukum dengan menunjukkan bentuk kesesuaian (munâsabah) antara keduanya, sementara keduanya tersebut bersamaan di dalam teks dalil dan tanpa ada hal-hal yang membatalkan illat (qawâdiḫ).”
Takhrijul Manath dicontohkan dengan menelaah hadits “semua yang memabukkan haram.” (HR. Muslim). Dalam redaksi ini, terdapat pernyataan hukum haram dan kriteria sesuatu yang memabukkan. Apakah memabukkan adalah illat hukum? Secara literal, redaksi hadits tidak menunjukkannya baik secara sharih maupun îmâ’. Sharih artinya keberadaan illat ditunjukkan sebuah kata yang secara bahasa menunjukkan arti alasan. Sementara istilah îmâ’ mempunyai pengertian adanya pernyataan sebuah hukum dan sebuah kriteria yang disebutkan dalam sebuah dalil, yang jika keduanya tidak dipahami sebagai hubungan hukum dan illat maka sangat jauh. Dari hadits di atas, illat ditentukan oleh Imam Syafi’i dengan menunjukkan adanya kesesuaian (munâsabah). Bukankah memabukkan dapat merusak akal manusia? Dan di antara tujuan syariat adalah menjaga akal manusia? Kesimpulannya, Takhriijul Manaath adalah penentuan illat dengan menggunakan teori munâsabah.
Sedangkan Tanqihul Manath adalah:
أن يَدُلَّ نصٌّ ظاهرٌ على التعليل بوَصْفٍ فيُحْذَفُ خُصوصُه عن الاعتبار بالاجتهاد ويُناطُ الحكمُ بالأعمِّ أو تكونُ أوصافٌ في محلِّ الحكمِ فيُحذَفُ بعضُها عن الاعتبار بالاجتهاد ويُناطُ الحكمُ بالباقي
“Ketika terdapat dalil secara dhahir menujukkan illat sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan aspek khusus dari sifat tersebut dan menjadikan aspek umumnya menjadi illat hukum, atau ketika terdapat beberapa sifat yang dimungkinkan menjadi illat sebuah hukum, imam mujtahid melakukan ijtihad dengan mengabaikan sebagian sifat dan menjadikan yang lain menjadi illat.”
Misalnya hadits yang menyebutkan ada “seorang a’rabi (orang Arab pedalaman) menghadap Rasulullah, mengaku telah menjimak istriya di siang hari bulan Ramadhan, lalu Rasulullah memerintahkannya untuk memerdekakan budak....” Di dalam hadits ini, Rasulullah menetapkan hukum wajib membayar kafarat kepada a’rabi tersebut. Secara dhahir teks, ada beberapa sifat atau kriteria yang dimungkinkan menjadi illat atas hukum wajib kafarat; (1) tindakan jimak, (2) pelaku jimak yang a’rabi, (3) perempuan yang dijimak yang berstatus istri dan (4) tindakan jimak dilakukan di kemaluan depan atau qubul (pengertian diambil dari kata wathi yang terdapat dalam hadits). Imam Syafi’i dengan ijtihadnya hanya menjadikan “jimak” sebagai illat dan mengabaikan kriteria lain. Artinya, tindakan jimak saat keadaan puasa Ramadhan saja menyebabkan kafarat, baik dilakukan seorang a’rabi atau tidak, dilakukan di qubul atau dubur (selain hukum haram), yang dijimak istri atau tidak. Sedangkan Imam Malik dan Imam Abu Hanifah memilah “jimak (wiqâ’) dengan mengabaikan aspek khususnya dan mengambil aspek umumnya sebagai illat yaitu tindakan sengaja membatalkan puasa. Artinya, setiap tindakan sengaja membatalkan puasa baik dengan jimak atau yang lain menyebabkan wajib kafarat. Penentuan illat dengan dua pendekatan di atas termasuk Tanqihul Manath.
Sementara itu, Tahqiqul Manath adalah penelaahan untuk menemukan illat hukum (yang sudah ditemukan imam mujtahid) di dalam far’u (maqîs) yaitu masalah (wâqi’ah) yang dibahas:
تَحقيقُ المَناطِ فإثباتُ العِلَّة في آحادِ صُوَرِها
Imam Tajuddin Al-Subki mencontohkan dengan masalah nabbâsy, yaitu orang yang mengambil kafan jenazah di dalam kubur. Fenomena nabbâsy adalah baru; belum ada pada zaman Rasulullah. Untuk menentukan hukum nabbâsy, apakah sama dengan pencuri maka perlu memastikan apakah apa yang dilakukannya terdapat unsur pencurian (sariqah) yang menjadi illat hukuman potong tangan. Pencurian sendiri mempunyai pengertian mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Maka penelitian untuk mencari illat ini pada nabbâsy adalah penelitian Tahqiqul Manath.
Dapat disimpulkan, Takhrijul Manath dan Tanqihul Manath adalah ranah khusus mujtahid, karena merupakan pencarian dan penentuan illat dengan menelaah teks dalil. Keduanya mempunyai objek dalil. Sedangkan Tahqiqul Manath mempunyai objek masalah yang akan dihukumi. Tahqiqul Manath termasuk bagian tahswwur atas sebuah masalah. Pertanyaan “apakah sebuah masalah terdapat illat hukum yang sudah ditentukan mujtahid” hanya bisa dijawab dengan Tahqiqul Manath melalui tashawwur yang tepat dan menyeluruh atas masalah yang dibahas. Ini adalah pintu masuk fuqaha dalam memutuskan hukum atau memberi fatwa termasuk mereka yang masuk dalam klasifikasi para penukil mazhab (ḫuffadhul madzhab wa naqalatuhu).
Seorang mufti yang mengikuti mazhab, dalam menetapkan hukum (tanzîlul aḫkâm) harus memastikan bahwa illat yang ditetapkan dalam mazhab ada di dalam masalah yang dibahas. (Lihat pula “Tiga Tingkatan Fiqih menurut Imam Taqiyyudin As-Subki”) Meskipun mengikuti pendapat mazhab yang sama, dengan hukum dan illat yang sama, jika terdapat perbedaan hasil Tahqiqul Manath maka pastinya akan menyebabkan perbedaan hukum yang diputuskan atau difatwakan. (Lihat pula “Perbedaan Fatwa meskipun dalam Satu Mazhab”). Wallahu a’lam. []
Ustadz Muhammad Faeshol Muzammil, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, Muhadlir Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar