Senin, 17 April 2017

Mahfud MD: Natsir Santri, Soekarno Juga



Natsir Santri, Soekarno Juga
Oleh: Moh Mahfud MD

SAYA agak terperangah ketika Ahmad Basarah, Wasekjen PDI Perjuangan yang juga ketua fraksi partai tersebut di MPR mengatakan bahwa Soekarno alias Bung Karno, proklamator Indonesia yang melegenda itu adalah seorang santri.

Saya terperangah bukan karena tidak percaya, tetapi karena hampir tidak ada tokoh yang mengatakan Soekarno sebagai santri.

Basarah mengatakan itu saat mempertahankan disertasi doktornya, “Eksistensi Pancasila sebagai Tolok Ukur dalam Pengujian UU Terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi“ di Pendidikan Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro tanggal 10 Desember 2016 yang lalu.

Basarah menunjukkan kesantrian Soekarno itu dengan bukti bahwa sebagai muslim Soekarno itu adalah murid dan menantu HOS Tjokroamito, tokoh Islam pejuang kemerdekaan. Soekarno adalah juga muslim yang taat melaksanakan salat lima waktu, berpuasa di  bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji, dan sebagainya.

Jika kita menggunakan kriteria yang dipakai oleh antropolog Clifford Geertz, maka dengan ketaatan beribadahnya itu Seokarno memang seorang muslim santri, bukan muslim abangan.

Di luar kriteria itu, Soekarno memang dapat dinilai sebagai pejuang dan pemikir muslim yang tangguh. Selain bisa berpolemik mengenai masalah-masalah mendasar tentang keislaman dengan tokoh-tokoh Islam lain seperti A Hassan dan M Natsir, sejak akhir 1930-an, Soekarno banyak menulis tentang upaya  memajukan Islam, agama yang dipeluknya.

Di antara tulisan-tulisan Soekarno yang beredar dalam satu dasawarsa menjelang kemerdekaan adalah tulisan-tulisannya di Majalah Panji Islam yang terbit di Medan seperti tulisan yang berjudul “Memudakan Pengertian Islam”, “Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara”, “Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara”, “Islam Sontoloyo”, dan sebagainya.

Bahkan dasar ideologi negara, Pancasila, yang oleh Soekarno dicetuskan pertama kali pada tanggal 1 Juni 1945 di depan Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) merupakan produk penggaliannya tentang pemikiran Islam setelah, antara lain, berpolemik mendalam dengan Natsir tentang hubungan antara negara dan agama.

Semula melalui tulisan-tulisannya itu Soekarno mengidamkan sebuah negara Indonesia yang sekuler, lepas dari masalah-masalah agama. Sebaliknya, demi kemajuan Islam dan ummat Islam, Natsir mengusulkan agar Indonesia yang sedang menyongsong kemerdekaannya saat itu didirikan sebagai negara berdasar Islam. Kedua pandangan tersebut menjadi aliran pemikiran (politik) dalam mendirikan dan membangun Indonesia.

Keduanya, Soekarno dan Natsir adalah sama-sama santri dan sama-sama ingin memajukan Islam, tetapi Soekarno ingin memisahkan agama dari negara sedangkan Natsir ingin agama menjadi dasar negara.

Dalam mengemukakan argumen Natsir juga banyak menulis untuk membanding pendapat Soekarno seperti tulisan-tulisannya yang berjudul "Cinta Agama dan Tanah Air", "Ichwanus Shafa", "Rasionalisme dalam Islam", "Islam dan Akal Merdeka", "Persatuan Agama dengan Negara, "Arti Agama dalam Negara".

Dalam satu tulisan yang disiapkan untuk menyambut peringatan Setengah Abad Dewan Dakwan Islamiyah atau DDII (1967-2017), saya mengatakan tanpa ragu bahwa Pancasila sebagai dasar ideologi negara bisa dilihat sebagai bagian dari muara polemik antara Soekarno dan Natsir.

Pancasila adalah model prismatik atau kesepakatan gemilang (modus vivendi) antara paham negara agama yang diperjuangkan oleh aliran nasionalisme Islam dan aliran kebangsaan atau nasionalisme sekuler.

Negara Pancasila bukan negara berdasar agama seperti yang semula diperjuangkan oleh Natsir tetapi juga bukan negara sekuler seperti yang mulanya diperjuangkan oleh Soekarno.

Pemikiran Soekarno bahwa Indonesia tak boleh menjadi negara agama bisa diterima dan pemikiran Natsir bahwa Indonesia tak boleh menjadi negara sekuler yang hampa agama juga diterima.

Soekarno berhasil merumuskan jalan tengah, jalan kompromi, yang kemudian kita kenal sebagai negara Pancasila. Indonesia bukan negara agama tetapi negara “berketuhanan” yang melindungi pemeluk semua agama yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Formula ideologi negara yang disebut Pancasila dalam konteks hubungan antara negara dan agama itu dikemukakan pada forum resmi pertama kali oleh Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 di Sidang BPUPKI, kemudian disepakati formula kompromisnya pada tanggal 22 Juni 1945 dalam bentuk Mukaddimah (Piagam Jakarta), dan akhirnya difinalkan dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 pada Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Dari satu sudut bisa dikatakan, Pancasila merupakan persenyawaan gagasan negara sekuler yang pernah diwakili oleh ide Soekarno dengan negara berdasar Islam yang pernah diwakili oleh ide Natsir.

Kedua ide itu bersenyawa, tidak bisa dikatakan sebagai hasil kemenangan atau kekalahan dari salah satunya. Artinya, pandangan dasar dari kedua tokoh yang dalam ukuran Geertz sama-sama santri itu sama-sama ditampung secara prismatik di dalam negara Pancasila sebagai negara kebangsaan yang berketuhanan (religious nation state).

Setelah Indonesia benar-benar menjadi negara merdeka kedua santri tokoh bangsa itu masih terus bersahabat dan sama-sama ikut mengelola negara. Soekarno menjadi Presiden dan Natsir memimpin Partai Masyumi, menjadi menteri sampai Perdana Menteri.

Soekarno dan Natsir terus memperjuangkan ide-idenya melalui posisi masing-masing dengan tetap konsisten pada dasar kesepakan bangsa (mistsaqon ghaliedza, modus vivendi).

Ketika Indonesia terancam pecah berantakan karena sistem negara federal yang dirancang oleh van Mook sebagai produk Konperensi Meja Bundar,  pada awal tahun 1950 Natsir mempelopori "Mosi Integral” untuk kembali ke bentuk negara kesatuan (NKRI) sesuai dengan apa yang secara mati-matian diperjuangkan oleh Bung Karno di BPUPKI dulu.

Bahwa antara keduanya pernah terjadi perbedaan-perbedaan tentu saja tak bisa dibantah. Itulah keniscayaan demokrasi. []

KORAN SINDO, 15 April 2017
Moh Mahfud MD | Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK (2008-2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar