Imam Al-Ghazali dalam menjelaskan ijtihad tahqīqul manāth secara operasional, menggunakan silogisme kategoris yang dikenal dalam logika formal. Tepatnya dengan bentuk atau syakl pertama (Imam Al-Ghazali menyebut dengan istilah al-namaṭ al-awwal). Misalnya, proposisi “setiap minuman yang memabukkan hukumnya haram” diletakkan sebagai muqaddimah kulliyyah dan “minuman A ini memabukkan” sebagai muqaddimah juz’iyyah. Proposisi muqaddimah kulliyyah disusun bersumber dari dalil-dalil syariat. Sementara proposisi muqaddimah juziyyah merujuk hasil ijtihad Tahqiqul Manath atas obyek dengan menggunakan perangkat pengetahuan yang relevan yang dapat menguak unsur memabukkan dalam minuman A. (Al-Mustashfa, juz I, hal. 285).
Dalam contoh tersebut, proposisi muqaddimah kulliyyah “setiap minuman yang
memabukkan hukumnya haram” telah disepakati sehingga penarikan konklusi atau
natīijah hukum ditentukan oleh proposisi muqaddimah juz’iyyah. Jika penelitian
atas minuman A terkonfirmasi positif memabukkan, maka pasti natijah hukum atau
fatwa yang dikeluarkan adalah “minuman A hukumnya haram.” Dan jika negatif,
konklusi tidak bisa diambil. Proposisi muqaddimah kulliyyah jika tidak
disepakati karena bersumber dari fiqih kulli yang diperselisihkan, baik dalam
lingkup antarmadzhab atau internal madzhab maka dipastikan natijah hukum juga
terdapat khilaf. Sedangkan jika disepakati karena merujuk fiqih kulli yang
sama, maka perbedaan natijah hukum atau fatwa pasti disebabkan perbedaan hasil
ijtihad tahqīqul manāth, sebagaimana penjelasan dalam artikel berjudul “Sebab
Perbedaan Fatwa meski dalam Satu Madzhab”.
Perbedaan pengetahuan sebagai hasil ijtihad atas obyek terjadi disebabkan dua hal. Pertama, perbedaan atau perubahan perangkat yang menghasilkan pengetahuan. Artinya, obyek yang diteliti sama dan tidak berubah tapi perangkat untuk mengetahuinya yang berbeda atau berubah. Seperti halnya seseorang berada yang di tempat yang jauh dari Ka’bah melakukan ijtihad arah qiblat. Ijtihad dilakukan dengan bertanya kepada orang yang diduga mempunyai sifat adil, melihat sendiri posisi bintang-bintang atau menggunakan rumus-rumus ilmu falak yang taḥqīqi. Atau dengan cara-cara lain yang memungkinkan hasil yang berbeda. Obyeknya sama yaitu arah yang menghubungkan tempat ia berada dengan Ka’bah namun perangkat untuk mengetahuinya yang berbeda.
Kedua, perubahan obyek dari satu sifat ke sifat lain sementara sifat tersebut
adalah manāṭ hukum. Misalnya air di sebuah wadah yang tampak jernih tidak
berbau dan sesuai kriteria air mutlak. Air ini dihukumi suci. Lalu setelah
kemasukan najis, air tersebut menjadi berubah baunya. Kriteria air mutlak telah
berubah. Meskipun sama-sama di satu wadah, kondisi pertama berbeda kondisi
kedua. Demikan pula, “minuman A” yang berubah; semula memabukkan lalu berubah
sifat menjadi tidak memabukkan, misalnya berubah menjadi cukak. Ijtihad
tahqiqul manath harus memperhatikan keakuratan perangkat pengetahuan dan
kemungkinan perubahan-perubahan obyek. Pengetahuan akan obyek menjadi penentu
utama dalam penarikan natijah hukum.
Imam Al-Ghazali juga menegaskan bahwa itihad tahqiqul manath sebagai bentuk
penelitian atas obyek harus merujuk pada kaedah-kaedah pengetahuannya. Imam
Al-Ghazali menyebutnya dengan istilah nadhariyyah. Menurut Imam Al-Ghazali
dalam kitab Asasul Qiyas (hal.42), menegaskan bahwa teori pengetahuan tidak
terbatas. Namun secara umum obyek pengetahuan dimasukkan ke salah satu dari 5
(lima) macam nadhariyyah; yaitu (1) lughawiyyah (kebahasaan), (2) ‘urfiyyah
(adat kebiasaan), (3) ‘aqliyyah (ilmu logika), (4) ḥissiyyah (inderawi) dan (5)
ṭabī’iyyah (fisika). Untuk mengetahui hakikat setiap obyek harus disesuaikan
dengan nadhariyyah-nya.
Imam Al-Ghazali mencontohkannya dengan perubahan sifat air (lihat kitab Asasul Qiyas, hal 41-42). Dalam ketentuan fiqih, air yang mengalami perubahan bau sebab najis, jika kemudian bau tersebut “hilang” maka air tersebut kembali menjadi suci. Ketentuan fiqih ini pengaplikasiannya mengharuskan ijtihad tahqiqul manath; yaitu penelitian obyek. Obyeknya adalah hilangnya perubahan (zawālut taghayyur). Penelitian harus mengacu pada nadhariyyah obyek tersebut. Oleh Imam Al-Ghazali, zawālut taghayyur pada air tidak dimasukkan ke dalam nadhariyyah hissiyyah (inderawi), namun ke dalam nadhariyyah ṭabī’iyyah. Karena untuk mengetahui apakah telah hilang atau tidak, tidak cukup dengan menggunakan panca indera termasuk indera pembau. Namun harus meneliti jenis-jenis hilangnya perubahan bau air dan karakteristik faktor yang menyebabkannya. Pengetahuan tentang benda, unsur-unsurnya, perilaku dan interaksinya termasuk teori-teori dalam ilmu fisika. Misalnya, air yang berubah bau tersebut kemudian ditetesi minyak wangi za’faran atau misk. Tentu, indera pembau kita hanya mencium bau wangi. Bau sebelumnya apakah benar-benar hilang? Teori fisikal menyebutkan bahwa bau tersebut tidak hilang melainkan sekedar “tertutup” karena kalah tajam dengan bau wangi. Dari fakta ini, ijtihad tahqiqul manath menghasilkan kesimpulan bahwa zawālut taghayyur tidak terjadi. Hukum air tetap najis meskipun berbau wangi.
Berbeda jika bau tidak kita cium lagi karena faktor adanya angin yang berhembus
berkali-kali atau air diam di wadahnya dalam waktu yang lama. Dari fakta ini,
jtihad tahqiqul manath menyimpulkan bahwa zawālut taghayyur telah terjadi
sehingga air tersebut dengan kondisi barunya menjadi suci kembali. Meskipun air
yang dihukumi adalah sama namun yang menjadi obyek ijtihad tahqiqul manath
adalah sifat air yaitu baunya; apakah sifat bau tersebut benar-benar hilang
atau sekedar tertutup? Hukum berubah sebab telah terjadi perubahan obyek. Dan
untuk mengetahuinya, ijtihad dilakukan dengan merujuk pada nadhariyyah ṭabī’iyyah, bukan
ḥisyyiyyah.
Ijtihad tahqiqul manath atas obyek tidak disyaratkan harus menghasilkan pengetahuan dengan kategori yaqīni. Jika tidak dimungkinkan dengan pengetahuan yaqīni maka ijtihad cukup dengan pengetahuan yang dhanni (Al-Mustashfa, juz II, hal. 238). Dengan proposisi muqaddimah juz’iyyah yang dhanni, silogisme fiqih ini tetap menghasilkan natijah hukum. Sebuah pengetahuan dhanni tentu sangat mungkin akan berhadapan dengan perbedaan hasil ijtihad orang lain atau mengalami perubahan yang mengoreksi hasil ijtihad sebelumnya. Kaedahnya, sebuah pengetahuan dhanni harus ditinggalkan jika ditemukan pengetahuan dhanni yang lebih kuat atau pengetahuan yaqīni. (Al-Mustashfa, juz II, hal. 472). Dari kaedah inilah fatwa atas suatu mahkūm ‘alaih yang sama terjadi perbedaan dan mengalami perubahan. Wallahu a’lam. []
Muhammad Faeshol Muzammil, Wakil Ketua LBM PWNU Jawa Tengah, Muhadlir
Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar