Qunut dalam mazhab Syafi’i merupakan salah satu sunnah ab’adl dalam shalat Subuh. Jika seseorang meninggalkannya, baik secara sengaja ataupun karena lupa, sunnah baginya untuk melakukan sujud sahwi di akhir shalat.
Sebagai informasi, qunut secara bahasa berarti pujian. Secara istilah syara’,
qunut diartikan sebagai sebuah dzikir khusus yang mengandung pujian dan doa.
(lihat: Syekh Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim, Hasyiyah
Asy-Syarqawi, Beirut: Dar El-Fikr, h. 190).
Imam Taqiyuddin al-Dimasyqi menyebutkan bahwa kesunnahan qunut ini didasarkan
pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Anas bin Malik ra.,
berkata, “Rasulullah saw. Selalu membaca qunut pada shalat Subuh hingga
wafatnya.” (lihat Kifayatul Akhyar Juz 1, Beirut: Dar El-Fikr, h. 93).
Qunut dilakukan saat berdiri i’tidal, sebagian riwayat menyebut sebelum ruku’.
Namun, cara pertama lebih banyak riwayat yang menyatakannya, lebih terjaga, dan
lebih utama.
Bahkan, dalam kitab Al-Raudlah disebutkan bahwa cara kedua tersebut tidak cukup sehingga orang yang melakukannya sunnah sujud sahwi. Seorang yang berqunut disunnahkan untuk mengangkat tangan, tanpa mengusapkannya ke dada ataupun wajahnya setelah selesai melakukannya.
Lepas dari perbedaan pandangan itu, suatu ketika, Imam Syafi’i pernah tidak
melakukan qunut saat melaksanakan shalat Subuh di Masjid Agung Abu Hanifah yang
terletak di dekat makam Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit atau yang dikenal
Imam Hanafi. Ia memang sengaja melakukan hal tersebut, tidak dalam keadaan
lupa.
Thaha Jabir Fayyadl al-Alwani menceritakan dalam kitabnya yang berjudul Adabul
Ikhtilaf fil Islam (Pimpinan Mahkamah Syar’iyah dan Urusan Agama, Qatar, h.
119), bahwa Imam Syafi’i ditanya perihal alasannya tidak berqunut. Ulama asal
Palestina yang wafat di Mesir itu menjawabnya berikut.
اُخَالِفُهُ
وَ اَنَا فِيْ حُضْرَتِهِ
“(Bagaimana) aku mempertentangkannya, sementara aku berada di hadapannya.”
Ia pun kembali menyampaikan alasannya kenapa tidak berqunut.
رُبَمَا
انْحَدَرْنَا اِلَى مَذْهَبِ اَهْلِ الْعِرَاقِ
“Terkadang, kami mengikuti madzhabnya penduduk Irak.”
Dalam riwayat lain, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari menceritakan dalam kitabnya yang berjudul At-Tibyan fin Nahyi ‘an Muqathi’atil Arham, wal Aqarib, wal Ikhwan, bahwa Imam Syafi’i menziarahi Imam Hanafi selama tujuh hari dengan membaca Al-Qur’an.
Setiap kali mengkhatamkannya, ia menghadiahkan pahalanya untuk Imam Hanafi.
Saat melaksanakan shalat Subuh di Masjid Imam Hanafi, ulama bernama lengkap Abu
Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’i itu tidak membaca qunut karena menjaga
adab terhadap sosok Imam Hanafi.
لِاَنَّ
الْاِمَامَ اَبَا حَنِيْفَةَ لَا يَقُوْلُ بنَدْبِ الْقُنُوْتِ فِيْ صَلَاةِ
الصُّبْحِ فَتَرَكْتُهُ تَأَدُّبًا مَعَهُ
“Karena Imam Hanafi tidak menyebut qunut sebagai suatu sunnah pada shalat
Subuh, maka saya meninggalkannya karena menjaga adab kepadanya.”
Dari kisah ini, kita dapat mengambil beberapa pelajaran. Pertama, kita melihat
bahwa betapapun berbeda pandangan dengan Imam Hanafi, Imam Syafi’i tetap
menjunjung tinggi adabnya. Ya, sikapnya demikian itu merupakan bentuk wujud
penghormatan atau penghargaannya terhadap pandangan Imam Hanafi yang notabane
bukan saja ulama biasa, tetapi juga guru dari gurunya, Imam Malik.
Kita tentu pernah mendengar sebuah adagium, adab lebih tinggi daripada ilmu. Di sinilah letaknya, Imam Syafi’i menerapkan hal tersebut. Ia tetap menunjukkan posisi akhlaknya di atas dari ilmu yang dimilikinya. Dalam kondisi tersebut, ulama yang berusia 54 tahun itu meletakkan ilmunya di bawah adabnya.
Oleh karena itu, kita sudah sepatutnya mengikuti akhlak Imam Syafi’i, yakni menghormati pandangan orang lain yang berbeda dengan kita, tidak malah menghakimi sendiri, membenci, mencaci, atau memakinya.
Perbedaan merupakan rahmat yang patut disyukuri, tidak perlu dipertentangkan dan merasa pandangannya paling benar, sedangkan yang lain salah. Ulama sekaliber Imam Syafi’i saja bersikap demikian, bagaimana dengan kita? Semoga dapat meneladaninya.
Kedua, perbedaan tidak perlu dihadap-hadapkan dengan menganggap satu pandangan
benar, sedangkan yang lainnya salah. Kita boleh memilih pandangan siapa saja,
baik Imam Syafi’i, Imam Hanafi, ataupun ulama lainnya. Semuanya memiliki
pijakan dalil dan manhaj berpikir sendiri yang dapat dibenarkan secara hukum.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) KH
Abdul Moqsith Ghazali pernah menyampaikan, dalam pengajian kitab Syarh
al-Waraqat, bahwa perbedaan di antara para ulama disebabkan dua hal, yakni
pemilihan dalil dan pemahaman terhadap dalil. Kita sebagai awam tinggal
mengikuti pandangan mereka. []
Muhammad Syakir NF, alumnus Pondok Buntet Pesantren Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar