Salah satu hal yang dibangun Nabi Muhammad setelah berhijrah ke Madinah adalah mendirikan pasar, selain membangun masjid dan mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshor. Tidak lain, usaha Nabi Muhammad ini untuk membangun dan mengembangkan ekonomi umat Islam. Karena pada saat itu, perekonomian di Madinah berpusat di pasar Bani Qainuqa dan dikuasai oleh pedagang Yahudi. Praktik riba dan kecurangan di pasar itu juga yang membuat Nabi Muhammad berinisiatif untuk membangun pasar sendiri.
Nabi Muhammad melihat beberapa tempat untuk dijadikan lokasi pasar. Semula Nabi
dan para sahabat melihat-lihat lokasi Pasar an-Nabit, namun beliau tidak setuju
dengan lokasi itu. Nabi Muhammad kemudian mendapati suatu tempat bernama Baqi
al-Zubair. Beliau memberikan tanda bahwa di lokasi itu akan dibangun sebuah
pasar, namun Ka’ab bin al-Asyraf—seorang Yahudi marah-marah mengetahui hal itu.
Dia merusak tanda yang disematkan Nabi di lokasi tersebut.
Mengetahui hal itu, Nabi Muhammad tidak marah. Beliau lalu memindahkannya ke satu lokasi dekat kuburan Bani Saidah. Satu tempat yang kini dikenal sebagai Pasar Madinah. Sebagaimana dikehendaki Nabi, lokasi calon pasar ini luas dan strategis karena semua pendatang ke Madinah—baik dari Suriah maupun dari selatan— pasti melewati lokasi tersebut. Riwayat lain, ada seorang sahabat yang menunjukkan lokasi tersebut dan Nabi kemudian menyetujuinya.
Pada saat itu, pasar Nabi ini disebut Baqi al-Khail (Pasar Baqi), dan di
sampingnya kuburan Baqi al-Gharqad. Lokasinya yang berada di pinggir Kota
Madinah memudahkan pada pedagang untuk menyuplai barang tanpa harus melewati
jalan-jalan Kota Madinah dan mengganggu aktivitas warga. Dengan demikian, pasar
tersebut berhasil menyediakan komoditas yang lebih banyak dan lebih lengkap
untuk mencukupi kebutuhan warga Madinah, sehingga berhasil menyaingi bahkan
mengalahkan Pasar Qainuqa yang dikuasai kaum Yahudi.
Barang yang disuplai ke pasar tersebut tidak hanya makanan, tetapui juga bahan
dapur, kain, minyak wangi, peralatan perang, dan lainnya. Dalam Al-Taratib
al-Idariyah sebagaimana diceritakan Nizar Abazhah dalam Sejarah Madinah (2017),
berbagai macam komoditas dipasok ke Pasar Baqi tersebut, di antaranya: tepung,
minyak samin, madu, beragam buah-buahan dari Thaif, beragam biji-bijian dari
Suriah, aneka warna pakaian dan kain sutra, aneka minyak wangi, za’faran,
misik, anbar, dan zanbaq atau lily, obat-obatan, dan gula. Selain itu, ada
bawang merah, bawang putih, mentimun, kacang-kacangan, labu dan aneka jenis
sayur, kurma—baik dari Madinah atau pun dari luar, tombak, lembing, baju besi,
dan berbagai peralatan perang lainnya.
Tidak hanya memilih lokasi yang luas dan strategis, Nabi Muhammad juga menerapkan
kebijakan-kebijakan di Pasar Baqi dalam membangun ekonomi umat. Pertama, tidak
mengizinkan seseorang membuat tempat khusus di pasar. Maksudnya, para pedagang
dilarang membuat lapak khusus di pasar. Siapa yang datang duluan, dia yang
berhak menempati lokasi itu. Ini dimaksudkan agar para pedagang datang lebih
awal untuk memilih tempat yang strategis. Dengan kebijakan ini, maka tidak ada
diskriminasi dan tidak ada pedagang yang dirugikan karena pasar menjadi milik
bersama.
Suatu hari Nabi Muhammad mendapati ada sebuah tenda berdiri di pasar. Setelah
ditanyakan, ternyata tenda itu milik Bani Haritsah yang menjual kurma. Nabi
Muhammad kemudian memerintahkan agar tenda itu dibongkar.
Kedua, membebaskan pedagang dari pajak dan upeti. Para pedagang yang ada di
Pasar Baqi tidak ditarik untuk membayar retribusi. Tentu saja kebijakan ini
sangat menguntungkan para pedagang karena laba mereka menjadi utuh, tidak
berkurang untuk membayar ini dan itu.
“Ini pasar kalian, jangan disempitkan dan jangan ditarik retribusi,” kata Nabi
Muhammad kepada para sahabatnya.
Ketiga, mengimpor komoditas. Nabi Muhammad juga mendorong agar para pedagang di
pasar mengimpor barang-barang komoditas. Misalnya kurma karena Madinah
merupakan daerah pertanian dan penghasil buah tersebut.
Nabi Muhammad juga turun langsung ke pasar untuk mengawasi agar praktik-praktik
transaksi sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada suatu ketika misalnya, Nabi
Muhammad mendapati setumpuk makanan. Beliau kemudian memasukkan tangannya ke
dalamnya untuk mengecek kualitas makanan itu. Ternyata makanan itu bagian
bawahnya basah. Setelah ditanya, sang pedagang bahwa makanan itu basah karena
kehujanan.
“Kenapa yang basah tidak kau taruh di atas, biar kelihatan. Siapa menipu, ia
bukan golonganku,” kata Nabi Muhammad. Begitu lah Nabi Muhammad. Beliau selalu
menekankan kejujuran dalam setiap transaksi jual beli sehingga tidak ada yang
dirugikan.
Terkadang Nabi Muhammad juga menugaskan orang lain untuk mengawasi pasar.
Setelah Fathu Makkah misalnya, Nabi Muhammad menugaskan Said bin Said bin
al-Ash untuk mengawasi pasar Makkah.
Dengan kebijakan Nabi dan semangat para sahabat dalam berniaga, maka tidak
heran jika Pasar Baqi atau Pasar Madinah menjadi pusat perekonomian baru dalam
kancah regional Arab, melebihi pasar kaum Yahudi di Qainuqa. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar