Senin, 03 April 2017

BamSoet: Ragam Ekses Dua Dekade Demokrasi



Ragam Ekses Dua Dekade Demokrasi
Oleh: Bambang Soesatyo

MENJELANG dua dekade perjalanan reformasi, kualitas demokrasi Indonesia tiba-tiba menghadapi tantangan cukup serius. Praktik demokrasi minus toleransi kembali menguji eksis tensi Pancasila dan merongrong kebinekaan sebagai kodrat bangsa.

Negara harus segera bersikap guna memperkuat landasan dan arah demokrasi Indonesia. Demokrasi Indonesia memang sudah mencatatkan progres, setidaknya ditandai oleh kebebasan berserikat dan berbicara sampai dengan praktik pemilihan umum (pemilu) dengan mekanisme pemilihan langsung, one man one vote.

Sayangnya, kendati sudah menempuh perjalanan selama belasan tahun, praktik demokrasi itu masih jauh dari matang. Bahkan bagi beberapa komponen masyarakat, hak untuk bebas berserikat dan berbicara itu sering dipraktikkan dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab sehingga menghadirkan ekses yang meresahkan.

Dalam beberapa tahun terakhir, tantangan itu mengemuka dengan sangat jelas. Salah satu masalah yang terus menjadi perhatian masyarakat adalah tindakan ekstrem sekelompok orang yang bernaung dalam sebuah organisasi kemasyarakat an (ormas).

Dengan alasan penegak hukum tidak bekerja, orang-orang itu melakukan penertiban terhadap tempat-tempat hiburan atas nama apa yang mereka yakini benar. Tanpa payung hukum, mereka merasa berhak mengambil alih peran penegak hukum.

Dalam suatu periode yang cukup panjang, orang-orang itu leluasa menjalankan aksinya. Negara pun seakan memberi toleransi, karena orang-orang itu nyaris tidak pernah ditindak sebagaimana mestinya.

Contoh kasus lainnya tentang ekses kebebasan berbicara dan berekspresi adalah isu seputar upaya membangkitkan lagi paham komunis di negara ini. Pada paruh pertama 2016, aparat penegak hukum di sejumlah daerah harus merazia simbol-simbol komunis. Pemutaran film yang berpotensi membangkitkan semangat komunisme dibubarkan.

Begitu merasa bebasnya untuk berbicara apa saja, ada orang yang tidak tahu lagi mana batasan boleh dan tidak boleh. Contoh kasusnya adalah pelecehan Budaya Sunda oleh seorang pimpinan ormas. Ungkapan salam berbahasa Sunda ”Sampurasun” sengaja dipelesetkan menjadi ”campur racun”.

Akibatnya, pada November 2015, Aliansi Masyarakat Sunda melalui Angkatan Muda Siliwangi melaporkan pimpinan ormas itu ke Polda Jabar. Tindakan itu melukai budaya dan tradisi masyarakat Sunda yang selama ini berlaku turun-temurun.

Ekses kebebasan berbicara, berserikat dan berekspresi itu kemudian tampak menjadi begitu nyata manakala seluruh komponen masyarakat melakukan persiapan menyongsong agenda politik nasional berupa pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada Februari 2017.

Isu-isu tentang suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) memadati ruang publik. Karakter generasi milennial yang objektif malah coba dicekoki dengan pemikiran sempit berkonteks SARA.

Media sosial (medsos) pun akhirnya dijadikan sarana untuk mengumbar kemarahan, kedengkian, kebencian, dan sikap permusuhan. Bahkan di Jakarta, ada rumah ibadah yang menolak mendoakan jenazah hanya karena alasan perbedaan pandangan politik.

Keberagaman Indonesia sebagai kodrat bangsa coba diingkari dengan mengedepankan isu tentang mayoritas-minoritas. Penyaluran aspirasi dan kepentingan tidak lagi mengikuti norma-norma yang lazim, melainkan coba mengedepankan tekanan kekuatan massa.

Hakikat persatuan dan ke satuan bangsa coba dibelah-belah dengan isu kelompok nasionalis versus kelompok agama. Kendati tidak elok, segenap komponen masyarakat tak bisa menghindar dari situasi itu. Semuanya harus dilihat, dirasakan dan ditanggapi. Ada yang takut, namun ada juga yang menyikapinya dengan biasa-biasa saja.

Ada dorongan ke pada negara untuk bertindak all out menghentikan praktik demokrasi yang cenderung menyimpang itu. Sudah barang tentu keinginan itu tak bisa dikabulkan.

Tindakan atau respons negara harus terukur, karena Indonesia adalah negara demokratis dan negara hukum. Negara tidak boleh lagi bertindak semena-mena seperti di masa lalu.

Sebaliknya, sebagai negara hukum, negara pun tidak boleh tunduk pada kelompok-kelompok yang coba memaksakan kehendak. Kalau semua ekses dari kebebasan berbicara, berserikat dan berekspresi itu mencerminkan praktik demokrasi yang menyimpang, maka menjadi kewajiban negara cq pemerintah untuk mengelola persoalannya dan meluruskannya.

Salah Tanggap

Pemerintah sudah memberi isyarat untuk mengelola dan membenahi praktik demokrasi. Isyarat itu setidaknya terbaca dari pernyataan Presiden Joko Widodo, saat dia menyikapi dinamika sosial-politik pada rentang waktu Oktober 2016 hingga pasca pelaksanaan Pilkada serentak Februari 2017.

Dalam sebuah pidato politik di Sentul, Bogor, Februari 2017, Presiden menilai demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. Praktik demokrasi sudah membuka peluang munculnya artikulasi politik yang ekstrem, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme lainnya.

”Penyimpangan praktik demokrasi itu mengambil bentuk nyata seperti yang kita lihat akhir-akhir ini seperti politisasi SARA, ini harus kita ingatkan, kita hindari,” kata Presiden.

Pembangunan politik dan demokrasi mau tak mau harus dirumuskan lagi. Pembangunan politik dan demokrasi memang bukan pekerjaan mudah, karena proses pembangunannya harus mengakomodasi aspirasi dari berbagai elemen masyarakat, seturut kodrat keberagaman Indonesia itu sendiri.

Pada akhirnya, pembangunan politik dan demokrasi itu harus mengadopsi prinsip musyawarah untuk mufakat. Artinya, Presiden harus mengomunikasikan rencana dan muatan program pembangunan demokrasi politik itu kepada semua elemen masyarakat.

Mendengarkan aspirasi masing-masing elemen, mengakomodasi kepentingan, sampai dengan meng harmonisasi aspirasi dan kepentingan setiap elemen. Tentu saja rencana dan muatan program pembangunan demokrasi politik itu harus mengacu pada sebab musabab terjadinya penyimpangan praktik demokrasi selama ini.

Penyimpangan terjadi karena ada elemen masyarakat yang salah tanggap terhadap hakikat reformasi dan demokratisasi Indonesia. Reformasi dan demokratisasi nyaris dipahami sebagai boleh berbuat apa saja, bahkan boleh menabrak hukum serta peraturan perundang-undangan.

Padahal, ketika reformasi mulai berproses belasan tahun lalu, tujuannya sangat jelas. Di bidang politik, mewujudkan demokrasi dan memulihkan kedaulatan rakyat.

Reformasi ekonomi mewujudkan ke sejahteraan rakyat. Reformasi hukum bertujuan mewujudkan supremasi hukum demi keadilan bagi seluruh rakyat, dan reformasi sosial bertujuan mewujudkan integrasi bangsa.

Pemulihan kedaulatan rakyat ditandai dengan pem berian wewenang yang besar kepada DPR, yang kelembagaannya terbangun dari unsur multipartai.

Eksistensi partai politik di DPR ditentukan oleh pilihan rakyat dalam pemilu legislatif. Maka kendati setiap elemen masyarakat tetap memiliki hak untuk menggemakan artikulasi politiknya masing-masing, penyampaian aspirasi kepada DPR tetap menjadi pilihan paling efektif.

Tujuan strategis lainnya dari reformasi politik adalah memulihkan perimbangan kekuatan antarlembaga tinggi negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Karena itu, untuk mencegah munculnya parlemen jalanan atau pengerahan kekuatan massa, kekuatan oposisi di DPR seharusnya diterima dan dihormati. Kekuatan oposisi di DPR jangan lagi diibaratkan makhluk haram.

Berikan kepercayaan dan wewenang ke pada oposisi di DPR untuk menampung dan mengelola aspirasi rakyat yang belum dapat ditanggapi atau direspons pemerintah. Keberagaman Indonesia harus dijaga.

Fondasinya adalah saling pengertian dan saling menghormati. Pemerintah dan semua lembaga tinggi negara harus mau berinisiatif dan memainkan peran utama dalam memberikan pemahaman ke pada publik tentang urgensi menjaga kebinekaan Indonesia sebagai kodrat bangsa.

Jika Indonesia setia pada kodrat keberagamannya, negara dan bangsa akan semakin kuat di masa depan. Jika kodrat keberagaman itu diingkari, NKRI akan mudah retak.

Dalam pandangan komunitas internasional, identitas Indonesia adalah negara demokrasi ketiga terbesar di dunia dan negara paling demokratis di Asia Tenggara. Persepsi ini terbentuk karena rakyat Indonesia sudah menetapkan Demokrasi Pancasila sebagai pilihan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kini harus ada keberanian bersama untuk memperbaiki dan terus meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia. []

KORAN SINDO, 30 Maret 2017
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar, Presidium Nasional KAHMI 2012-2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar