Dalam kitab al-Zuhd, Imam Ahmad bin Hanbal mencatat sebuah riwayat tentang pertanyaan seseorang kepada Imam Sa’id bin Jubair. Berikut riwayatnya:
حدثنا
عبد الله حدثني محمد بن زيد الكوفي حدثنا يحيي بن يمان عن أشعث عن جعفر قال: قيل
لسعيدٍ: مَن أعْبَدُ النّاسِ؟ قال: رجلٌ إجترَح من الذنوب فكلَّمَا ذكَرَ ذَنبَهُ
إحتقَر عمَلَه
Abdullah bercerita kepada kami, Muhammad bin Zaid al-Kufi bercerita, Yahya bin
Yaman bercerita, dari Asy’ats, dari Ja’far, ia berkata:
“Sa’id bin Jubair ditanya: “Siapa orang yang paling (banyak) ibadah(nya di
antara) manusia?”
(Imam) Sa’id bin Jubair menjawab: “Seseorang yang melakukan dosa, kemudian
setiap kali dia teringat dosanya, dia memandang rendah amalnya” (Imam Ahmad bin
Hanbal, al-Zuhd, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017, h. 314)
****
Imam Sa’id bin Jubair (w. 95 H) adalah seorang ulama dari kalangan tabi’in. Ia
mengambil riwayat hadits dari Ibnu ‘Abbas, Sayyidiah ‘Aisyah, ‘Adi bin Hatim,
Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah, Abu Mas’ud al-Badri, Ibnu ‘Umar, Ibnu
Zubair, ad-Dlahak bin Qais, Abu Sa’id al-Khudri, dan lain sebagainya. Ia
belajar Al-Qur’an kepada Sayyidina Abdullah bin ‘Abbas (qara’al qur’ân ‘alâ
ibni ‘abbâs). Ia memiliki banyak murid, sebut saja Abu Shalih al-Samman, Adam
bin Sulaiman, Abu ‘Amr, Habib bin Abi Tsabit, Sulaiman bin Abi al-Mughirah,
Abdullah bin Sa’id (anak), Abdul Malik bin Abu Sulaiman, dan masih banyak
lainnya. (Imam al-Dzahabi, Siyar A’lâm al-Nubalâ’, Bairut: Muassasah
al-Risalah, 2001, juz 4, h. 322-324)
Ibadah adalah pembebasan. Dengan hanya menyembah Allah yang Maha Esa, yang
ke-mahaan-Nya tidak bisa diukur dan diangankan, manusia terbebas dari
perbudakan horizontal, atau perbudakan sesama makhluk. Dengan hanya
menyembah-Nya, manusia mengalami pembebasan. Dalam bahasa Sayyidina al-Mughirah
bin Syu’bah (w. 50 H), sahabat nabi yang mulia itu, menjadi Muslim adalah
terbebas dari penyembahan sesama makhluk. Ia mengatakan:
وإخراج
العباد من عبادة العباد إلى عبادة الله
“Mengeluarkan (atau membebaskan) para hamba dari menyembah sesama makhluk
kepada (hanya) menyembah Allah (semata).” (Imam Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa
al-Nihâyah, Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 2003, juz 9, h. 621-622)
Artinya, beribadah dapat melahirkan kesetaraan sesama makhluk, tidak ada yang
lebih mulia, tidak ada yang lebih unggul, dan tidak ada yang lebih utama,
selain ketakwaan dan manfaat yang diberikannya untuk sesama. Seorang ahli
ibadah, tidak akan memandang rendah orang lain, apalagi memuliakan dirinya
sendiri.
Karena itu, ketika ditanya tentang siapakah orang yang paling banyak ibadahnya,
Imam Sa’id bin Jubair tidak menjawabnya secara langsung, tapi menggambarkannya
dengan sebuah proses. Mengingatkan kembali manusia bahwa tidak ada seorang pun
yang luput dari dosa. Semua manusia pasti pernah berbuat dosa, tentu dengan
tingkatan yang berbeda-beda. Tidak terkecuali ahli ibadah. Hanya para nabi lah
yang terbebas dari itu.
Ia menjawab: “Seseorang yang melakukan dosa, kemudian setiap kali dia teringat
dosanya, dia memandang rendah amalnya.” Dari jawaban tersebut, ada tiga hal
penting. Pertama, soal pentingnya manusia tersadarkan bahwa dia pasti pernah
berbuat dosa, baik kecil ataupun besar. Misalnya dia tidak pernah mencuri, tapi
pernah menggunjingkan seseorang tanpa disadari.
Kedua, soal pentingnya kesadaran mengingat dosa di masa lalu. “Mengingat” bukan
berarti meragukan kemaha-ampunan Allah. Allah pasti mengampuni segala dosa
ketika manusia benar-benar memohon ampunan-Nya. “Mengingat” di sini harus
dimaknai sebagai pelajaran dan pijakan hidup. “Pelajaran” agar kita memperbaiki
diri dan tidak mengulanginya lagi. “Pijakan” agar kita selalu diingatkan bahwa
kita memiliki kemungkinan untuk mengulangi perbuatan dosa, dan melakukan dosa
lain yang belum kita lakukan. Dengan “mengingat”, kita tidak akan mudah
menyombongkan diri dan memandang diri paling mulia di antara manusia.
Ketiga, soal pentingnya memandang rendah amal. Memandang rendah amal kurang
lebih sama dengan memandang sedikit amal yang kita lakukan. Ini sangat penting
untuk meredakan kesombongan kita. Memang, kita tidak bisa pungkiri, struktur
kejiwaan manusia sangat memungkinkan untuk menyombongkan diri. Setiap manusia
yang mempunyai kelebihan, sadar atau tidak sadar, dia akan memandang dirinya
lebih, dan itu, jika tidak dibarengi dengan kesadaran akan “dosa”, akan
bergejolak sangat liar. Sebagaimana Iblis yang mengatakan, “anâ khairun minhu”
(aku lebih baik dari Adam). Asumsi sepihak itulah yang membuat Iblis terusir
dari surga.
Dengan demikian, kesadaran tentang ketidaksempurnaan dan ketidakmampuan manusia
untuk terlepas dari dosa, sangat penting dimiliki manusia. Tentu, ini bukan
berarti manusia bebas melakukan dosa. Malah sebaliknya, ini adalah benteng,
atau metode pertahanan diri agar manusia tidak berhenti berupaya menghindari
dosa.
Selain itu, kesadaran semacam ini dapat membentengi manusia dari kesombongan.
Dengan mengingat dosa-dosanya, dan menyadari ketidakmampuannya untuk selalu
benar, manusia tidak akan mudah menyombongkan diri. Dia akan terus diingatkan
dan disadarkan, sehingga tidak mudah menyibukkan diri untuk mencari keburukan
orang lain. Dia akan lebih sibuk dalam mencari keburukannya sendiri dan
berusaha memperbaikinya.
Pertanyaannya, sudahkah kita melakukannya?
Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP. Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan,
Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar