Negarawan
dan Politikus
Oleh: Kwik
Kian Gie
Pada
umumnya, semua orang yang pekerjaannya penyelenggaraan negara dan yang
jenjangnya di atas birokrasi disebut "politikus". Politikus adalah
nama generik atau istilah umum yang mempunyai banyak karakter. Karakter itu
bisa dibedakan antara yang dinamakan "negarawan",
"political animal", dan "political idiot".
Negarawan
berkecimpung dalam dunia penyelenggaraan negara, yang merupakan arena dengan
peserta atau pemain yang bagian terbesarnya adalah binatang politik (poltical
animal). Apa yang membedakan negarawan dengan political animal ?
Negarawan,
binatang politik, idiot politik
Negarawan
adalah orang yang tujuannya murni ingin menyejahterakan rakyatnya secara
berkeadilan. Kita dapat mengenali sosok negarawan sejak muda. Sadar atau tak
sadar, para calon negarawan sejak muda sudah sangat peduli dengan
lingkungannya. Mereka sudah socially engaged; keterikatannya pada anggota masyarakat
lainnya sudah sangat kasat mata.
Ada yang
keterkaitannya terbatas pada satu RT, satu RW, satu kota. Akan tetapi, ada yang
dengan seluruh bangsanya. Kalau kita mempelajari sikap dan perilaku para
pendiri bangsa kita, dalam zaman kolonial mereka sudah merasakan bahwa
bangsanya ditindas bangsa lain, bahwa kekayaan alam yang diberikan Tuhan kepada
bangsanya diisap bangsa lain. Pencuatan yang pertama kalinya dari kepedulian
sekelompok elite bangsa untuk seluruh bangsanya adalah Sumpah Pemuda 1928.
Bangsa
pengisap ini mempertahankan kedudukannya dengan kekerasan. Walaupun demikian,
para negarawan kita berani menyatakan sikap dan pendapat melawan dan ingin
menumbangkan penjajahnya. Karuan saja, nasibnya keluar-masuk penjara dan
pembuangan. Dari waktu ke waktu bahkan diculik dan dibunuh. Apa sikap mereka
ketika dihadapkan pada kekerasan senjata yang mengancam kebebasan dan jiwanya?
Terus berjuang tanpa dibayar dan tanpa ada konglomerat menyuapnya.
Namun,
seorang negarawan dengan tujuan mulia ini dihadapkan pada political animal yang
menggunakan arena penyelenggaraan negara untuk kepentingan diri sendiri, dengan
prinsip tujuan menghalalkan segala cara, sekotor apa pun. Maka biasanya, mereka
munafik, pandai mencitrakan diri sebagai orang hebat. Keterampilannya berorasi
dan sok akrab dengan bagian terbesar dari rakyatnya yang masih sangat miskin
sangat meyakinkan.
Buat
rakyat yang pendidikannya kurang memadai, sosok political animal seperti ini
sangat impresif. Rakyat yakin betul mereka memang akan menyejahterakan dirinya
secara berkeadilan. Dalam demokrasi sangat liberal yang liberalnya kebablasan,
mereka ini kebanyakan menang dalam pemilu yang asasnya adalah 50 persen plus
satu. Terutama dalam era digital dan hampir setiap orang punya ponsel, media
sosial (medsos) sudah menjadi sarana sangat ampuh buat mereka yang bisa
memanfaatkannya. Penguasaan teknis dalam bentuk keterampilan menggunakan
peralatannya tidak sulit.
Yang
sulit adalah pendanaan yang besar guna menyewa para penulisnya. Mereka
mengagungkan yang membayarnya bagaikan malaikat dan merundung lawan-lawannya
dengan dahsyat. Maka harus bermodal besar dan untuk itu political
animal dituntun oleh naluri animal-nya.
Ada
political animal yang sangat canggih, sophisticated, berpendidikan
tinggi, gagah, penampilannya diatur ahli busana, perilaku dan gerak geriknya
diatur konsultan semacam Joan Robert Powers. Bagi para intelektual, kuasi
intelektual, orang kaya, pendeknya apa yang dinamakan "elite bangsa",
political animal kelas ini sangat meyakinkan. Mereka sangat sulit dikenali
sebagai animal. Masyarakat papan atas pun bisa terkecoh.
Kalau
rakyatnya sangat kurang pendidikannya, tim dari konsultan politik, ahli busana
dan ahli perilaku mengaturnya justru yang gambarannya sebaliknya. Politisi ini
harus digambarkan persis seperti rakyat yang menjadi target perolehan suaranya.
Pakaiannya dibuat seperti rakyat yang masih sederhana, mengenakan kemeja yang
sengaja dibuat agak kedodoran, lengan panjang kemejanya digulung sedikit untuk
menandakan yang bersangkutan pekerja keras, makan bersama secara lesehan,
mengunjungi rakyat jelata, mendengarkan keluhannya, menggendong dan
mengelus-elus bayi lusuh. Sebelumnya yang bersangkutan tak pernah terlihat
seperti ini.
Dengan
penampilan dan perilaku demikian, rakyat yang akan memberikan suaranya merasa
sang calon adalah salah satu dari mereka. Dia saudara, bukan ndoro. Rakyat
jelata yang tak paham arti ideologi, arah negara, visi, misi, dan jargon-jargon
seperti itu biasanya miskin. Mereka sangat bergembira jika diberi sesuatu
sekadarnya, asalkan konkret. Lambat laun para political animal menggunakan uang
tunai, politik uang. Jika untuk periode 2009-2014 seseorang baru bisa menjadi
anggota DPR dengan biaya rata-rata Rp 300 juta, dalam periode berikutnya,
Pemilu 2014, biaya menjadi rata-rata Rp 3 miliar.
Uang itu
untuk membeli suara. Rakyat yang sangat awam dalam asas-asas penyelenggaraan
negara memberikan suaranya kepada mereka yang bersedia membayar lebih mahal.
Itulah sebabnya, DPR dipenuhi orang berduit atau yang mendapat dukungan para
hartawan. Para hartawan ini tentunya tidak tanpa pamrih.
Bukan
hanya anggota legislatif. Dalam domain eksekutif, korupsi atau politik uang
juga sangat marak. Kita saksikan betapa besar uang yang harus dikeluarkan untuk
bisa terpilih menjadi bupati, wali kota, dan gubernur. Setelah terpilih, mereka
harus mengembalikan uang yang dikeluarkan. Jelas tak mungkin dari gajinya yang
sah. Maka digunakanlah kekuasaan untuk meraih sebanyak mungkin uang guna
mengembalikan yang telah dikeluarkannya.
Banyak
dari uang ini berasal dari pinjaman yang harus dikembalikan dan mungkin dengan
bunga. Kalau tanpa uang pinjaman, dana diperoleh dari sponsor, yaitu orang,
kelompok orang-orang kaya atau perusahaan-perusahaan besar yang mendukung
dengan dana besar, dengan tujuan agar kalau sudah berkuasa, bisa didikte untuk
kepentingannya.
Akhirnya,
para pengusaha besar itu menjadi penyelenggara negara pada jenjang yang tinggi
dan tertinggi sehingga muncul julukan golongan atau kelas
"Peng-Peng", singkatan dari "Penguasa-Pengusaha"
(diciptakan Rizal Ramli).
Dengan
gambaran demikian, apa lantas tak ada tempat sama sekali buat negarawan? Ada,
tetapi medannya sangat berat. Sang negarawan harus cukup kuat untuk bertahan,
tak merasa jijik sehingga menyingkir. Sang negarawan juga harus bisa dan mampu
menerapkan taktik, melakukan apa yang dinamakan "manuver politik" dan
"komunikasi politik", mampu membiayai lembaga survei dan lebih banyak
lagi. Buat political animal, hal-hal itu dihalalkan untuk mencapai tujuan.
Namun,
bagi negarawan, adalah strategi dan taktik untuk tak terlempar dari arena oleh
political animal. Maka, walaupun mereka terlihat ikut-ikutan berperilaku
sebagai political animal, negarawan tak pernah kehilangan tujuannya yang mulia.
Hanya tujuan yang mulia ini sering kali tak tampak bagi sebagian besar
masyarakat.
Sayang
sekali dalam penyelenggaraan negara pada jenjang di atas birokrasi atau dalam
bidang politik berlaku hukum yang mengatakan "bad leaders drive out good
leaders". Kata-kata ini berasal dari teori ekonomi moneter yang mengatakan
"bad money drives out good money". kebanyakan dari good leaders
memilih menyingkir saja karena merasa jijik, merasa berkubang dalam lumpur
perpolitikan, yang juga disebut pure politicking. Istilah ini diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia dengan konotasi cerdik, lihai, yaitu "manuver
politik".
Political
idiot mirip dengan political animal, tetapi tak tahan terlampau lama.
Sosok ini gebrakannya mengejutkan. Popularitasnya melejit dalam waktu sangat
singkat. Demikian impresifnya sehingga keseluruhan rekam jejaknya yang sangat
tak lazim, justru dianggap hebat. Dalam bidang politik yang normalnya
gonta-ganti partai dianggap pengkhianatan, idiot yang lihai atau ligiat,
gonta-ganti partai dianggap hebat. Parpol yang mana pun membutuhkannya.
Walaupun diultimatum, diadu domba dengan teman-temannya, tetap saja setia pada
sang idiot.
Kalaupun
ada yang mengulas, langsung dirundung oleh teman-temannya yang mengendalikan
medsos. Sosok seperti ini juga tak kuat mempertahankan ketenaran dan kekuasaan
yang diperolehnya. Maka dia mulai menggebrak-gebrak lebih hebat dan lebih kasar
lagi sehingga sama sekali keluar dari jalur yang normal dan kebiasaan-kebiasaan
sebagai pemimpin penyelenggara negara yang merupakan panutan, yang sopan dan
santun dan yang perilakunya sesuai dengan perasaan serta tata nilai yang
diemban oleh rakyatnya.
Demokrasi
yang kebablasan
Kondisi
perpolitikan seperti yang digambarkan di atas sudah sangat-sangat parah
karakter political animal-nya. Kita harus melihatnya dari awal mengapa menjadi
seperti ini? Jelas sekali bahwa kondisi ini terjadi setelah UUD 1945
diamandemen empat kali menjadi UUD 2002. Sejak itu terjadi kebebasan beserta
euforia yang luar biasa. Sangat banyak orang menjadi politisi dadakan, menjadi
pengamat politik, merasa dan bersikap lebih mengetahui tentang apa yang akan
dilakukan oleh parpol tertentu ketimbang apa yang diketahui oleh kader yang
aktif.
Perubahan
yang menjadi serba bebas, dan apa saja boleh, mengakibatkan masuknya orang-orang
dalam arena politik, yang sama sekali tak paham tentang apa itu penyelenggaraan
negara. Mereka merasa sekarang bisa menjadi orang penting tanpa bersusah payah
berjuang lewat wadah yang secara universal memang dirancang sebagai
infrastruktur politik buat penyelenggaraan negara yang benar. Juga demikian
banyaknya parpol bermunculan, yang kemudian bersaing dengan calon independen
yang didukung organisasi tanpa bentuk (OTB), yang namanya diawali dengan kata
"Teman A B C..dsb".
Faktor
lain yang sangat fundamental adalah cara mengambil keputusan yang didasarkan
atas 50 persen plus 1. Kalau menangnya dengan 51 persen, yang 51 persen ini
dalam praktiknya mengabaikan total yang 49 persen. Ini bukan jumlah rakyat
pemilih yang kecil. Dalam pengambilan keputusan jumlah yang 49 persen
diperlakukan sebagai nol. Demokrasi yang kebablasan menjadi tirani minoritas.
Mengembalikan ke jalur sebagaimana mestinya makan waktu lama dengan biaya
sangat mahal dan pengorbanan sangat besar. Kesemuanya dapat kita lihat dari anarki
dan kaos setelah revolusi Perancis menjadi republik yang normal. Dalam era
kontemporer kita saksikan penderitaan rakyat China sebelum menjadi teratur
seperti sekarang.
Kita
mengalami tahun 1950 ketika yang diberlakukan UUD 1950 dengan sistem parlementer.
Presiden Soekarno hanya simbol bagaikan raja. Kekuasaan ada pada berbagai
parpol yang memberikan kekuasaannya kepada perdana menteri yang setiap waktu
bisa dijatuhkan oleh suara 50 persen plus 1 dari jumlah anggota DPR. Setiap
enam bulan kabinet jatuh. Kondisi ini berlangsung sembilan tahun, sampai tahun
1959 Soekarno nekat, secara tak konstitusional mendekritkan kembali berlakunya
UUD 1945. Kekuasaan diambilnya kembali sebagai presiden presidensial. Bagaimana
bisa tanpa gejolak, tidak jelas.
Sekarang
lain. "Demokrasi" ala Amerika sudah merasuk. Kita sudah punya
Economic Council, punya Security Council, punya Senat, punya Chief of Staff
Istana. Siapa mereka itu? Benar-benar qualified? Kesemuanya ini makan biaya
besar, dan apa benar ada gunanya? Apa benar Presiden mendapatkan pikiran dan
konsep yang olehnya dianggap memang bagus, bermanfaat dan bisa diterapkan?
Bukankah mereka itu sarjana-sarjana yang seumur hidupnya berkutat di dalam
kamar? Tak pernah mengetahui dan mengalami kehidupan nyata dalam kaitan dengan
penyelenggaraan negara?
Yang bisa
dilakukan (kalau masih mau), MPR berkumpul mengubah UUD 2002 menjadi UUD 1945
lagi. Dibutuhkan jiwa besar dari para anggota MPR untuk mengganti dirinya
sendiri dengan orang-orang yang memang pantas mengemban kekuasaan tertinggi.
Kalau ini sudah terjadi, pembenahan yang sifatnya teknokratik mudah. Konsep
sudah banyak yang disusun dalam era kemerdekaan selama lebih dari 70 tahun.
Dengan
UUD 1945 yang asli, kekuasaan tertinggi yang ada pada MPR terdiri dari tiga
bagian. Sepertiga dari DPR anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Jadi tetap
ada demokrasinya yang 50 persen plus 1, tetapi hanya sepertiga. Sepertiga
adalah Utusan Golongan yang tak dipilih, tetapi diajukan oleh para profesional
setelah mereka mencari yang terbaik di kalangan mereka. Sepertiga lain Utusan
Daerah yang juga tak dipilih. Mereka dijaring dari daerah-daerah, terdiri dari
mereka yang di daerahnya masing-masing jelas-jelas pemimpin sejati yang
dikenali oleh rakyat setempat dan dihormati serta dianggap paling pantas
mewakili mereka.
Pemilihan
secara langsung oleh rakyat atas dasar 50 persen plus 1 tak mungkin diterapkan
untuk bangsa yang pendidikan, pengetahuan, kematangan jiwanya danwisdom-nya
belum memadai. Maka Pak Jokowi yang dipilih langsung oleh rakyat atas dasar 50
persen plus 1 sekarang merasakan dan menyatakan secara terbuka bahwa
"Demokrasi kita telah kebablasan". []
KOMPAS, 3
April 2017
Kwik Kian
Gie | Pengamat Ekonomi dan Politik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar