Lulus dari pesantren, pulang, balik ke kampung halaman atau merantau adalah pilihan seorang santri. Di tempat barunya, ia harus pandai menyesuaikan diri. Di tengah usahanya untuk berdakwah dan mengabdikan ilmunya, seorang santri juga dituntut untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sebagai makhluk sosial dan sekaligus sebagai makhluk ekonomi. Dan ini tidak bisa dipungkiri, bahwa bagaimanapun juga dakwah memiliki hubungan erat dengan upaya membangun diri menguasai basis perekonomian.
Nabi Muhammad SAW di awal sebelum dakwah, juga seorang enterpreneur. Beliau seorang penggembala kambing dan juga seorang saudagar. Ketika awal dakwah di Makkah, umat Islam yang kala itu masih sedikit jumlahnya, pernah mendapatkan tekanan monopoli dari masyarakat Quraisy. Buntut dari monopoli itu pada puncaknya adalah hijrahnya Nabi beserta umatnya ke Madinah. Dan di sana, Nabi kemudian bergerak pertama kalinya menyeleksi pasar. Pasar mana umat Islam boleh melakukan transaksi niaga dan pasar mana yang umat Islam tidak boleh melakukan niaga. Semua usaha ini dilakukan adalah dalam rangka memenuhi target atau fondasi ekonomi terlebih dahulu guna menopang dakwah Islam di Madinah kala itu. Kita katakan saja, bahwa ekonomi adalah bagian dari soko guru dakwah.
Nah, sebagai santri pemula yang ingin dakwah, awalnya ia disibukkan dengan membangun fondasi ekonomi itu. Usaha apa yang tepat baginya?
Ada salah satu pertanyaan dalam membangun jaringan niaga, yaitu sebaiknya santri memulai usaha mandiri dari nol ataukah ikut kerja sama dan bergabung dengan jalur usaha yang sudah mapan? Di sini masing-masing memiliki keunggulan dan sekaligus kekurangan.
Jika bergabung dengan sistem yang sudah mapan maka santri harus siap dengan pola usaha yang digariskan oleh pihak yang dicabangi, dan taat prosedur. Namun bila ia membuka usaha sendiri, maka ia bebas menentukan jalur usahanya. Mau berdagang, bertani, beternak, mendirikan pabrik, terserah dia lah. Sesukanya dan tuntutannya hanyalah kepandaian membaca peluang. Sistem yang dipergunakan bisa jadi trial and error (mencoba dan terus mencoba) sampai kemudian ia menemui kemapanan.
Kondisi yang berbeda akan dialami santri yang masuk ke dalam jalur usaha lain yang sudah mapan dan bergerak menjadi mitranya. Sebut saja ikut sistem waralaba dengan menjadi franchisee. Di sini santri tidak membutuhkan banyak modal besar dan mengalami trial and error, karena sistem usahanya sudah teruji.
Keuntungan Berbisnis Waralaba
Jika kita kumpulkan, maka ada beberapa keuntungan dari ikut menjadi mitra sistem bisnis waralaba, antara lain sebagai berikut:
Pertama, brand product yang sudah dikenal.
Bergabung dengan waralaba yang sudah dikenal sudah barang tentu menguntungkan dari sisi periklanan dan publikasi. Ia tidak perlu lagi untuk menciptakan brand dan memasarkan barang lewat media. Jadi, efisien dari segi waktu disebabkan publikasi bersama.
Kedua, sistem usahanya sudah matang.
Kelebihan dengan ikut waralaba adalah sistem usahanya sudah matang dan sudah terstandarisasi. Demikian juga dengan pelayanannya, sudah barang tentu terstandarisasi. Pengadaan produk, bahan baku bahkan distribusinya, semua sudah masuk dalam hitungan standar quality control. Santri yang tergabung tinggal melaksanakannya sesuai prosedur yang ditetapkan. Untuk itu penting terbina jiwa taat prosedur tersebut.
Ketiga, ada pembinaan dan pendampingan.
Pembinaan dan pendampingan ini umumnya berkaitan dengan strategi dan manajemen. Jika anda seorang franchise farmasi, sudah barang tentu pembinaan ini juga menyangkut cara menyimpan obat dan lain sebagainya sehingga memungkinkan produk obat yang dijual tertangani dengan baik saat di penyimpanan sehingga aman bagi konsumen. Pembinaan kadang juga berhubungan dengan pemilihan lokasi strategis. Karena bagaimanapun, lokasi franchise memiliki hubungan yang erat keterkaitannya dengan pemasaran produk.
Kerugian Ikut Waralaba
Di samping keuntungan, ada juga beberapa kelemahan dari usaha waralaba ini. Setidaknya ada 4 kelemahan, antara lain sebagai berikut:
Pertama, manajemen yang kaku.
Hakikatnya, waralaba adalah cabang dari perusahaan pusat. Semua konsep, mekanisme serta sistem, seluruhnya sudah diatur oleh pusat. Kekakuan sistem ini tentu merugikan untuk membentuk jiwa kreatif.
Kedua, mahalnya royalti.
Umumnya setiap waralaba memiliki konsep sendiri-sendiri dalam membayar royalti. Ada yang menggunakan sistem mudlarabah, ijarah, dan ada juga memakai sistem mematok persentase tertentu dari penjualan produk setiap bulannya. Misalnya, kimia farma, mematok tarif 1.9% total penjualan untuk distorkan ke perusahaan pusat sebagai royalti. Waralaba syariah yang muncul dan diinisiasi oleh kalangan santri alumni pesantren umumnya tidak mematok tarif semacam Kimia Farma ini. Mereka memakai sistem mudlarabah (berbagi keuntungan) dari hasil penjualan.
Ketiga, reputasi yang dipertaruhkan.
Bagaimanapun juga, outlet waralaba ini banyak. Saking banyaknya outlet waralaba tersebut, ada kemungkinan suatu saat ada outlet yang melakukan kesalahan dalam menjalankan bisnisnya sehingga merugikam konsumen. Nah, di saat itulah, semua waralaba yang meskipun pada dasarnya antara outlet satu dengan outlet lainnya tidak saling berhubungan, namun mereka bisa terpengaruh akibat kesalahan dari outlet yang lain. Misalnya, ada waralaba minimarket A yang mengalami kesalahan penyimpanan produk sehingga mengalami kadaluarsa atau rusak sebelum terjual. Kesalahan dari satu outlet ini dapat berpengaruh besar di mata konsumen mengingat sama brand produknya, meskipun pada dasarnya itu adalah kesalahan personal dari outlet yang bermasalah itu sendiri.
Keempat, keterbatasan supplier.
Dalam sistem waralaba, perusahaan telah menentukan supplier yang bertugas menyupai barang/stok. Jadi, meskipun pemilik adalah seorang yang banyak jaringan, namun karena keterbatasan supplier tersebut, ia tidak bisa memasok produk dari pihak ketiga disebabkan terikat janji tersebut. Jadi, dalam waralaba tidak ada istilah perjanjian pasokan dengan pihak ketiga. Pasokan hanya diberikan oleh pihak pertama perusahaan waralaba dan sudah digariskan.
Baik keuntungan atau kerugian waralaba di atas, akan sangat bertolak belakang dengan bila mendirikan usaha sendiri. Sifat keterbatasan pemasok, manajemen, pengembangan dana/modal, semua akan berlangsung luwes manakala seorang santri pengusaha mendirikan usaha sendiri. Namun, hal yang tidak boleh dilupakan adalah, membuka usaha sendiri itu risikonya jauh lebih besar dibanding ikut waralaba.
Nah, sekarang tergantung pada santri. Ia mau mendirikan usaha sendiri atau ikut waralaba? Pikirkan masak-masak dan jangan grusa-grusu. Bagaimanapun juga semuanya memakai modal usaha. Dan modal itu tidaklah sedikit. Tingginya risiko kegagalan menjalankan modal mutlak menjadi faktor pertimbangan. Tapi anda jangan takut untuk berusaha, ya? Jatuh bangun adalah sesuatu yang sudah biasa. Anda cukup menjadi orang yang siap bertanggung jawab atas kegagalan usaha anda itu saja sudah cukup untuk membantu anda mentas dari sisi ekonomo. Wallahu a'lam bish shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar