Dalam dunia ekonomi, yang dinamakan sebagai produk adalah mencakup tiga aspek, yaitu: (1) produk tahan lama, (2) produk tidak tahan lama, dan (3) jasa. Jadi, jasa secara eksplisit disebut sebagai produk atau komoditas.
Jika sebuah produk adalah identik dengan barang, maka jasa merupakan produk yang terdiri atas barang yang tidak tampak oleh mata, tapi dapat dirasakan kehadirannya. Dengan demikian, dalam terminologi fiqih, jasa masuk kategori harta manfaat.
Menyewa jasa, hakikatnya sama dengan membeli harta yang berupa "manfaat". Oleh karenanya, dalam sewa jasa, juga berlaku khiyar (opsi atau hak untuk melanjutkan atau membatalkan transaksi) sebagaimana hal itu berlaku atas jual beli. Khiyar yang dimaksud di sini adalah mencakup pilihan untuk melakukan pembatalan atau meneruskan akad oleh dua pihak yang bertransaksi dalam bidang jasa.
Salah satu masalah yang sering terjadi terkait dengan jasa adalah pihak konsumen merasa bahwa jasa yang diterimanya tidak sesuai dengan yang ditawarkan di awal. Jika memang hal ini terjadi dan dengan sengaja dilakukan oleh pihak produsen atau penyedia jasa, maka hal itu bisa disamakan dengan istilah jual beli gharar. Misalnya, jasa Tol yang menawarkan kelancaran perjalanan. Seiring banyaknya gangguan di dalamnya yang justru mengganggu perjalanan penggunanya, maka jasa yang ditawarkan ini seolah sama dengan penipuan yang dilarang syariat. Tingginya biaya tol namun menjamin kelancaran perjalanan, adalah termasuk sesuai dengan prinsip jual beli produk yang baik, karena dalam ekonomi berlaku hukum "ada kualitas, ada harga".
Terkait dengan ketidaksesuaian antara produk jasa yang ditawarkan dengan servis yang diterima konsumen, maka boleh bagi konsumen untuk melakukan klaim. Klaim ini seolah sama dengan klaim atas cacatnya barang yang dibeli. Syeikh Wahbah al-Zuhaily menjelaskan beberapa klausul kebolehan melakukan klaim cacat itu, antara lain sebagai berikut:
يشترط لثبوت الخيار شرائط هي: (١) ثبوت العيب عند البيع أو بعده قبل التسليم، فلو حدث بعدئذ لا يثبت الخيار (٢) ثبوت العيب عند المشتري بعد قبضه المبيع، ولا يكتفى بالثبوت عند البائع لثبوت حق الرد في جميع العيوب عند عامة المشايخ. (٣) جهل المشتري بوجود العيب عند العقد والقبض، فإن كان عالما به عند أحدهما فلا خيار له، لأنه يكون راضيا به دلالة. (٤) عدم اشتراط البراءة عن العيب في البيع، فلو شرط فلا خيار للمشتري، لأنه إذا أبرأه فقد أسقط حق نفسه. (٥) أن تكون السلامة من العيب غالبة في مثل المبيع المعيب. (٦) ألا يزول العيب قبل الفسخ. (٧) ألا يكون العيب طفيفا مما يمكن إزالته دون مشقة، كالنجاسة في الثوب الذي لا يضره الغسل. (٨) عدم اشتراط البراءة من العيب في البيع، على التفصيل الآتي في آخر البحث
Artinya: "Ada beberapa syarat yang berlaku bagi tetapnya opsi pembatalan atau penerusan akad, yaitu: (1) Ketika cacat barang sudah diketahui secara pasti saat berlangsungnya transaksi dan barang belum diserahkan ke pembeli. Bila barang sudah diserahkan, maka tidak berlaku lagi khiyar (2) Ketika cacat barang diketahui oleh pembeli saat menerima barang. Tidak bisa dianggap cukup oleh penjual (manakala ditemui cacat oleh pembeli atas barang yang dibelinya) mengingat hak mengembalikan barang belian akibat cacat adalah berlaku tetap bagi pembeli, menurut mayoritas masyayikh. (3) Ketidaktahuan pembeli terhadap cacat barang saat transaksi dan saat menerima. Bila pembeli mengaku tahu cacat tersebut di saat transaksi atau di saat menerima, maka tidak berlaku lagi khiyar baginya, karena dianggap sebagai yang ridla terhadap cacat tersebut. (4) Tidak ada syarat bebas dari cacat saat membeli oleh pembeli. Bila disyaratkan, maka tidak berlaku khiyar bagi pembeli karena pembebasan itu sama artinya dengan menggugurkan haknya sendiri untuk mengajukan klaim. (5) Jika kondisi baiknya barang yang dibeli itu bersifat maksimal, dan kekurangannya hanya sedikit. (6) Jika cacat barang tidak hilang sebelum dibatalkannya transaksi. (7) Jika cacat barang tidak bersifat ringan yang mudah dihilangkan tanpa masyaqqah yang berarti. Misalnya karena terkena najis sehingga tidak membahayakan pada ain barangnya dan (8) Ketiadaan disyaratkan terbebas dari aib pada saat transaksi, sebagaimana rinciannya akan disampaikan nanti pada akhir pembahasan." (al-Zuhaily, al-Fiqhu al-Islamy wa Adillatuhu, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.: 4/581).
Mengikut pada syarat yang disampaikan oleh Syeikh Wahbah al-Zuhaily di atas, maka klaim ketidaklayakan jasa sehingga dibenarkan untuk melakukan khiyar, garis besarnya adalah bergantung pada klausul jasa yang dijanjikan dengan kenyataan yang ada. Bila dijumpai ridha dari pengguna jasa, maka jasa terus bisa dilanjutkan, dan sebaliknya apabila dijumpai ketidakridhaan terhadapnya maka konsumen berhak menetapkan khiyar, antara melanjutkan jasa atau menghentikannya.
Saat ini, umumnya para pengguna jasa yang tidak mendapati kelayakan terhadap jasa yang diambil dibanding dengan yang dijanjikan, seringkali meminta ganti rugi sebagai kompensasi. Apakah syariat juga mengatur soal ganti rugi ini? Kelak akan kita kupas dalam kajian berikutnya. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar