Selasa, 11 April 2017

Kang Sobary: Warisan Para Guru Bangsa



Warisan Para Guru Bangsa
Oleh: Mohamad Sobary

TIBA-TIBA terasa perlunya sebuah penjelasan atau mungkin definisi, bukan terutama untuk membatasi makna atau pengertian guru bangsa, melainkan untuk membuat sejenis patokan agar kita tahu apa yang kita bicarakan.

Jika diperlukan, penjelasan lain boleh dikemukakan  untuk memperkaya pemaknaan kita. Di sini kita bebas menyusun argumen yang lebih baik, lebih rasional dan lebih cocok dengan kebutuhan. Dan, saya menyusun sendiri pemaknaan itu semampu saya.

Inikah kira-kira: guru bangsa bukan guru dalam pengertian konvensional kita. Guru bangsa tak mengajar di kelas, tak pernah menjadi kepala sekolah, atau dekan atau rektor, dan tak memiliki murid sebagaimana seorang guru yang mengajar di kelas.

Barangkali karena sifatnya yang begitu bebas dari kungkungan struktur resmi, baku dan konvensional itu maka guru bangsa hidup, dan bekerja di dalam apa yang bisa kita sebut ‘living university’ sebuah universitas kehidupan pada suatu zaman tetapi hal-hal yang dibicarakannya, boleh juga yang diajarkannya sering melompat  jauh mendahului logika zaman itu sendiri.

Sekarang ini, di zaman kita yang ruwet ini, kita bersyukur memiliki  tokoh-tokoh besar, Gus Dur, Cak Nur, Buya Syafei, maksudnya Buya Syafei Maarif yang dengan hangat dan penuh cinta kita sebut guru bangsa.

Struktur penempatannya tidak harus seperti cara saya menyebutnya di sini. Kita  memiliki cara penyebutan yang mendahulukan siapa saja di antara para leluhur yang budinya luhur ini. Jadi guru bangsa kita yang tiga itu bisa dimulai penyebutannya dari Buya, Cak Nur dan Gus Dur. 

Struktur tidak penting sama sekali di sini. Dan sebetulnya jika kita sebut nama lain dari zaman ini tentu saja bisa dan boleh. Para tokoh agama dari agama-agama lain tak kurang pentingnya. Mereka juga pemikir andal dan memberi kita suatu warisan keluhuran yang layak dijadikan kiblat moral bagi banyak kalangan. Mungkin juga kiblat kebudayaan dan politik.

Di sini saya ingin menyebut nama tokoh besar dunia Katolik, seorang pastur, novelis, arsitek, dan tokoh humanis: Romo Mangun. Namanya JB Mangunwijaya, panjang, tapi dengan hangat kita menyebutnya secara ringkas, Romo Mangun, seringkas seperti  kita memanggil Gus Dur, Cak Nur, Buya. Sebutan-sebutan ini personal, dekat, akrab, disertai rasa hormat dengan ketulusan yang tak perlu diragukan. Buya, Romo: kurang ringkas apa? Gus Dur, Cak Nur: kurang personal apanya?

Orang lain, yang baik pada kita, dan juga akrab dalam pergaulan sehari-hari, agak banyak yang merasa tak begitu nyaman kalau hanya dipanggil namanya.

Beberapa yang punya gelar profesor harus disebut ‘Prof’, secara resmi dan baku, dan bulu kuduk kita berdiri seperti kalau kita lewat di tepi kuburan. Ini juga baik tapi berjarak dengan kita. Dan jarak itu tak usah dianggap masalah.

Para guru bangsa itu memberi kita suatu warisan, yang setara dengan harta karun, mungkin menulisnya ‘Qorun’, yang sangat berharga. Mengingat bahwa para guru bangsa ini kita anggap sama derajatnya, bolehlah di sini kita mulai dari Romo.

Sastrawan ini meninggalkan warisan pada dunia sastra juga pada kita semua konsep religusitas. Ini perkara penting, karena bahkan bagi seorang rohaniwan seperti Romo, religusitas tak harus disamakan dengan apa yang berbau agama.

Religusitas ada hubungannya dengan ‘religi’, tapi bukan wajah eksoteris dari agama itu sendiri, melainkan berhubungan dengan aspek esoterisnya: unsur dalam bagi suatu agama, sehingga usaha menampilkan sifat kemanusiaan, juga keadilan, dan kebenaran dalam sastra, itu inti religusitas.

Biarpun tanpa menyebut asma Tuhan, kitab, ayat dan pasal-pasal dalam ajaran, religusitas itu begitu jelas, dan kental, dan telah membentuk nama maupun sifat bagi dirinya sendiri.

Romo ini menabrak sifat sakral ‘altar’. Perjuangan hidup sejati baginya bukan di ‘altar’ tapi di pasar, yaitu dalam pergaulan hidup sehari-hari umat. Karena di sanalah kesejatian hidup mereka. Maka di sana pula --bukan di ‘altar’-- perjuangan kemanusiaan dalam agama, diwujudkan. Romo telah sampai pada inti pemaknaan hidup di dalam sastra maupun di dalam agama.

Buya? Siapa yang tak memahami watak asketik beliau? Hidup bersahaja seperti layaknya kaum pertama di zaman lampau, Buya hidup bersahaja, beda yang ‘hak’ dan yang ‘batil’, dan perintah untuk tak mencampuradukkannya, dijalaninya alam menjunjung tinggi ajaran dengan konsisten. Gus Dur menyebut beliau, dalam urusan ini, sebagai orang yang sangat puritan. Maksudnya sangat serius, sangat keras mengamalkan ajaran. 

Beliau ‘emoh’  menerima jabatan. Orang lain rebutan kursi wapres, beliau merapal ayat Kursi, yang begitu jelas menekankan Tuhan tak pernah lalai, tak pernah mengantuk dan tak pernah tidur. Apa maknanya? Jangan main-main dalam hidup ini karena Tuhan menciptakannya tidak main-main pula. Beliau merasa Tuhan yang tak pernah tidur itu mengamatinya tiap saat, dan orang saleh ini takut menyimpang.

Gus Dur? Beliau pendobrak ketidakadilan. Seolah-olah beliau itu dewa keadilan. Apa yang tak adil dilabrak dengan semangat seorang menjunjung tinggi keadilan itu. Kita tahu beliau pemberani. Ketika orang lain memutuskan lebih baik diam atau menyingkir, Gus Dur justru memutuskan untuk maju, dan menerjang semua penghalang. Gus Dur tak mengenal takut?  Mengenal.

Pernah suatu hari beliau berkata: para pemberani itu bukan orang yang tak mengenal takut, tapi orang yang bisa mengatur begitu rupa ketakutannya untuk tidak mendominasi dirinya. Jadi ketakutan bisa dipinggirkan dengan begitu damai, dan hanya keberanian yang tampak.

Gus Dur mendobrak apa saja, dan siapa saja yang tidak adil, seperti Gusti Kanjeng Nabi Ibrahim mendobrak tatanan masyarakatnya yang musyrik menyembah patung-patung. Dan demi tauhidnya yang jelas semua patung dihancurkan dengan kapak yang perkasa. Kapak Gus Dur kata-kata dan argumen yang kuat, mendasar dan lurus ke jalan keadilan. Tentu saja di dalamnya juga ada kemanusiaan dan kebenaran.

Tapi kalau Gus Dur disebut pendobrak tatanan buruk demi tegaknya keadilan, itu sudah cukup. Orang pintar tak kurang-kurangnya di negeri ini, juga di NU, tapi pintar dan teguh dalam perjuangan tidak begitu banyak.

Mungkin hanya Gus Dur-lah orang pintar yang juga bijaksana dan berani bertaruh banyak dalam hidupnya demi keadilan. Kepada kiai-kiai yang juga dikenal sebagai wali pun, Gus Dur berani bermain-main.

Pernah disuruh seorang wali agar mandi dulu baru berdialog dengan beliau. Gus Dur pergi sebentar tanpa mandi dan kemudian lapor bahwa beliau sudah mandi. Sesudah itu Gus Dur berkata: "Wali itu senengnya  ditipu". Ini juga pemberontakan pada tata cara yang sudah ditradisikan. Gus Dur memang anak nakal. Jadi beliau itu pendobrak, pemberani dan nakal.

Cak Nur yang mulia itu rendah hati, lembut, dan taat pada ajaran. Beliau juga ulama yang  tekun menuntut ilmu. Hidupnya teratur. Sehabis subuh selalu menuliskan gagasan maupun pemikirannya.

Cak Nur resah memikirkan umat. Lalu dirumuskanlah jawaban: bikin pengajian Paramadina, untuk mencerahi umat dengan berbagi unsur ajaran. Pengajian ini berlangsung lama. Kemudian dirumuskan jawaban lain: bikin Universitas Paramadina, yang memberi pendidikan lebih jauh, lebih mendalam.

Cak Nur itu intelektual, ulama, yang punya komitmen pada hidup, dan sudah mengontrakkan dirinya pada komitmen itu. Beliau tidak kaya. Waktu wafat, tabungannya hanya lima juta rupiah. Dan itu pun sukar diambil dari bank, yang tak paham bahwa guru bangsa ini berjuang dengan gigih untuk bangsanya.

Apa yang bisa kita lakukan menghadapi warisan seperti ini? Kita memperjuangkannya lebih lanjut? Kita itiba’, meneladani mereka semua? Atau kita takut? Warisan para guru bangsa hidup dalam jiwa kita? Atau kita pewaris yang gigih berjuang? []

KORAN SINDO, 10 April 2017
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar