Kamis, 06 April 2017

Ali Maschan Moesa: NU dan Semar

NU dan Semar
Oleh: Ali Maschan Moesa

KONON, Semar adalah anak kedua Sang Hyang Tunggal. Ketika akan memilih siapa yang harus memimpin dunia, Dia menyelenggarakan sayembara. Siapa yang mampu menelan bumi dan mengeluarkannya lagi, dialah yang berhak memimpin dunia. Togog tidak mampu menelannya, bahkan mulutnya sampai robek. Semar mampu menelannya, tetapi tidak mampu mengeluarkannya lagi. Masya Allah, bumi tidak mau keluar dari perutnya dan bertempat di pantatnya. Walhasil, Batara Guru-lah yang berhasil, tapi tetap ingin tinggal di kayangan untuk memimpin dunia dengan segala arogansinya.

Semar, yang memiliki nama lain Batara Ismaya, rela harus turun ke dunia ini untuk menjadi pengampunya dalam rangka hamemayu hayuning bawana atau baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Semar, meski digambarkan berwajah jelek, disegani. Juga, nasihatnya diikuti. Batara Guru sering berbuat salah dalam memimpin, sedangkan Semar tidak. Sebab, Semar hidup berbaur bersama manusia sehingga keputusannya selalu membumi dengan kebutuhan manusia.

Adalah Sunan Kalijaga yang menambah empat figur dalam pewayangan. Dalam kitab Mahabharata, tidak akan ditemukan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Semar dari kata Arab sammir yang berarti bergerak cepat. Nala Gareng dari kata nala khairan yang berarti memperoleh kebaikan. Petruk berasal dari kata fatruk yang memiliki arti tinggalkanlah. Lalu, Bagong berasal dari kata bagha yang berarti kejelekan. Dalam konteks budaya itulah NU termasuk organisasi keagamaan yang mampu menghargai local wisdom warisan Wali Sanga. Sejarah membuktikan bahwa Sunan Ampel datang dari Campa pada 1402 di Nusantara ini. Dalam hal ibadah, beliau tidak pernah menggunakan kata salat, tetapi kata sembahyang seperti waktu leluhur kita masih beragama Hindu/Buddha. Juga, sembahyangnya di langgar, bukan di masjid atau musala. Ketika azan selesai dikumandangkan, para wali menggunakan istilah pujian daripada kata doa, sebagaimana kata megengan –murih sugeng– sebagai pengganti kata shadaqah. Apalagi, dalam aspek hukum, ternyata Imam Syafi’i mempunyai kaidah al ’adah muhakkamah. Maknanya, adat bisa dijadikan sumber untuk menetapkan hukum.

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa para wali dalam berdakwah lebih mengutamakan metode ”garam” daripada ”gincu”. Maknanya, mereka sengaja mendahulukan aspek isi daripada kulit atau wadah serta selalu menghindari unsur pemaksaan terselubung (indirect coercion). Tampaknya para wali juga menghindari apa yang oleh S. Huntington disebut the class ofcivilization. Output dari metode tersebut berhasil dengan baik. Buktinya, hampir 99 persen leluhur kita akhirnya bisa menerima Islam secara sukarela tanpa setetes pun darah mengalir. Sedangkan saat ini banyak pemimpin yang cenderung menggunakan metode ”gincu” daripada ”garam”.

Mari kita perhatikan beberapa term berikut: negara Islam, politik Islam, ekonomi Islam, asuransi Islam, bahkan ada kisah ”radio Islam” yang dibanting pemiliknya. Singkat cerita, ada seorang pulang haji yang membeli ”radio Islam” di Makkah. Di dalam kamar hotel di Makkah, gelombang radio apa pun yang dia putar selalu memperdengarkan acara bertema tilawah Alquran, al hadis, tausiah, dan salawat. Namun, ketika sampai di Indonesia, setiap memutar gelombang radio, dia tidak menemukan acara keagamaan, kecuali melulu lagu-lagu dangdut yang ditemukan. Walhasil, dia marah, merasa tertipu oleh ”radio Islam” tersebut, lalu dengan sengaja membantingnya sampai hancur.

Pada Rajab 2017 ini NU genap berusia 94 tahun. Kita ucapkan, ”Selamat harlah NU, semoga mampu mengemban misi waratsatul anbiya' (ahli waris para nabi).” Namun, NU harus memahami ulang esensi dari tujuan pokok berdirinya. Sebenarnya aliansi para kiai NU itu terjalin sejak mereka belajar agama di Makkah dan Madinah sekitar 1800–1900. Tercatat, KH Wahab Hasbullah yang selalu menjadi pemimpin mereka. Hal itu bermula dari berdirinya SI cabang Makkah pada 1911. Setelah pulang ke tanah air, beliau mendirikan komunitas Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air), Nahdlatut Tujjar (kebangkitan pedagang santri), dan Tashwirul Afkar (dialektika pemikiran). Saat itu semangat mereka untuk mendirikan ormas santri sudah sangat mendesak, tetapi beliau masih menunggu izin dari KH Hasyim Asy’ari dan hadratus syekh juga sedang menunggu hasil Istikharah gurunya dari Bangkalan, yaitu Syaikhona Kholil.

Alhamdulillah, hasil Istikharah yang diyakini sebagai izin dan perkenan langsung dari Allah SWT didapatkan oleh beliau, yaitu surah Thaha ayat 17–21. Beberapa hari kemudian, KH As’ad Syamsul Arifin membawa sebuah ”tasbih” dari Bangkalan ke Pesantren Tebuireng. Memang yang selalu menjadi kurir antara Kiai Kholil dan Kiai Hasyim Asy’ari adalah kiai dari Asembagus, Situbondo, tersebut. Para kiai sepuh menjelaskan, terdapat tiga misi pokok dari Istikharah tersebut. Yaitu, kata ‘asha atau tongkat Nabi Musa AS yang dimaknai nasionalisme Indonesia. Kedua, NU harus selalu membela para fuqara’ dan mustadh’afin. Lalu, misi ketiga adalah spiritualisme agama.

”Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah upaya final umat Islam untuk mendirikan sebuah negara. Siapa pun yang akan mengubah NKRI dan Pancasila akan berhadapan dengan NU.” Itulah narasi keputusan Munas Alim Ulama NU di Pesantren Asembagus, Situbondo, pada 1983. Secara historis, keputusan tersebut hanyalah penegasan ulang NU untuk mempertahankan NKRI. Pada 1935, dalam muktamar XI di Banjarmasin, awalnya NU memutuskan, kalau saatnya merdeka, Indonesia harus menjadi darul Islam (negara Islam). Namun, ketika palu akan diketokkan, Kiai Wahab Hasbullah angkat tangan, menanyakan dasar Alquran dari keputusan tersebut. Lalu, para kiai menjawab surah Al Baqarah 208. Kemudian, Kiai Wahab bertanya lagi tentang khitab/ayat tersebut ditujukan kepada siapa. Setelah menelaah lagi beberapa kitab tafsir Alquran, ternyata para kiai mendapatkan keterangan bahwa sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) tersebut ditujukan kepada para ahli kitab, yaitu Abdullah bin Salam dan kelompoknya. Di dalamnya dijelaskan, setelah masuk Islam, dia sowan kepada Rasul SAW untuk memohon izin agar diperbolehkan sembahyang pada hari Sabtu, bukan Jumat. Lalu, dalam sembahyang itu, mereka tidak membaca Alquran, melainkan tetap membaca ayat-ayat dalam kitab Taurat. Lebih dari itu, mereka juga bersumpah tidak akan makan daging unta dan minum susunya. Sebab, bagi mereka, hokum keduanya haram.

Selanjutnya, NU membatalkan keputusan tentang darul Islam dan memutuskan, kalau nanti sudah merdeka, Indonesia harus dikonstruksi sebagaimana Nabi Muhammad SAW menata masyarakat Madinah (kitabah watsiqah), yang terdiri atas 47 pasal. Jadi, NKRI dengan kebinekaannya sudah sesuai dengan contoh nation-state dalam konteks ajaran Islam. Di sinilah NU mendasarkan nasionalismenya tidak sekadar taklid kepada E. Renan dengan konsep what is a nation? atau sekadar mengikuti pendapat Ben Anderson dengan imagined community-nya. Tetapi, NU meyakini bahwa daru al shulh atau negara damai adalah model nation-state yang sesuai dengan Alquran dan as sunnah sebagai dasar pokok Islam. Dasar pemikiran itulah, barangkali, yang membedakan NU dengan ormas keagamaan lain.

Akhirnya, –dalam konteks leadership– mengapa beberapa kebijakan executive order Presiden Donald Trump selalu gagal, termasuk di dalamnya larangan imigran muslim dari 7 negara masuk ke AS? Jawabannya, dia tidak pernah mempertimbangkan aspek local wisdom dalam pengambilan keputusannya. Atau hendaknya dia merenungkan wejangan orang tua, yaitu ojo rumongso iso, ning isoo rumongso….Wallahu a’lam bis-sawab. []

JAWA POS, 05 April 2017
Ali Maschan Moesa | Wakil Rais Syuriah PW NU Jatim, guru besar sosiologi UIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar